Ikatan Dokar Indonesia Perjuangan

Oleh SUJIWO TEJO
3 April 2022, 11:07:51 WIB

Terawang baru saja dipecat dari keanggotaan Ikatan Dokar Indonesia. Alasan ikatan, Terawang punya cara seenak udelnya sendiri dalam berkomunikasi dengan kuda.

TERAWANG tidak taat asas sesuai kode etik ikatan profesi tersebut yang sebagian besar berdasar etika berkuda Eropa. Terawang dalam komunikasi dengan kudanya kerap menggunakan ilmu komunikasi dari kearifan lokal seperti dari kuda lumping, kuda kepang, dan lain-lain hingga jatilan.

Terawang…. Seperti bisa diklop-klopkan dengan riwayatnya.

Terawang, menurut pasangan Sastro-Jendro yang kenal dekat orang tuanya, nama yang muncul dari terawangan bapaknya. Suatu malam bapaknya yang seumuran Sastro duduk di bawah pohon seledri. Ia merenung. Dari terawangan di bawah pohon yang daunnya bisa menyerupai ganja itu, bapaknya menerawang, kelak anaknya akan mengalami dua hal sekaligus yang saling bertentangan: pujian dan cacian.

Terawangan itu terjadi.

Terawang banyak dicaci gegara selalu cengengesan dalam memegang tali kendali kuda. Sudah tali kendalinya kendur, tali kekangnya dikendurkan pula. Sudah itu, saat awal-awal virus memapari para kuda, Terawang dengan cengengesan meminta seluruh kuda santai. ”Virus ini nanti akan hilang sendiri,” ujarnya woles. Tentu sembari cengengesan.

Terawang, di pihak lain, juga banyak dipuji terutama oleh mantan-mantan penumpangnya yang selamat sampai tujuan. Mereka mengaku belum pernah dicelakakan oleh dokar Terawang. Misalnya, karena menabrak tiang listrik. Kuda yang dikendalikan Terawang seolah bisa paham mengapa kabel-kabel listrik tak kunjung seluruhnya dipendam di tanah sehingga tata ruang menjadi rapi, kabel-kabel masih pating cerantel di udara lengkap dengan tiang-tiang listriknya yang rawan ketabrak kuda yang lagi pusing berpikir, kok, manusia nggak kapok-kapok dengan investasi bodong.

Terawang, dokarnya, banyak jadi rebutan orang-orang yang akan mendatangi lelang hadiah para rider MotoGP di Mandalika. ”Pokoknya kalau tidak naik dokar Terawang, saya tidak mau berangkat. Soalnya dokarnya tepat waktu. Sampai tujuan, kami pun merasa sehat, otak seperti jernih, seperti habis dicuci,” ungkap warga yang mendambakan helm Aleix Espargaro.

***

Terawang… kisahnya… hanya sedikit dikoreksi oleh Jendro, istri Sastro. Menurut Jendro, ayah Terawang mendapatkan nama ”Terawang” tidak duduk di bawah pohon seledri yang lebih rendah dari dengkul manusia dan daunnya bisa dimirip-miripkan dengan daun ganja. Yang lebih akurat, ayah Terawang duduk di bawah pohon sukun.

”Persis Bung Karno di Ende, Flores, di bawah pokon sukun, waktu menggali kearifan lokal, Pancasila?” tanya Sastro.

”Wah soal desas-desus itu mana saya tahu, Mas. Yang jelas, ayah Terawang itu menemu nama ’Terawang’ ya di bawah pohon sukun… Bukan di bawah pohon seledri… Yang ketuker-tuker antara daun seledri dan daun ganja itu, kan, viral tentang pelapor penipuan. Lelaki itu lapor polisi. Kasusnya penipuan. Mau beli ganja, kok, dikasih daun seledri…”

Diskusi suami istri beralih ke topik penipuan. Menurut Sastro, seburuk-buruknya penipuan, menipu pembeli ganja dengan daun seledri masih bagus. Mungkin si bandar penyalah guna narkoba tak mau ada korban berikutnya atas penyalahgunaan bahan-bahan psikotropika. Diberinya calon pemakai baru itu seledri. Hitung-hitung untuk menurunkan tekanan darah.

”Penipuan yang lebih buruk, apa contohnya, Mas?”

Sastro mencontohkan banyaknya pejabat yang meminta agar masyarakat bangga dengan produk dalam negeri. Tapi, ternyata, tas-tas istrinya adalah tas-tas branded dari luar negeri. LV, Prada, Fendi, Hermes, dan lain-lain.

Sastro menambahkan contoh. Banyak pejabat yang meminta agar masyarakat bangga dengan kearifan lokal. Giliran ada tukang sado melatih kudanya ala kuda lumping, kuda kepang, jatilan, dan sebagainya hingga sayyang pattudduq (kuda menari) dari tanah Mandar, pekathik atau pawang kudanya malah dipecat. Mereka lebih suka kalau kuda menari dalam irama musik-musik Eropa dan Amerika, musik dari orang-orang yang merasa punya hegemoni atas ilmu kedokteran di seluruh jagat.

Sedangkan musik kuda Terawang begini:

Jaranan jaranan jarane jaran teji

Sing numpak ndoro bei

Sing ngiring para menteri

Jeg-jeg nong, jreg-jreg gung

Jeg-jeg gedebuk krincing…

***

”Hmmm…. Bagaimana kalau pekathik ini tidak dipecat, tapi ditampar saja, Mas?” esok harinya Jendro melanjutkan diskusi kecil-kecilan dengan suaminya. Seperti umumnya diskusi kecil-kecilan di antara suami istri, diskusi itu menjadi diskusi yang berkepanjangan.

”Itu juga bukan kearifan lokal kita, Dik. Itu kearifan orang ’Barat’. Seperti Will Smith menampar Chris Rock di Piala Oscar. Chris Rock ada pembelanya. Will Smith juga ada pembelanya.”

Diskusi masih berkepanjangan. Setidaknya, kesimpulan sementara sudah dicapai. Sastro-Jendro tak ingin penguasa mengambil alih kewenangan Ikatan Dokar Indonesia (IDI) untuk mencabut izin praktik anggotanya. Pasangan itu ingin demokrasi tetap dijunjung tinggi. Seperti halnya ada BMKG, tapi juga boleh ada Mbak Rara si pawang hujan. IDI tetap ada dengan wewenang sebelumnya, tapi munculkan IDI Perjuangan, yang anggotanya terdidik secara ”Barat” tapi tidak minder pada ”Barat” dan masih menjunjung tinggi kearifan lokal. (*)

SUJIWO TEJO, Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

Editor : Ilham Safutra

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads