Tiwikrama, dalam dunia perwayangan, merupakan sebuah energi bertransformasi. Dari sosok biasa menjadi raksasa yang berkekuatan dahsyat. Dan itu bisa menjadi potret diri Dyan Anggraini. Seorang seniman yang selama 24 tahun berhasil menyatukan hidup sebagai perupa aktif sekaligus PNS fulltime di institusi seni Taman Budaya Yogyakarta (TBY) (1989–2011) dan dinas kebudayaan (2011–2013).
—
TIWIKRAMA memang sangat memesona, kata Dyan yang belajar di sekolah Tamansiswa Kediri. Dyan berada dalam institusi yang didirikan Ki Hajar Dewantara itu semenjak level taman anak-anak sampai SMA.
Sekolah Tamansiswa didirikan pada 1922 oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar adalah sosok nasionalis, jurnalis, dan aktivis untuk edukasi yang bertujuan membangun manusia Indonesia yang kukuh, diliputi rasa kebangsaan, cinta budaya, berjiwa merdeka, dan berani mengambil keputusan sendiri. Dianggap sekolah liar (wilde scholen) oleh pemerintah kolonial, tapi sambutan sukacita datang dari semua rakyat di Nusantara.
Pada 22 Juni–3 Juli ini, Dyan menggelar pameran tunggalnya yang ke-11. Atau bertepatan dengan peringatan 100 tahun berdirinya Tamansiswa.
Dyan sengaja memilih ruang kelas di Tamansiswa Kediri, kota kelahirannya di mana ia menghabiskan waktunya bersekolah. ”Saya ingin menularkan semangat Tamansiswa ke generasi muda,” kata Dyan mengomentari pilihan pameran di ruang kelas SD.
Belajar di Tamansiswa membuat Dyan tumbuh sebagai manusia yang berkarakter mandiri. Hal tersebut sudah tampak ketika pada dekade 1970-an di mana Dyan sebagai mahasiswa muda di tengah keriuhan wacana lukisan memilih tidak ikut-ikutan paradigma painting arus utama.
Dyan malah memakai medium kolase dengan daun kering dan rantai serta menambah baby doll dan soldier doll terbuat dari plastik merah. Tampak seperti karya 3D yang memvisualkan sebuah protes. Tapi, Dyan menampik. Itu lambang kemanusiaan, katanya.
Cita-cita menguatkan institusi seni terwujud ketika Dyan melamar, diterima di TBY pada 1989. Dyan kemudian menjadi pimpinan dan mengabdi dari 1989 sampai 2013. Di bawah pimpinannya, TBY berkembang menjadi institusi yang ampuh dan siap menghadapi perkembangan seni rupa yang berubah dari waktu ke waktu.
Seiring dengan berhasilnya memajukan institusi TBY, karya dan proses berkaryanya sebagai perupa juga maju pesat. Dari realis melaju ke abstrak simbolis, dilanjutkan ke instalasi, 3D, dan seterusnya sampai mencapai tingkat sublimasi. Selama masa baktinya sebagai PNS, ia mengadakan enam kali pameran tunggal.
Pengalamannya sebagai birokrat membawa pengaruh yang sangat signifikan pada karyanya. Dyan yang senang dengan mata pelajaran seni dan budaya di Sekolah Tamansiswa mengatakan, seni memungkinkan ekspresi bebas dan mengungkapkan apa yang tak dapat diekspresikan secara verbal.
Pergumulan antara nilai-nilai yang dianut dan realitas di dalam birokrasi menjadi inspirasi yang tak terhingga pada rasa artistiknya.
Semula Dyan berkritik dengan memakai topeng yang tampak seperti karikatur. Yang menjadi wahana penting untuk mengekspresikan pikiran dan kritiknya terhadap ketidakberesan perilaku manusia dalam masyarakat.
Kritik yang ia wujudkan dengan berbagai karya lukisan, drawing, instalasi, mixed media yang memuncak seiring perkembangan di lingkungan birokrat di mana ia bekerja. Maka, seiring berkembangnya institusi yang dipimpin, begitu pun kreativitas seninya yang ia buktikan dengan enam kali berpameran tunggal selama masa baktinya sebagai birokrat.
Mulai 2004, topeng menjadi medium yang ampuh. Dua seri topeng menonjol dalam kekaryaannya. Yang satu di mana manusia yang ia gambarkan diberi topeng sehingga kritiknya tampak seperti cerita komik yang ”lucu” di mana identitas dirinya tidak tampak. Berkulminasi di tahun 2007 pada pameran tunggal DeocraGent, figur birokrat bertelanjang dada dengan hanya memakai dasi sebagai satu-satunya busana (berjudul Priyayi). Atau sebuah kursi kosong diisi topeng-topeng dan berjudul Menunggu Badut-Badut menjadi lucu, tapi juga merupakan kritik pedas.
Ketika keadaan politik berubah, muncullah seri Koor Bungkam pada 2013. Yakni, berupa 24 sketsa dirinya di atas kertas surat resmi yang ia gambar setelah jam kantor. Potret wajah dirinya dengan mata terbuka lebar membelalak seakan dalam teror yang dahsyat serta mulut setengah terbuka menahan jeritan yang syok.
Kedekatan peniti dengan seharian seorang ibu diekspresikan dengan karya Bunda (2018). Instalasi peniti raksasa sebagai gantungan baju-baju perempuan seperti kebaya.
Pun instalasi Perjalanan (2021) berupa 20 pasang kaki yang dicetak dari kakinya sendiri dengan tusukan peniti di bawah kaki menjelaskan perjalanan panjang seorang ibu yang ia anggap segala-galanya.
Di Tanganmu (2022) bagi kehidupan manusia dan sering harus menahan diri. Dengan kesabaran yang tinggi, tapi ada batasnya juga. Hal demikian juga dijelaskan pada karya mixed media Perempuan-Ibu (2020), yakni berupa perempuan berbusana tradisional memakai masker dan drawing tiwikrama di sampingnya. Estetika dalam diam juga diperlihatkan dengan karya instalasi 3D seperti Vexation (2018) yang menghadirkan tangan yang mengepal dan meremas sebagai ekspresi frustrasi yang tertahan secara sangat menyentuh.
Perilaku dan karya seni Dyan demikian istimewa sehingga diperbincangkan dalam konferensi internasional 2nd International Conference on Art and Art Education 2018 terkait Implementation of Gender Mainstreaming. Perupa Dyan yang menerima Anugerah Budaya (2019) dalam kategori pelaku dan pelestari diterimakan oleh gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta).
Dyan termasuk 10 perupa perempuan di atas 50 tahun yang diseleksi panitia Infusions into Contemporary Art (2022) karena dianggap telah memberikan sumbangsih penting untuk seni rupa kontemporer Indonesia. (*)
—
*) Karena keterbatasan di sistem, judul tulisan ini dipersingkat dari yang aslinya, Dyan Anggraini: Ketika Roh Tiwikrama Menyatu dengan Jati Diri Ketamansiswaan
**) CARLA BIANPOEN, Penulis seni rupa kontemporer