Bercak-bercak putih lontaran gosok gigi pada cermin wastafel menggambar wajah mendiang ibu Sastro. Wajah berupa konfigurasi bintik, noktah, dan noda-noda putih itu juga bisa ngomong, persis yang dulu sering dilontarkan almarhumah ke Sastro kecil, ”Sastro! Kalau sikatan gigi jangan jorok!”
—
SEKARANG Sastro sudah hampir 60 tahun. Sejak satu dekade lalu sudah mulai bisa memakai sikat gigi secara benar. Bulu-bulu sikat tidak tegak lurus gigi, tapi agak miring. Nyikatnya juga tidak ke atas-bawah. Gesekannya akan terlalu kuat. Lama-kelamaan bisa menggerus email gigi. Nyikatnya rada-rada memutar gagang sikat gigi.
”O, begitu, Dokter?” Sastro manggut-manggut ke Tina, dokter giginya yang manis, berkacamata tipis, dan berambut ekor kuda.
”Iya, Pak. Bapak jangan terlalu merasa bersalah, tapi. Kebiasaan memang sangat susah diubah, Pak. Yang namanya kebiasaan itu, kan, ya, memang sesuatu yang tidak kita sadari, Pak. Hingga usia 50 tahun, Bapak tidak sadar akan kebiasaan itu. Bagaimana kita akan mengubah sesuatu yang tidak kita sadari, coba?”
Tina mengimbuhi nasihat-nasihatnya ke Sastro. Sayangnya, suami Jendro ini kurang bisa mendengar apa persisnya nasihat-nasihat yang kemudian itu. Kepalanya lebih sibuk membayangkan apa saja kebiasaan-kebiasaan keliru bangsa ini yang tidak disadari. Namanya juga kebiasaan. Lantas, bagaimana kekeliruan-kekeliruan tersebut akan diperbaiki?
***
Suatu pagi, perbincangan Sastro dan Jendro, istrinya, berawal dari nasihat istri agar tidak menjilati bibir kering. ”Itu kebiasaan keliru,” Jendro merujuk nasihat seorang ahli gizi. ”Oleskan madu. Itu bagus. Atau, kalau ada pisang, usap dengan bagian dalam kulit pisang.”
Saat Jendro ngegas mobil sebelum mematikan mesinnya, giliran Sastro menasihati istrinya bahwa itu kebiasaan keliru. ”Seorang ahli mesin mewanti-wantiku. Ngegas sebelum mematikan mesin mobil seperti kaprahnya orang-orang pada umumnya justru membuat bagian dalam mesin kotor,” katanya.
Di ruang praktik dokter gigi Tina, kepala Sastro diselimuti oleh kenangan-kenangan itu. Lalu, adakah kebiasaan-kebiasaan yang keliru bangsa ini menyangkut hubungan eksekutif-legislatif-yudikatif, yang sebaiknya diubah tapi tak bisa diubah gegara kita tidak menyadari kekeliruan tersebut?
Dokter Tina tampak terus berkomat-kamit. Sastro tak bisa mendengar apa saja konten omongannya. Pikiran Sastro, itu tadi, masih sibuk menelusuri kebiasaan keliru bangsa ini. Apa lagi, ya? Ketemu! Tapi masih bukan soal yang besar-besar seperti hubungan trias politika. Ketemunya masih seputar yang kecil-kecil. Misalnya soal knalpot dan hubungan antartetangga.
Bagi Sastro, pagi seharusnya menjadi saat yang tepat bagi warga berolahraga di halaman depan rumah. Setidaknya senam. Agar tubuh sehat. Dengan modal seluruh warganya sehat, bangsa ini akan cepat meroket. Tapi bagaimana akan senam bila pada pagi hari justru banyak orang memanasi mesin mobilnya untuk siap-siap berangkat ke kantor? Sirna sudah aroma embun. Berganti aroma timbal dan polutan lain-lain dari knalpot.
***
Kebiasaan menyingkat-nyingkat kata dalam SMS, WA, dan sebagainya merambah ke dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang kemudian ingin serbasingkat. Andai proses menjadi kaya bisa disingkat, ya disingkat saja. Bahkan nama. Ada keluarga yang menamai anak-anaknya singkat-singkat. Bukan cuma satu kata. Tapi satu huruf! Yang sulung dinamai X, adiknya Y, adiknya lagi Z.
X, Y, dan Z tak lagi jadi nama kategori-kategori suatu generasi. Dalam keluarga itu, tiga kategori tersebut sudah menjadi nama pribadi.
”X, ambilkan talenan!” ayahnya berseru.
”Y, kunci inggris di mana, ya?” ibunya berseru.
”Z, lihat HP kami, nggak? Coba kamu telepon, deh!” ayah dan ibu kompak berseru sambil mencari-cari HP masing-masing.
Perdebatan kecil terjadi saat keluarga itu mendaftarkan V, bungsu adik Z, ke PAUD.
Bu guru PAUD mengembalikan formulir. Keluhnya, ”Pak, Bu, di kolom ini tolong diisi nama, ya.”
”Lho, kami sudah menuliskan nama, Bu.”
”Ini bukan nama. Ini tanda centang. PAUD di sini perlu nama anak Bapak dan Ibu. Kalau centang-centang di halaman dua ini sudah benar. Anak kami tidak merokok… Centang biru. Anak kami tidak pernah melakukan KDRT… Centang biru. Anak kami tidak mencalonkan diri jadi capres maupun cawapres… Centang biru. Sudah benar. Tapi yang di halaman ini harus ditulis nama. Bukan tanda contreng.”
”Lho, nama anak kami memang V, bukan contreng.”
Sejak itu bu guru PAUD menyadari kekeliruannya selama ini. Ia menghakimi bahwa sebuah nama harus berupa gabungan kata. Setidaknya satu kata saja, tetapi bukan cuma satu huruf. Itu kekeliruan yang tak disadarinya karena telah karatan sebagai kebiasaan.
***
Sastro melamunkan itu semua di depan Tina. Ia pun melamunkan dokter gigi manis tersebut saat melihat gambar almarhum ibunya di cermin wastafel. Seekor keledai, entah datang dari mana, masuk dan berwasiat di cermin, ”Sastro, bagaimana pendapatmu kalau sosok-sosok di baliho capres/cawapres 2024 nanti bukan berupa foto, tapi konfigurasi noda-noda odol seperti almarhumah di cermin ini?” (*)
—
SUJIWO TEJO
Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers