JawaPos.com - Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi banyak direspon negatif oleh publik. Sebab, banyak dimaknai seks dibebaskan.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai bahwa anggapan itu hadir dari banyaknya kata 'konsen' atau fokus dalam regulasi tersebut.
"Kok kata konsen itu banyak sekali muncul sehingga menimbulkan persepsi seakan-akan jadi boleh kalau misalnya ada persetujuan melakukan hubungan seksual," ungkapnya dalam acara daring dikutip, Minggu (14/11).
Ia pun mengaku kesal dengan 'salah tangkap' ini. Untuk itu ditegaskan olehnya bahwa bukan berarti hal yang tidak diatur dalam kebijakan itu diperbolehkan.
"Dari ini saja saya terganggu, karena dalam hukum Indonesia, bukan begitu cara berpikirnya, jadi tidak semua yang tidak diatur dalam semua perundang-undangan maka menjadi boleh. Fokusnya ya lihat saja judulnya PPKS, bukan mengatur soal-soal lainnya, bukan yang mengatur tindakan kesusilaan," terangnya.
Kemudian Bivitri juga menyampaikan, masyarakat tidak hanya hidup berlandaskan norma hukum saja, namun juga norma agama dan sosial. Hal yang bertentangan dengan norma agama dan sosial pun otomatis tidak diperbolehkan.
"Kita kan juga tidak hidup hanya dalam norma hukum, kita hidup dalam norma kesusilaan, kesopanan, tidak semua harus diatur dalam sebuah permen," tuturnya.
Tentunya, permen ini telah melengkapi kerangka hukum yang belum ada sebelumnya. Dirinya pun mengapresiasi langkah dari Kemendikbudistek atas hal tersebut.
"Jadi saya mengapresiasi dalam konteks itu, memang permen ini bisa mengisi ruang kosong," pungkas dia.