Jendro tak banyak omong bukan lantaran tak ada lagi ini-itu tanah air yang butuh lambe turah-nya. Istri Sastro itu tak lagi menjadi warga komentator sebab lagi menantikan tape ketan hitamnya jadi.
—
AGAR jadinya bukan tape ketan gagal, yang sepo dan mrengkel-mrengkel seperti otot kurang diurut, selain pantang buang kentut pantang pula bagi pembuatnya untuk banyak omong selama penantian itu.
Kebijakan baru boleh buka masker di tempat-tempat umum, salah satu yang sebetulnya bisa membuat Jendro ndak pensiun-pensiun sebagai warga komentator. Pelat nopol putih untuk mengganti yang hitam, yang sudah menjadi tradisi selama bertahun-tahun, adalah satu contoh lainnya.
Banyak warga yang sudah MPP, masa persiapan pensiun sebagai komentator, ujung-ujungnya aktif ngantor lagi sebagai komentator. Bahkan yang sudah pensiun dini.
”Aduuuuuh, Pak Jokowi, bangga, Pak, sudah izinkan kami buka masker di sektor publik,” komentar warga yang telah pandai bersyukur akan penampakan hidung, bibir, gigi, dagu, dan rahangnya seburuk apa pun penampakan itu.
Warga yang tak pernah sempat bersyukur akan kenyataan hidung, bibir, gigi, dagu, dan rahangnya sudah sebagus apa pun kenyataan itu berkomentar, ”Yaaaaah, Pak Jokowi, kok ngebolehin copot masker, sih, Paaaak… Satu-satunya kenyataan yang bisa kuandalkan dalam hidupku, kan, cuma kening dan matakyuuuuuu…..”
Komentar-komentar lain pun berseliweran sejak di kedai-kedai murahan sampai resto-resto yang melarang kehadiran sandal jepit. Bahwa susah membuka masker. Maskeran sudah jadi adat istiadat. Seperti pakai BH.
Halaaah, adat apaan? Baru dua tahunan. Pelat nopol hitam mobil-mobil itu malah sudah puluhan tahun. Bisa, kok, diubah jadi nopol putih biar lebih gampang dipotret kamera pengawas.
”Bedaaa!” tanggap warga komentator lain. Bagi mereka, penggantian bertahap nopol hitam menjadi putih tak bisa disamakan dengan kebijakan baru buka masker. Buka masker itu buka kedok. Bibir jadi gamblang. Manyun ke mertua tak bisa disembunyikan lagi. Cibiran ke para penguasa tak kuasa lagi disamarkan.
”Sedangkan mengganti nopol hitam dengan nopol putih itu perlambang bahwa kita semua akan meninggalkan dunia hitam. Ini positif. Bangsa kita memang suka yang positif-positif.”
***
Yang sesungguhnya dapat dikomentari Jendro tak usah jauh-jauh. Pagi tadi dua cucunya ribut rebutan jus alpukat di kulkas. Kakaknya merasa, semalam dia yang beli minuman segar itu. Dia pula yang menyimpannya di kulkas. Adiknya bersikeras. ”Aku yang memindahkan dari rak pintu bawah ke freezer,” dia ngotot.
”Ya, tapi aku yang beli. Pakai duitku!”
”Hadeuuuh. Duitmu dari Yang Ti. Yang Ti milik kita berdua.”
Cekcok kakak beradik yang masih kelas 1 SD dan TK itu bertele-tele, yang mestinya dapat Jendro komentari. Termasuk ujung perdebatan sang kedua bocah yang, entah bagaimana tele-telenya, jadi serial hingga ke perkara masker sebagai kedok.
”Jadi, cuma memindahkan jusku ke freezer, terus kamu merasa punya hak milik? Pantesan kamu ngebanggain mama teman kamu yang keberatan buka masker karena menganggap masker itu kedok!”
Hah? Apa hubungannya? Si adik juga tak tahu, apa benar pernah membela mama temannya itu. Wong opininya malah begini, kok: Bila membuka masker dianggap membuka kedok, toh ia masih punya kedok-kedok lain yang belum dilepas. Misalnya pakaian. Baju-baju keagamaan dari oknum-oknum agamawan, kan, juga kedok?
”Sikapmu soal pro-kontra buka masker itu bagaimana, Kak?” tanya si adik yang di ambang kelas dari TK ke 1 SD itu. Cekcok pun di ambang surut.
”Hmmm… Aku, sih, netral-netral saja.”
”Netralitas bisa berubah, lho. Seperti kebijakan pakai masker dan nopol. Banyak tokoh budayawan. Dulu netral. Sekarang berpihak. Swedia dan Finlandia sudah puluhan tahun netral selama perang dingin. Sekarang malah mendaftar jadi anggota pakta pertahanan NATO.”
”Lho, kalau soal perang dingin, aku tidak netral. Jus alpukat dingin yang kamu pindah ke freezer itu milikku!”
”Milikku!”
”Milikku!!!!!”
”Ku!”
”Kuuuuu!!!!”
Suhu politik memanas kembali di tanah air, eh, di seputar lemari pendingin pagi itu.
***
Tape ketan hitam Jendro akan jadi besok sore. Sastro masih melihat istrinya tak banyak ungkap. Kedua cucunya yang cemberut dan sudah masuk ke kamar masing-masing berteriak-teriak tanya ini-itu ke Yang Ti-nya. Wangsulan Jendro irit sekali, ”Entah!” Sudah.
Daripada fakir dialog, Sastro memandang ke tenggara, ke zebra piaraan di pekarangan depan rumahnya. Ternyata garis-garisnya tak benar-benar simetris. ”Alam mendidik, simetris itu membosankan. Wajah manusia juga tak benar-benar simetris. Mangkanya kelak lebih banyak perang asimetris pula,” Sastro teringat penjelasan guru gambar SMA-nya dahulu.
Mangkanya ada menteri yang sepatunya tak sama warna. Dan ngomong-ngomong perkara pasangan sepatu, sore itu masuk penjaja sepatu ke pekarangan rumah mereka. Sambil menyodorkan sepatu sebelah, penjaja berseru, ”Obral besar, Bu! Beli satu ini saja nanti Ibu dapat dua!”
Sastro melirik istrinya, ”Orang ini ketularan esensi kampanye investasi bodong ya, Dik?”
”Entah!” Jendro sembari kuat-kuat menahan kentut. (*)
SUJIWO TEJO
Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers