Hari ketiga Lebaran lalu, saya akhirnya main bola lagi. Itu adalah untuk kali pertama saya main bola lagi sejak memutuskan berhenti kurang lebih tujuh tahun lalu karena mengkhawatirkan tubuh yang makin menggelembung dan napas yang makin pendek. Yang lebih epik, itu juga adalah momen saya kembali ke lapangan yang saya tinggalkan nyaris 25 tahun lalu.
—
SAYA seorang penggila bola, baik menontonnya maupun memainkannya. Seperti kebanyakan anak yang tumbuh di pengujung ’80-an di Jawa Timur, saya tumbuh bersama ingar-bingar sepak bola Surabaya dan efek ikutannya: demam tarkam dan galadesa. Juga sebuah privilese yang langka, generasi kami melewati masa keemasan yang pendek tim nasional Indonesia, saat dua emas SEA Games didapatkan. Semua anak menendang bola sambil membayangkan diri sebagai Mustakim atau Ricky Yacobi, atau menerkam bola dengan gaya Putu Yasa atau Ponirin Meka.
Itu memori yang hebat. Tapi, rasanya, bukan semata karena itu saya ikut main bola lagi.
Kurang lebih setahun terakhir, orang-orang yang saya kenal (teman ngopi, saudara, kawan di kampung), sebagian besar seusia atau bahkan lebih tua, ramai membicarakan soal main bola lagi. Euforia pascapandemi adalah penjelasan tentatifnya.
Adik saya, seorang wartawan di Solo, diundang pengurus PWI setempat untuk membentuk tim dan mulai mencari lawan sparing. Teman lain bercerita bahwa kawan-kawan di kampungnya di Boyolali, sebagian besar bapak-bapak usia 40-an, menyiapkan anggaran 500 ribu–1 juta sekali main untuk menyewa lapangan dan tukang potret. Seorang sepupu, berusia di atas 45, tak henti bicara tentang ”Tim U-40”-nya yang berbasis di lapangan desa sebelah, dan lawatannya ke tim-tim di Tuban, Bojonegoro, hingga Pasuruan. Seorang teman lama yang berkunjung saat Lebaran malah bilang, ia dan timnya sempat melawat ke beberapa kota di Jawa Tengah.
Obrolan tentang sepak bola paro baya itu biasanya kemudian diikuti perbincangan tentang pemain-pemain profesional, baik mantan maupun yang masih aktif bermain, yang mereka undang ikut bermain. Komentar semacam ”Meski sudah 50, si anu itu masih kencang larinya” atau ”Kok bisa pemain begitu transfernya bisa sampai 2 M?” mulai terdengar lazim di obrolan warung kopi. Juga tentang lapangan mana yang terbaik di daerah sekitar sini dan berapa sewanya per game. Dan tentu saja tentang sepatu: merek apa yang paling mahal dan paling murah, ke mana atau kepada siapa bisa pesan sepatu yang cukup bagus dengan harga ”terjangkau”, dst.
***
Untuk konteks desa saya, obrolan tentang ”main bola lagi” jadi lebih seru dan melebar. Desa kami adalah desa kecil di Lamongan Utara yang keranjingan bola, seperti kebanyakan desa di pantura, tapi telah lama tak punya tim yang stabil dan berkelanjutan. Tahun ’90-an, ketika demam tarkam sedang tinggi-tingginya, tim kami lumpuh setelah ditinggal beberapa pemain kuncinya berangkat merantau; tahun 2000-an, meski banyak bakat bagus muncul, sebagian besar menghabiskan masa remaja dan matangnya di pesantren dan kampus di kota-kota besar, dan liburan sekolah yang pendek tak pernah cukup untuk membentuk tim yang solid. Tren futsal pada dekade lalu memberi lahan bagi tumbuhnya bibit-bibit baru, tapi karena dimainkan di lapangan-lapangan tertutup di sepanjang Jalan Daendels, sepak bola jadi kehilangan konteks kampungnya. Sentimen organisasi keagamaan, diakui atau tidak, juga kadang menyela masuk, membelah tim yang masih setengah terbentuk. Itu membuat lapangan kami yang kecil cukup lama telantar.
Saya dengar lapangan itu kini sedang diperbaiki pemerintah desa. Permukaannya yang miring dan dipenuhi perdu diratakan, dan rumput baru yang tumbuh katanya cukup bagus. Karang taruna juga kabarnya punya mesin pemotong rumput. Beberapa foto di media sosial menunjukkan lapangan itu memang sedang berubah wajah. Diskusi selanjutnya: bagaimana memanfaatkannya?
”Ayo main bola lagi!” Itu adalah komentar paling umum, yang jelas didorong oleh naluri purba. Komentar lain terdengar lebih rumit dan skeptis: mudah mengumpulkan orang di hari ketiga Lebaran, bagaimana sebulan ke depan, setengah tahun ke depan? Tapi ada juga komentar yang lebih optimistis, bahkan sedikit ambisius, dan tampak sepenuhnya menyambut tren yang sedang tumbuh di banyak tempat: tanam investasi lebih, bangun fasilitas penerangan memadai, sewakan, dan ekosistem sepak bola setempat akan ikut berkembang.
Berdasar pengalaman, pandangan skeptis itu punya dasar. Namun, pada masa ketika desa-desa berlomba punya destinasi wisata Instagrammable, dan jurang-jurang tempat dulunya kotoran dan bangkai hewan dibuang diubah menjadi lokasi kongko keren para pesepeda dari kota, pendapat terakhir itu tak bisa diabaikan.
***
Dengan kaus timnas Cile hadiah seorang kawan wartawan yang bertugas di Piala Konfederasi 2017 yang sangat jarang dipakai, celana pendek yang kolornya telah kendur, dan tanpa sepatu, saya berangkat ke lapangan yang sudah saya tinggalkan sejak kelas 2 SMA.
Lapangan itu belum rata benar, tapi jelas jauh lebih baik. Juga lebih lebar. Rumput terlihat baru dipotong. Bau harumnya menguar ke sekitar. (Tampaknya, inilah yang membuat saya tak pernah benar-benar bisa menerima futsal). Memasuki lapangan dengan kaki telanjang, segera bergabung dalam lingkaran rondo bersama beberapa orang yang tidak saya kenal, dada saya berdebar. Ketika bola menyentuh punggung kaki telanjang saya, saya menggigil oleh rasa gembira sekaligus haru.
Saya hanya bermain sekitar 15 menit. Itu cukup. Mendapati bahwa saya keluar lapangan dengan langkah yang tak goyah, napas masih tertata, dan mata yang masih terang, saya adalah orang paling bahagia di seantero lapangan.
Saya berangkat ke lapangan oleh hasrat yang sama yang mendorong saya main bola untuk kali pertama: bocah 6 tahun itu masih belum pergi dari tubuh saya. Tapi saya tahu, itu saja tak akan cukup meyakinkan saya untuk bermain bola lagi setelah sekian lama. Bapak-bapak paro baya korban tren itu jelas memainkan perannya.
Saya membenci fashion, bahkan di sepak bola. Saya punya sepotong kaus AC Milan tua dan kostum kedua Parma saat mereka terakhir terdegradasi, tapi saya tak pernah tertarik mengoleksi jersey klub; saya mencibir para penimbun pernak-pernik bola sebagai kekanakan. Tapi nikmatnya rasa lelah sehabis main bola yang telah lama absen ini tak bisa begitu saja dikesampingkan.
Di pinggir lapangan, sambil mengabaikan perut yang menggunung, saya mulai memikirkan sepatu apa yang cocok untuk telapak kaki saya yang pendek tapi lebar, dan mengira-ngira berapa harganya. Juga mungkin ada baiknya mulai bertanya apakah ada tim ”U-40” di Jogja, main di mana, dan berapa iuran per game. (*)
—
MAHFUD IKHWAN, Penulis asal Lamongan