Gwangju Biennale Ke-13 Menggebrak di Tengah Pandemi
Setelah ditunda dua kali sejak September 2020, Gwangju Biennale Ke-13 akhirnya dibuka pada 1 April dan berakhir 9 Mei.
—
BIENNALE yang konon merupakan agenda tertua dan terpandang di kawasan Asia kali ini tidak seramai biasanya karena terhambat pandemi Covid-19. Namun, konsep dan ide yang dilancarkan kurator berskala dunia Defne Ayas kelahiran Istanbul yang tinggal di Berlin dan Natasha Ginwala kelahiran India dan melanglang antara India dan Berlin bergaung ke mana-mana.
Betapa tidak, kuratorial visioner yang sangat ekstensif melampaui sistem global Barat. Tampak keinginan untuk mengubah pola pikir dengan menawarkan budaya pikir alternatif lewat suatu penjelajahan semangat hidup manusia yang meliputi berabad-abad pengalaman. Dari yang purba, shamanism, cerita rakyat, sampai pengetahuan terkini seperti artificial intelligence dan neuroscience. ”Kami mencoba untuk masuk ke extended mind,” kata kurator perempuan Defne Ayas dan Natasha Ginwala. Keduanya mengaku berupaya untuk menyatukan bentuk seni yang tertua sampai yang terbaru.
Revolusi demokrasi di Korea 1980 menjadi cikal bakal Gwangju Biennale yang digelar setiap dua tahun. Sejak 1995, Gwangju Biennale menjadi pusat artistik pemikiran baru untuk menjawab kekerasan revolusi.
Gwangju yang tadinya kota kecil yang kumuh di Korea Selatan menjadi kota terpandang. Setidaknya itu menurut patron seni rupa Indonesia Natasha Sidharta yang mengikuti perkembangannya dari semula. Biasanya Gwangju Biennale dibanjiri pengunjung dari seluruh penjuru. Kata Natasha, malah pihak yang bukan berseni pun mementingkan untuk berkunjung.