JawaPos.com - Mahkamah Agung (MA) menolak uji materi (judicial review) terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang diajukan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).
Penolakan terhadap Nomor Perkara: 34 P/HUM/2022 diputuskan pada Kamis, 14 April 2022. ’’Amar putusan tolak permohonan hak uji materil,” tulis MA dalam situs Kepaniteraan MA seperti dilihat pada Senin (18/4).
Keputusan penolakan uji materi tersebut dibuat oleh Hakim Mahkamah Agung Yodi Martono Wahyudi, Hakim Is Sudaryono, dan Hakim Supandi.
Sebagai informasi, LKAAM mengajukan uji materi terhadap Pasal 5 Ayat huruf (b), (f), (g), (h), (j), (i), dan (m). Dalam pasal tersebut memuat mengenai frasa 'tanpa persetujuan korban'. LKAAM memandang frasa ini menjadi pintu membuka terjadinya perzinaan di lingkungan perguruan tinggi.
Sebelumnya, sejumlah akademi lintas universitas mendesak agar MA menolak uji materi Permendikbudristek PPKS. Desakan tersebut tertuang dalam empat rekomendasi yang disuarakan sejumlah akademisi dari Universitas Indonesia, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara kepada MA, yakni; pertama menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya; kedua menyatakan pembentukan Permendikbudristek ini sudah memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; ketiga Permendikbudristek ini punya kekuatan hukum; dan keempat menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, menegaskan Permendikbudristek PPKS adalah instrumen hukum yang paling ditunggu di perguruan tinggi di Indonesia. Selama ini, ketiadaan hukum yang memadai di tingkat nasional maupun perguruan tinggi tidak dapat menangani kasus para korban kekerasan seksual, yang umumnya mahasiswi.
"Peninjauan kembali diajukan terhadap proses formal dan sejumlah pasal pentingdalam Permendikbudristek no 30/2021, yang bisa berpotensi instrumen hukum tersebut akan kehilangan substansi kekuatannya dalam melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual yang adalah generasi muda aset bangsa ini di kemudian hari," kata Sulistyowati.
Penolakan terhadap uji materi Permendikbudristek PPKS juga disuarakan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). ’’Komnas Perempuan meminta MA untuk menolak seluruh permohonan ini dan membuka serta memperbaiki uji materi agar lebih terbuka. Untuk semua korban, mari kita terus saling menguatkan untuk menghapus kekerasan seksual terutama di perguruan tinggi,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Mengacu laporan Komnas Perempuan, dari 2015-2020, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan. Namun hanya 27 persen dari aduan yang diterima terjadi di jenjang perguruan tinggi. Berdasarkan 174 testimoni, dari 79 kampus di 29 kota, ada sebesar 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual.
Laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi juga menunjukkan ada 77 persen mahasiswa menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual di kampus. Akan tetapi, 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus tersebut. (*)