Lebaran Kepodang

Oleh SUJIWO TEJO
1 Mei 2022, 05:53:58 WIB

Roro Mendut akhirnya mau mudik Lebaran setelah terjamin bahwa udik tak akan menyinggung-nyinggung kapan ia akan menikah. Tertulis di atas kertas folio merah-putih bermeterai Rp 10.000, keluarga besar di kampung halamannya menjamin keras hal itu. Mereka, termasuk para tetangga, tak bakalan sepatah pun menginterogasinya kapan janur akan dilengkungkan.

SETELAH menerima perjanjian merah-putih, bermeterai pula, semangat mudik Mendut yang tadinya redup kembali hidup. Hari ini ia bergegas ke bengkel sepeda motor. Mesin, rem, lampu-lampu, dan lain-lain ia minta dicek. Sekalian ia cek kedua bannya cukup atau tidak terisi nitrogen, angin adem yang saat pandemi lalu sering ketuker baca dengan ”antigen”.

Kini nitrogen tak akan lagi terbaca antigen seperti yang sudah-sudah saking traumanya orang-orang dicolok-colok hidungnya. Ke gerai angin sejuk inilah Mendut mampir setelah dari bengkel. Ia pastikan tunggangannya yang setia selama bertahun-tahun itu akan lancar jaya mengantarnya sampai ke ibu kota sejati Nusantara: kampung halaman.

Walau akan terhijab helm, Mendut tetap berdandan. Ia sedang merampungkan celak matanya saat terkenang mantan terakhirnya yang hidung dan dagunya mirip mas-mas gerai nitrogen. Mata, pundak, dan rambut mantan terakhirnya itu mirip montir magang di bengkel. Ya, mirip sekali mata, pundak, dan rambutnya terutama saat mas-mas itu membungkuk membersihkan bagian bawah mesin. Namun, soal hidung dan dagu, mas-mas gerai nitrogen yang lebih masyukkk dengan potongan sang mantan terakhir.

***

Di ”Hotel Merah-Putih”, demikian cara anak-anak muda pemudik bersepeda motor menamai SPBU Pertamina, Mendut bersebelahan dengan pemuda yang merupakan antitesis mantan terakhirnya. Penampakannya bertentangan 180 derajat dengan mantan terakhirnya. Hidungnya tak mancung. Rahangnya kaku. Matanya sayu. Rambutnya keriting. Selalu tampak merengut. Selama hampir dua jam Mendut bersebelahan, pemuda itu ketawanya cuma sekali saat melihat HP-nya. Itu pun tertawa kecut.

”Apakah aku akan pacaran dengan arek iki?” pikir Mendut. Mendut ingat, Sastro-Jendro selaku sesepuhnya di kampung halaman pernah berwanti-wanti mengenai hal ini. Presiden berikut, kata mereka, selalu merupakan antitesis dari mantan presiden terakhir. Pak Jokowi antitesis Pak SBY. Pak SBY antitesis Bu Mega. Bu Mega antitesis Gus Dur. Gus Dur antitesis Pak Habibie. Setelah Pak Jokowi mungkin presiden kita seperti Pak SBY lagi.

Mendut setengah percaya setengah tidak. Citro Prono, mantan terakhirnya itu, memang antitesis dari Guno Wiro, pacarnya sebelum dengan Citro. Tapi Guno Wiro bukan antitesis dari Asu Jiwo, pacar Mendut sebelum dengan Guno. Guno dan Asu malah sama-sama nggantengnya, seperti Bung Karno dan Pak Harto.

Jadi, tipe seperti apakah presiden Indonesia selanjut…eh, tipe pacar Mendut selanjutnya?

Di ”Hotel Merah-Putih” itu Mendut sama sekali tak berpikiran ke sana. Sambil sesekali mematut-matut rias wajahnya di kaca spion sepeda motornya, termasuk celaknya, putri ketiga keluarga petani ini membatin hal lain. Mestinya penguasa tak perlu repot-repot bikin kebijakan ini-itu untuk mengurangi arus mudik. Harus sudah vaksinasi. Harus dengan pembatasan ganjil genap nomor polisi.

”Sudah, ini saja. Pak Jokowi atau jajarannya imbau saja agar para sanak saudara dan handai tolan di kampung halaman rempong soal kapan generasi kami ini akan menikah. Kalau perlu jangan cuma rempong, sekalian imbau agar mereka menginterogasi kami. Pasti kami-kami ini males pulkam. Kepadatan arus mudik berkurang drastis!!!” pikir Mendut.

***

Di kampung halaman, seluruh orang taat ”Pakta Merah-Putih Bermeterai”. Dari celah-celah stoples madumangsa, nestar, dan lain-lain kue Lebaran Mendut kerap mencuri pandang adik-adiknya membisiki tamu-tamu yang baru datang. Yang dibisiki biasanya melongo lalu manggut-manggut. Mulutnya membentuk huruf ”Oooo”. Pasti adik-adiknya yang sudah pada menikah dan memberi cucu itu membisikkan rambu agar jangan bertanya soal pernikahan kakaknya.

Muncul lagi seorang tamu. Masih muda. Para adik saling menengok untuk menunjuk siapa yang membisikkan rambu-rambu. Tak ada yang berani sebab tamu ini asing. Di ruang tamu penuh dengan stoples kue kering dan tape ketan ijo tak seorang pun mengenal pemuda ini. Si bungsu dipojokkan untuk membisikkan alarm itu. Eh, tetap saja sang pemuda bertanya ke Mendut, ”Kapan kamu akan menikah?”

Kagetlah Mendut. Ia lagi asyik-asyiknya tertunduk ngudang-ngudang keponakannya yang masih bayi. Bukankah pemuda baru muncul itu adalah antitesis dari Citro Prono, mantan terakhirnya? Pemuda senyum kecut satu kali yang dua malam lalu bersebelahan di ”Hotel Merah-Putih”?

”Lancang sekali pertanyaanmu!” wajah Mendut memerah.

Guno Wiro, pemuda itu, tersenyum. Senyumnya tidak kecut seperti di ”Hotel Merah-Putih”. Senyumnya tulus. Ia menyodorkan sekaleng Khong Guan Biscuits seakan seserahan pada acara lamaran. ”Aku ingin menjadi suamimu, Mendut. Aku berjanji, Lebaran tujuh tahun lagi gambar kaleng Khong Guan ini sudah lengkap. Bukan cuma gambar ibu dengan dua anak seperti selama ini. Sudah ada gambarku, suamimu,” katanya.

”Suit suiiiiiiiitttt…. Antitesis nih yeeeee…..” komen kepodang. (*)


SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

Editor : Ilham Safutra

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads