Dengan kata lain, hari-hari sekolah adalah hari yang tak mengasyikkan.
Sebetulnya tak perlu jadi anak-anak untuk melihat kontras semacam itu. Setelah dewasa, kita tahu hari libur berarti leha-leha di rumah, bisa cuma sarungan, tidur sampai siang, waktu bersama keluarga. Sementara itu di hari kerja, artinya harus banting tulang, kadang pakai seragam, bangun subuh untuk berebut lalu lintas, untuk beberapa orang berarti tak melihat anak dan pasangan seharian.
Liburan bisa dilihat semacam penyeimbang. Bisa pula, dengan cara sinis, sebagai cara untuk melupakan betapa mesin kapitalistik bekerja atas hidup manusia selama lima hari berturut-turut, membuatmu memeras keringat, demi upah, tapi terutama demi keuntungan lebih besar ke perusahaan.
Sekarang saya jadi memikirkan betapa konsep semacam itu jadi babak belur di hadapan pandemi. Ketika orang-orang terpaksa mulai bekerja di rumah, sebagian kantor bahkan tampaknya akan permanen bekerja dengan cara seperti ini, batas antara libur dan kerja mulai abu-abu.
Tentu kalender masih punya angka yang berwarna hitam dan merah. Masih menunjukkan dengan jelas mana hari kerja dan mana hari libur. Yang buyar adalah gambaran-gambaran awal kita tentang keduanya, yang biasanya tegas berbeda.
Selama komputer menyala, atau pekerjaan diselesaikan, kita bisa berleha-leha di hari Senin hingga Jumat. Di hadapan kamera ketika rapat, bisa jadi kita belum mandi, atau hanya pakai kolor. Bisa sambil bercengkerama dengan anak.