Sastro sudah lama berangsur-angsur bosan melakukan ini: selalu mengkritik penguasa!
—
HARI ini ia telah menggelundung ke titik nadir jurang kebosanannya. Kawan-kawannya mengkritik imbauan penguasa agar bukber sebaiknya dilakukan tidak sambil ngobrol. Sastro malah membelanya. Kawan-kawannya, kawan usang maupun kawan gres, mengkritik imbauan penguasa agar halalbihalal diselenggarakan tidak sambil makan-minum. Sastro malah membelanya.
”Opo, se, susahnya istirahat ngomong saat bukber?” Sastro curhat ke Jendro, istrinya. ”Toh ngomong soal apa pun, apalagi soal profesi, pasti cepat bosan. Ada batasnya. Habis itu pasti ngomongin orang. Batas waktunya tak ada. Nah, ngomongin orang ini, menurut penggerak literasi Kang Maman, kalau buruknya si bahan yang dibicarakan itu memang begitulah adanya, jatuhnya gibah. Kalau faktanya ndak begitu, jatuhnya fitnah. Tetap saja jatuh.”
”Sakit, ya, Mas?”
”Sakit!”
Mendadak Jendro teringat wasiat kakek buyutnya. Bhatari Durga, penguasa setan itu, singgasananya di lidah. Energinya negatif. Mau diubah jadi positif? Gampang! Lidah jangan sering-sering digerakkan. Setra Ganda Mayit, kawasan bau mayat daerah kekuasaan Durga, lebih banyak antengkan saja. Caranya dengan membisu.
Juga ini: kurang-kurangilah tidurmu. Menurut kakek buyut Jendro, dalam keadaan non terjaga, lidah suka bergerak-gerak sendiri. Pemiliknya tak bisa ngontrol. Tetangga juga tidak bisa. Tetangga bisanya ngontrol apakah dia lebih sukses atau tidak dibanding rumah sebelah. Itu kalau tidurnya anteng, lho, ya. Apalagi kalau pakai acara ngelindur.
”Lho, asalkan ngelindurnya tidak ngrasani orang dan penguasa, kan, nggak apa-apa to, Yut?” Jendro masa kanak-kanak bertanya.
Kakek buyutnya berbeda pendapat, ”Tetap saja dalam keadaan tidur masih ada gerak-gerik lidahmu, Nduk. Hindarilah ini sebisa mungkin. Paham?”
Pesan kakek buyut Jendro itu tak bisa dipahami oleh penganut kesehatan modern agar cukup-cukupkanlah tidurmu. Ini, pesan leluhur, malah kurang-kurangilah tidurmu. Sesat!
Sastro mendukung ilmu kesehatan zaman now. Tidur jangan sampai kurang. Tidur harus cukup. Baginya, yang penting, kurang-kurangilah bicara saat terjaga.
Periode curhatnya ke Jendro ia lanjutkan, ”Ayo, Dik, kita totalan…”
”Totalan?”
”Iya, seperti habis makan prasmanan di warung. Itung-itungan dengan bakulnya. Cuma berapa menit dokter kalau ketemu dokter membahas pengobatan? Sekian jam sisanya gibah atau fitnah soal atasannya, soal istri atau suaminya…. Cuma berapa menit guru kalau ketemu guru membahas kurikulum? Sisanya, sekian ratus menit sampai jam-jaman, gibah tentang kepala sekolah, fitnah tentang wali murid, dan gosip-gosip perihal artis…”
***
Di teras belakang rumahnya, di antara bunga-bunga gladiol, kana, mahkota dewa, dan kokok-kokok panjang ayam bekisar, sore itu Jendro masih tak habis pikir, benarkah suaminya betul-betul membela penguasa? Jangan-jangan malah sedang menyindirnya.
Usia pernikahan mereka sudah hampir 50 tahun. Jendro sudah hampir hafal lagak-lagon-legeyan suaminya. Suaminya kerap seperti buku-buku Sastra. Tertulisnya bau bunga bangkai, padahal maksud tersembunyinya justru di luar bau bunga yang mirip raflesia itu, dari bau korupsi, pungli, sogok, pelican salam tempel, dan sebagainya.
”Hmmm… Jangan-jangan suamiku ini malah pengin bikin satire. Seolah-olah mendukung penguasa, padahal sebaliknya. Ia sentil. Ia tohok. Bagaimana mungkin orang bisa bukber tanpa ngobrol? Bagaimana mungkin orang bisa halalbihalal tanpa makan-minum?”
Nenek buyut Jendro pernah wanti-wanti, kesalahan pendidikan kita, sejak kecil ditanamkan bahwa tak ada yang tidak mungkin di dunia. Bukber tanpa ngobrol itu mungkin saja bisa. Halalbihalal tanpa makan-minum itu mungkin saja bisa. Karena diyakin-yakinkan hingga jadi dogma sejak bocah bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia, akibatnya fatal. Akibatnya, masyarakat kita banyak yang percaya klenik, percaya keajaiban, dan percaya pada hal yang mustahil-mustahil seperti investasi bodong itu.
Sejatinya, yang benar, dunia ini lebih banyak tidak mungkinnya daripada yang mungkin. Dioperasi bagaimanapun, perempuan Jendro tidak mungkin menjadi lelaki Sastro. Mustahil Pak Jokowi diubah jadi berdarah Batak dan Pak Luhut ditukar jadi berdarah Jawa. Pak Jokowi bisa ngomong beraksen mBatak masih mungkin. Pak Luhut bisa ngomong logat Jawa dari Jawa Timuran sampai Jawa Ngapak masih mungkin. Tapi, mokal lamun sampai bisa berdarah Batak dan berdarah Jawa?
Impossible ada begal secara resmi menyampaikan permohonan kepada masyarakat luas agar profesi begal dihargai. Supaya begal jangan dibunuh dengan alasan untuk membela diri. Mengacung-acungkan celurit, golok, kelewang, dan lain-lain itu memang tupoksi begal. Itu sama sekali bukan ancaman. Janganlah masyarakat ini sok-sokan. Jangan sampai akting para begal yang menakut-nakuti namun sejatinya bukan ancaman itu malah direspons dengan membunuh. Ini akan menistakan profesi begal.
Tidak mungkin itu dilakukan oleh pemimpin begal Nusantara di atas podium.
***
Itu bagi nenek buyut Jendro. Tidak bagi Sastro. Bagi belahan jiwa Jendro itu, setelah bertatap muka dengan muka badak dan banyak mendapatkan pencerahan, di alam semesta ini masih lebih banyak hal-hal yang tak mustahil ketimbang hil-hil yang mustahal. ’Tul nggak, Swargi Pak Asmuni? (*)
SUJIWO TEJO
Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers