JawaPos.com–Indonesia menerapkan agenda FoLU Net Carbon Sink untuk mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga terjadi netralitas karbon. Hal itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar saat bicara mengenai FoLU Net Carbon Sink 2030 dan zero deforestation.
Siti menyebut, FoLU net carbon sink 2030 jangan diartikan sebagai zero deforestation. Bahkan, itu perlu dipahami semua pihak bagi kepentingan nasional. Indonesia berkomitmen mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Sehingga, terjadi netralitas karbon sektor kehutanan, di antaranya berkaitan dengan deforestasi pada 2030.
Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif atau terjadi penyerapan atau penyimpanan karbon sektor kehutanan.
”Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” ujar Siti kepada Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow mengutip akun Twitternya, Kamis (4/11).
Siti Nurbaya menyebut, menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.
Menurut dia, kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan. Di samping harus berkeadilan.
Dia juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia.
”Karena di Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan Indonesia,” ucap Siti.
Siti melanjutkan, memaksa Indonesia untuk zero deforestation pada 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Sebab, setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi undang-undang dasar untuk melindungi rakyatnya.
”Misalnya di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya,” papar Siti.
”Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada infrastruktur jalan. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,” tambah dia.
Dengan target penurunan emisi 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional, Indonesia berusaha memenuhi target tersebut secara rinci, terukur, dan mengerjakannya secara konsisten. Sehingga tidak bisa membandingkan Indonesia dengan negara lain.
”Apalagi jika hanya berpatokan pada angka-angka di atas kertas. Indonesia dengan target penurunan emisi 41 persen saja, artinya kita mengurangi emisi sekitar 1,1 giga ton. Sementara mengambil contoh Inggris, pengurangan emisinya 200-an jutaan, tapi bunyinya 50 persen,” tutur Siti.
Siti menambahkan, arahan Presiden Jokowi terhadap dirinya menjanjikan yang bisa dikerjakan, tidak boleh hanya retorika. Sebab harus bertanggung jawab kepada masyarakat sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Dia juga menyampaikan, strategi Indonesia, belum tentu dimiliki negara lain. Indonesia sedang terus menerus memperbaiki alam dengan langkah-langkah yang terukur.
Pemerintah tidak akan menjanjikan apa yang tidak bisa dikerjakan. Dengan atau tanpa dukungan internasional, Pemerintah Indonesia tetap pada tujuannya untuk mengurangi emisi GRK karena itu sudah sesuai dengan mandat UUD 1945.
”Ini memerlukan keterlibatan semua pihak. Untuk itu saya menegaskan kembali pentingnya peran generasi muda di tengah berkembangnya demokratisasi di Indonesia. Tentu saja saya mengajak kita semua untuk tidak lelah mencintai Indonesia kita,” ucap Siti.