JawaPos.com - Di tengah mewabahnya virus korona atau Covid-19, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil kesempatan mengebut pembahasan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya DPR sepakat merevisi UU tersebut dalam Rapat Paripurna pada Kamis (2/4) lalu. Saat ini, proses revisi tersebut dikabarkan telah bergulir di badan legislasi (Baleg) DPR RI.
Menanggapi ini, Kordinator PILNET Indonesia, Erwin Natosmal Oemar menilai tidak ada hal penting untuk merevisi UU MK. Terlebih, jika hanya ingin menambah panjang masa jabatan sejumlah hakim konstitusi tertentu.
"Tidak ada urgensi untuk revisi UU MK saat ini," tegas Erwin kepada JawaPos.com, Rabu (8/4). Erwin memandang revisi UU MK memang dibutuhkan, tapi perlu banyak poin yang harus dibahas. Misalnya soal kesamaan standar seleksi hakim konstitusi dan pengawasan hakim.
"Namun poin yang sangat vital itu tidak ada dalam revisi ini," urai Erwin.
Erwin menyebut, revisi terhadap UU MK ini tidak lebih dari upaya memperpanjang masa jabatan hakim tertentu. Menurutnya, jika diteruskan, revisi ini tidak hanya menggoyahkan kemandirian lembaga peradilan, karena aturannya mudah berubah dan diintervensi secara politik. Lebih dari itu, Erwin mencurigai, revisi hanya untuk memuaskan kepentingan jangka pendek oknum-oknum tertentu.
"Dalam situasi darurat ini, DPR harusnya membahas hal-hal yang penting saja, terutama kebijakan yang berkaitan dengan penanggulangan krisis," tegasnya.
Terpisah, dikonfirmasi hal ini, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Atgas tak merespons panggilan telefon maupun pesan konfirmasi yang dilayangkan JawaPos.com.
Sementara Anggota komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni membenarkan adanya usulan revisi UU 24/2003 tentang MK. Namun, hingga kini usulan revisi tersebut belum sampai dibahas oleh Komisi III DPR.
"Usulan dari Baleg, baru dapat info ini baru aja," kata Sahroni kepada JawaPos.com. Sahroni mengaku hingga saat ini belum ada agenda pembahasan revisi UU 24/2003 tentang MK. "Belum ada agendanya," ucap politikus Partai Nasdem ini.
Di lain pihak, juru bicara MK, Fajar Laksono mengaku lembaganya turut dimintai pendapat soal usulan revisi UU MK. Pembahasan usulan itu katanya, berlangsung melalui lintas kementerian.
"Ada, dimintai pendapat saat pembahasan lintas kementerian, terutama terkait dengan praktik hukum acara. Karena yang paling menguasai hukum acara ya pastinya MK. Selain itu tidak," akui Fajar.
Kendati demikian, MK menyerahkan sepenuhnya kepada DPR sebagai penggagas Undang-Undang. Karenanya, MK tak berwenang dalam proses legislasi. "Selanjutnya, MK menyerahkan sepenuhnya kepada pembentuk UU," beber Fajar.
Berdasarkan draf RUU MK yang dimiliki JawaPos.com, ada beberapa pasal kontroversial yang bertujuan melanggengkan kekuasan. Hal ini terdapat dalam Pasal 4 ayat 3a yang berbunyi; "Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan".
Selain itu, Pasal 87 huruf c yang menyatakan; Apabila hakim konstitusi pada saat jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada huruf b telah berusia 60 tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 tahun. Draf RUU MK ini menghapus Pasal 22 dalam UU yang masih berlaku. Dalam pasal tersebut, masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun, dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Draf revisi UU MK baru juga menghapus Pasal 23 ayat 1 huruf d. Adapun pasal tersebut menyatakan “hakim konstitusi dapat diberhentikan dengan hormat dengan alasan telah berakhir masa jabatannya”.