PANDEMI Covid-19 mengubah kebiasaan dan perilaku manusia di semua bidang. Tak terkecuali di dunia pementasan. Larangan berkumpul, membuat kerumunan, membuat kehadiran penikmat seni ke gedung pertunjukan muskil terjadi.
Kondisi yang serba terbatas itu tak menghalangi para seniman di Teater Garasi untuk berkreasi. Lantas disepakati, mereka membuat sebuah format baru panggung teater yang disajikan secara virtual.
Lantas, setelah pematangan ide, Teater Garasi menjajal memformat ulang pementasan yang sudah dipanggungkan. Proyek itu bernama Multitude of Peer Gynts (MPG). MPG dirancang dan dimulai di Larantuka pada 2018, kemudian bergeser ke Tokyo dan Shizuoka setahun kemudian.
Proyek MPG sebenarnya tidak dirancang untuk suguhan virtual. Bahkan, tahun ini MPG seharusnya dipentaskan di depan penonton Jogja dan Jakarta periode Juni-Juli lalu. Namun, wabah telanjur datang.
Akhirnya, dimodifikasilah pementasan MPG sehingga mampu melalui tantangan tanpa pertemuan fisik. Karya MPG yang berjudul UrFear: Huhu and the Multitude of Peer Gynts itu akan disajikan Oktober mendatang.
Sutradara proyek MPG Yudi Ahmad Tajudin menuturkan bahwa pihaknya menawarkan konsep yang lebih dari sekadar panggung pertunjukan konvensional yang disiarkan lewat live streaming. ”Maka, kami berdialog dengan logika internet dan berupaya menciptakan panggung world wide web,” tutur Yudi dalam peluncuran pementasan MPG secara virtual Rabu lalu (12/8).
Struktur atau peta situsnya akan dirancang khusus sebagai sebuah pertunjukan. Penonton bisa membayangkan setiap halaman laman MPG sebagai sebuah panggung kecil berisi rangkaian peristiwa pertunjukan individual yang disebut modular. Pertunjukan dilakukan oleh seniman di lokasi masing-masing.
Karena itu, ada yang dipertontonkan secara real time, ada pula yang pre-recorded. Pertunjukan tersebut nanti juga memungkinkan interaksi dengan penonton secara digital lewat fitur interaksi. Dengan begitu, penonton akan mendapatkan pengalaman yang berbeda dalam menyaksikan sebuah pertunjukan.
Karena pertunjukan itu disuguhkan dalam medium berbasis internet, ia memiliki nalar dan keterbatasannya sendiri. Dan di saat bersamaan, juga memiliki berbagai kemungkinan yang berbeda dengan pertunjukan langsung. ”Karena ini medium yang baru buat kami, untuk tahun ini kami juga mengundang beberapa kolaborator baru,” lanjut Yudi.
Salah satunya Woto Wibowo atau yang akrab disapa Wok the Rock. Dia adalah seniman yang banyak bekerja lewat medium internet dan dunia digital. Selain itu, ada Nyak Ina Raseuki atau Ubiet, Darlene Litaay, Abdi Karya, dan Andreas Ari Dwiyanto.
Menggarap pertunjukan tanpa pertemuan fisik diakui pegiat Teater Garasi Ugoran Prasad sungguh menantang. ”Soalnya, memang situasi teater di tengah keharusan untuk bekerja secara online itu penuh ketidakjelasan,” ujar pria yang juga vokalis band Melancholic Bitch tersebut. Versi Ugo, dibutuhkan perjuangan besar untuk menerima berbagai konsekuensi dan beradaptasi dengan situasi.
Ugo berujar, bagaimanapun, basis pembuatan setiap karya di Teater Garasi adalah pertemuan fisik antarseniman di ruang latihan. Pertunjukan dibangun dari hasil-hasil pertemuan fisik. Baik berupa improvisasi, eksplorasi bersama, diskusi, maupun lainnya. Setiap gerak tubuh yang terjadi dalam penyiapan pertunjukan tampak mensyaratkan pertemuan langsung. ”Tapi, kemudian periode daring menghasilkan temuan baru,” tutur Ugo.