Penjor dalam Festival

Oleh AGUS DERMAWAN T.
12 Juni 2022, 10:27:03 WIB

Menyaksikan festival penjor di Bangli, Bali. Kreasi yang menakjubkan membawa kita jadi begitu hormat kepada tradisionalisme.

PADA Mei kemarin Kabupaten Bangli merayakan usianya ke-818. Dalam rangka perhelatan itu, Bangli menggelar festival penjor. Sebagai pemerhati seni, saya merasa sangat beruntung berkesempatan mengunjungi festival yang luar biasa itu. Sebab, meski penjor ada di sekujur Pulau Bali, festival penjor dalam skala besar sangat jarang diselenggarakan di Bali.

Lalu, di Alun-Alun Kota Bangli yang resik, megah, dan luas, ratusan penjor dalam berbagai kreasi bergoyang menyapa langit. Karena alun-alun itu tak kuasa menampung, ratusan penjor lain berarak di tepian jalan kota. Sehingga jadi penghias yang alanglah indahnya.

Penjor adalah unsur upacara yang dikreasi untuk penyambutan Galungan. Dan lambang kemenangan jiwa manusia yang mengalahkan pikiran-pikiran negatif. ”Penjor adalah lambang yang mengajak manusia untuk selalu menyadari kemenangan pikiran baiknya, menyadari kekuatan jiwa luhurnya,” kata Sang Nyoman Sedana Arta, bupati Bangli.

Penjor mengandung berbagai simbol suci, yang berkait dengan bahan-bahan yang digunakannya. Bambu, misalnya, simbol vibrasi Dewa Brahma. Kelapa sebagai simbol Dewa Rudra. Kain kuning dan janur adalah simbol Dewa Sangkara. Pala bungkah dan pala gantung (umbi dan buah) sebagai simbol Dewa Wisnu. Tebu yang disisipkan di situ adalah simbol vibrasi Dewa Sambu. Padi sebagai simbol Dewi Sri. Menurut lontar Tutur Dewi Tapini, kain putih yang dikibarkan di situ adalah simbol vibrasi Dewa Iswara. Sanggah (tempat untuk pemujaan) adalah simbol Dewa Siwa. Upakara (pekerjaan tangan atau bebanten) adalah simbol Dewa Sradha Siwa dan Parama Siwa. Lalu, penjor Bangli pun berkibar dengan segala lapisan maknanya.

Sesungguhnya penjor di Bali memiliki dua sifat. Yang pertama adalah penjor keagamaan, yang digubah untuk menyambut upacara Galungan dan Piodalan. Biasanya penjor-penjor ini terpasang di berbagai pura. Yang kedua adalah penjor hiasan, yang gubahannya tidak berhubungan dengan upacara keagamaan. Namun, meski terkategori sebagai ”hiasan”, gubahan penjor tetap menerapkan ketaatan dalam menghantarkan simbol-simbol. ”Bagaimanapun dan untuk apa pun, pembuatan penjor selalu untuk Sang Hyang Widhi Wasa,” kata kepala dusun yang mengikuti festival.

Sementara itu, Bangli termasuk wilayah yang paling unik di Bali lantaran merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang tidak memiliki laut. Sehingga yang terhampar di Bangli adalah melulu daratan dengan bukit-bukit dan gunung disertai sungai-sungai yang membelah. Dengan penduduk sekitar 270 ribu jiwa, Bangli punya 4 kecamatan dengan 68 desa. Setiap desa memiliki banyak dusun. Di setiap dusun ini ada Desa Adat atau lembaga yang mengurus tradisi. Nah, ratusan Desa Adat inilah yang mencipta penjor untuk difestivalkan. Bahkan tidak hanya dusun, kreator perseorangan pun boleh ikut dengan kreasi-kreasi barunya. Sejajaran juri diminta menilai segala aspeknya untuk ditentukan sebagai juara.

Maka, dalam festival tampak menjulang penjor bikinan Desa Adat Buahan, Desa Adat Katung, Desa Adat Tiga Kawan, Desa Adat Langkan, Desa Adat Awan, Desa Adat Malet Kutamesir, Desa Adat Batukaang, dan lain-lain. Unik. Rasanya, dalam sejarah seni rupa, mungkin hanya Bangli yang menggelar kompetisi penjor.

Menilik aspek bentuk, penjor selalu ditegakkan oleh bambu yang dipasang agak miring, yang menyebabkan bagian ujung bambu melengkung ke bawah dan menghasilkan lengkungan di puncak. Maka, ketika dua penjor dipasang berhadapan, yang terpandang adalah imaji gunung yang menjulang. Bayangkan ketika ratusan penjor dipajang bertatapan: ratusan imaji gunung akan muncul dalam pandangan.

Ya, masyarakat Hindu Bali memang menganggap penjor sebagai seni visual yang mengungkap peluhuran atas gunung. Sedangkan gunung adalah bangunan alam penunjuk tingkatan langit yang disebut meru. Sementara gunung dari segala gunung di Bali adalah Gunung Agung sehingga oleh masyarakat Bali dianggap sebagai mahameru. Di mahameru inilah bersinggasana dewa-dewa, bahkan tempat Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) –yang mewakili Tri Tunggal (Brahmana, Wisnu, Syiwa) berada. Masyarakat Bali menganggap penjor yang tergubah monumental adalah bentuk peluhuran atas Gunung Agung.

Gunung Agung memang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Hindu Bali. Syahdan, gunung ini, menurut Babad Gunung Agung, pernah meletus pada tahun 89, 92, 148, dan 189. Babad Gumi mencatat meletus tahun 1553, 1615, 1616, 1665, 1683, 1664, 1710, dan 1711. Pada abad ke-19 meletus pada 1808, 1821, dan 1843. Terakhir, Gunung Agung meletus pada 17 Maret 1963. Konon, letusan ini adalah bentuk kemarahan gunung kepada masyarakat Bali sekuler (yang didukung Presiden Soekarno), yang mendadak menyatakan bahwa upacara Eka Dasa Rudra (upacara besar 100 tahun sekali) jatuh pada tahun 1963. Padahal, seharusnya tahun 1979.

Atas letusan dahsyat itu, masyarakat Bali memohon ampun kepada Gunung Agung lewat upacara peluhuran dengan memasang ribuan penjor. Presiden Soekarno bahkan juga berinstruksi: Dirikan penjor sebanyak-banyaknya. Gubah penjor seindah-indahnya!” (*)


*) AGUS DERMAWAN T., Penyusun buku Bali Bravo: Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 Tahun

Editor : Ilham Safutra

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads