Kepit-Kepit Rajungan LGBT

Oleh SUJIWO TEJO
29 Mei 2022, 11:17:51 WIB

Pacaran mbok jangan main putus. Dikit-dikit putus. Main putus tak membawa untung. PLN doyan main putus. Telat mbayar dikit saja energi kita diputusnya. Toh masih merugi juga, kan?

DAN nggak usah sok jual mahal. Pantang nembak duluan. Maunya hanya nunggu ditembak seperti Ande Ande Lumut. Harus antre lagi. Tiap hari diantre orang itu menguntungkan? Tidak! Tengok Pertamina!

Kalimat itu beruntun dilontarkan Sastro kepada anak wadon-nya. Suami Jendro ini kesal. Dian Di Bukit Menoreh, gadis itu, punya hobi mutusin pacarnya. Ngelindur terus sehabis diajak kekasihnya nonton film KKN di Desa Penari, Dian memutusnya. Kram perut akibat ketawa terus sehabis diajak kekasihnya nonton film Srimulat: Hil yang Mustahal, Menoreh memutusnya.

”Dian Di! Nama belakangmu jangan Bukit Menoreh. Bukit PLN saja!” gumam lelaki yang satu. Gumaman itu dicantolkan di pintu pagar rumah Di.

Lelaki lain yang bernama Listrik menggerutu, ”PLN, Pemutus Listrik Negara nih yeee….!” Dicobloskannya gerutuan ini ke anak panah, lalu dipanahkan ke mangga tali jiwo pekarangan depan rumah Bukit.

Jendro kesal. Bukan karena ledekan pada putri gadisnya. Tali jiwo, mangga bulat sedikit lebih besar dari telur angsa yang dibidik bakal calon menantunya itu mangga yang digadang-gadang akan disantapnya pekan depan. Tak seperti teman-temannya yang lain, mangga yang diincarnya ini lengkap warnanya. Ada nuansa warna pertalite. Nuansa warna pertamaxnya ada juga. Beda dengan SPBU-SPBU yang janjinya menyediakan pertalite dan pertamax, faktanya cuma nyediain pertamax nan mahal.

”Apa sesungguhnya masyarakat sedang digiring untuk menguras kocek lebih mendalam buat beli pertamax to, Mas?” Jendro mengajak suaminya bertukar pikiran jelang makan siang. ”Penguasa mestinya mendidik rakyatnya berpikir lebih mendalam, bukan lebih mendalam merogoh koceknya.”

”Hmmm… Sudahlah, Dik. Daripada memikirkan rombongannya Pak Erick Thohir itu, mending kita pikirkan rombongan kita sendiri, si Dian itu.”

Sambil menyeruput kuah kari rajungan, Sastro curhat. Ia tak begitu sreg kini Di menjalinkan cintanya pada seorang lelaki yang no problem pada pengibaran bendera LGBT di Kedubes Inggris. Harusnya menentang! Eh, ini malah diam saja.

”Hmmm… Sudahlah, Mas. Mungkin cowok Di ini lagi nggak kepikiran ke situ. Baru di-PHK dari perusahaan start-up. Start-up-start-up yang tiga-empat tahun lalu dibangga-banggakan sekarang mulai berguguran.”

”Dari dulu aku kan sudah menujum. Nanti mereka akan berguguran. Lha wong semua kerjanya cuma jualan produk. Hampir tak ada yang mau berkotor ria membuat produk. Anak-anak muda lebih konsen menjual sayur-mayur online, tak ada yang mau berlepotan lumpur menanam sayur. Sekarang?” Sastro mengucapkannya dengan rasa bangga yang melebihi rasa maknyusnya menyeruput kari rajungan Tuban.

***

Malam Minggu berikutnya cowok Bukit hadir wakuncar. Ia masih menunggu di ruang tamu. Menoreh lama berdandan. Sastro-Jendro mengintipnya dari celah-celah rak buku. Seluruh gerakan cowok Di mereka cermati. Caranya mengambil cangkir teh. Caranya mengusap melirik pintu kamar Menoreh. Mengandung unsur-unsur gerakan laki apa unsur-unsur gerakan perempuan? Atau paduan harmonis dari kedua unsur tersebut?

”Benarkah dia cuma ogah komen atas pengibaran bendera LGBT karena sedang tidak kepikiran ke situ, atau memang mendukung LGBT? Atau, jangan-jangan ia memang LGBT?” Sastro berbisik.

Bagi Jendro, LGBT atau tidak, cowok Dian ini adalah sesama warga negara. Harus dihormati. Kalaupun dinilai berdosa, biarlah itu menjadi urusan pribadi yang bersangkutan dengan Tuhan. Tidak fair kita anti-LGBT, tapi menikmati hasil kerja para LGBT. Untuk menyebut salah satunya saja, tata rias film dan sinetron itu umumnya dikerjakan oleh kaum LGBT. Mereka rapi dan detail kerjanya. Kita saban hari menikmati film atau sinetron, lalu mengutuk LGBT?

”Aku setuju sikapmu, Dik. Kita hormati mereka sebagai sesama warga negara. Asalkan LGBT itu tidak menjadi menantu kita…”

”Wah, heuheuheu… Ini mah sebelas dua belas dengan manusia yang mengaku toleran, mengaku Pancasialis, giliran pilih menantu harus dari warga keturunan yang satu ras.”

”Heuheuheu…”

***

Setelah Dian pergi dengan lelaki barunya, Sastro-Jendro tidur. Jendro bermimpi, sebelum pergi menggandeng Di, lelaki yang baru di-PHK dari start-up penjual sayur online itu menghadiahi Jendro sayur-mayur hasil tanamannya sendiri. Waktu salim, tangannya juga berbau lumpur pegunungan.

Sastro bermimpi, lelaki Bukit mengisi masa PHK-nya dengan menyuluhi suatu sekolah agar siswi/a-nya tidak kebut-kebutan, apalagi terlibat dalam balapan liar.

Rajungan yang telah dimakan Sastro hidup lagi. Rajuknya, ”Penyuluhan itu salah target. Sekolahnya sekolah terbaik. Pulang sekolah murid-muridnya sudah habis waktu buat kursus bahasa Jerman, Mandarin, Prancis… Kursus coding… Kursus piano. Akhir pekan mengunjungi pameran-pameran kuliah di luar negeri… Dalam jadwal padat begitu, hanya rajungan seperti diriku yang masih sempat-sempatnya balapan dan tawuran. Manusia nggak akan kuat. Ini berat. Biar aku saja.” (*)

SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

Editor : Ilham Safutra

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads