Baru-baru ini sebuah pameran di sebuah galeri Italia yang berdekatan dan bertepatan dengan tanggal Biennale Venezia sungguh menarik perhatian. Pameran itu digelar artis kondang asal Indonesia Eddy Susanto.
JADI, meski Indonesia tidak menghadirkan paviliun nasional di perhelatan penting Venice Biennale, pameran luar biasa Eddy itu dapat menjadi pandu kekayaan budaya Indonesia yang tak terhingga.
Apalagi yang dipamerkan ternyata merupakan karya-karya yang mempertanyakan neraka dalam kesadaran Jawa dan imajinasi penyair Italia Dante Alighieri. Fenomena yang konon terjadi pada abad yang sama di belahan dunia yang berjauhan. Tebersit pertanyaan kok bisa? Apakah fenomena kebetulan? Adakah semacam telepati yang melintasi semesta pada waktu yang sama?
Seorang artis genius seperti Eddy dapat menemukan hal-hal seperti itu. Sehingga kurator pameran Valentina G. Levy bersama Naima Morelli menilai bahwa perlu adanya suatu penelitian apakah ide-ide yang muncul di dunia Barat telah terpengaruhi oleh ide-ide yang sudah ada di Timur? Jangan-jangan Dante pernah ke Jawa.
Alhasil, pameran sepuluh karya Eddy yang berjudul The Allegory of Hell from Borobudur to Dante digelar pada 28 Juli–4 September di Galeri GAD Giudecca Art District di Pulau Geiudecca, Venezia. Daerah yang secara artistik menyatukan pengertian neraka sebagaimana diartikan sebagai sebab dan akibat (karma) dalam kitab Karmawibhangga dengan Inferno-nya Dante mengenai neraka tempat hukuman manusia atas perbuatannya selama hidup di dunia.
Secara luar biasa, pada lima karya yang terdiri atas relief kuno tentang neraka di Candi Borobudur, Eddy membentuk image-nya dengan tulisan pena tipis berbahasa Latin yang menceritakan kesadaran (imajinasi) Dante mengenai neraka.
Sedangkan lima karya lainnya mengapriori image-image pada engraving Gustave Dore dan Giuseppe Bossi yang mewakilkan syair Dante, Eddy membentuk image-image dengan cerita kitab Karmawibhangga bertulisan aksara Jawa kuno. Kalau bentuk Borobudur merupakan bentuk piramida, karya Dante berbentuk kebalikan dari piramida.
Kisah Inferno, bagian pertama dari tiga bagian mahakarya Dante Alighieri La Divina Comedia, ditulis Dante pada tahun 1308. Si penyair Italia itu terilhami perjalanan di neraka. Suatu imajinasi yang mengerikan sekaligus mengasyikkan dan telah memukau, baik dunia rupa, teater, maupun film dan literasi. Bahkan hingga kini dianggap tetap relevan.
Pada kurun waktu yang hampir bersamaan, di Jawa, di belahan dunia dan benua yang jauh terpisah, Kakawin Kunjarakarna ternyata juga terinspirasi mengisahkan perjalanan manusia di akhirat (neraka). ”Dia seorang penyair yang tidak terkenal waktu itu,” kata Eddy Susanto yang secara kebetulan ketemu naskah itu.
Bagaimanapun, baru seorang Eddy Susanto (1975), seniman yang maha pembaca, pengamat kejadian dan peradaban dunia raya, dan pemikir, dapat mengorelasikan satu dengan hal lain pada era yang hampir sama. Seraya menemukan visualisasi cerita Kunjarakarna pada relief-relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Relief-relief kuno itu ternyata ”berbicara” mengenai hal yang sama.
Maka, lahirlah karya-karya Eddy Susanto tentang neraka bersemangat Jawa dan Italia. Menyatukan spirit Kakawin Kunjarakarna dari abad ke-14 dengan pengertian syair Inferno karya terkenal La Divina Comedia karya penyair termasyhur Dante Alighieri pada sekitar abad yang sama.
Sejak zaman yang tak terbayangkan, surga, neraka, dan tempat di antara menjadi titik pencarian dunia, dan pertanyaan mengenai bagaimana gerangan kehidupan di alam baka. Bagaimana kiranya kehidupan manusia setelah wafat; akankah ada kehidupan di alam baka, yang namanya surga, neraka, ataupun purgatory?
Tentu, setiap daerah atau budaya atau peradaban memiliki cerita dan penjelasan tersendiri. Namun, La Divina Comedia oleh penyair Italia Dante Alighieri yang menjadi fantasi seluruh dunia. Sedemikian termasyhurnya sehingga syair Dante Alighieri itu seakan menjadi satu-satunya yang patut dikenal. Termasuk di Indonesia.
Maka, karya The Allegory: Java of Dante menjadi penting untuk dicermati. Bagaimana Eddy menyatukan kesamaan tersebut dengan cara yang sangat khas dan membangun sensasi tersendiri.
Pada karya-karya engraving Gustave Dore dan Giuseppe Bossi yang mewakili Dante Alighieri, Eddy membentuk image-image-nya dengan menuliskan dengan pena tipis beraksara Jawa kuno cerita Karmawibhangga yang menggambarkan sebab-akibat dari perbuatan baik dan buruk.
Sedangkan karya-karya berupa relief Candi Borobudur dibentuk dengan cerita Dante bertulisan aksara Latin. Menarik bahwa Borobudur berbentuk piramida. Sementara karya-karya neraka Dante merepresentasi piramida yang terbalik.
Sejak lama karya-karya Eddy menandaskan Jawa merupakan pusat dunia. Lulusan ISI Jogja itu yakin seyakin-yakinnya bahwa apa pun yang terjadi di dunia raya, hal yang sama juga sudah atau sedang terjadi di Jawa. Eddy sering menunjuk ke Babad Jawa, cerita mitologi ataupun teks yang membuktikannya.
Kali pertama Eddy muncul di permukaan dengan cerita persamaan kejadian di Barat dan Pulau Jawa ketika memenangkan penghargaan pada Bandung Contemporary Art Award. Ketika itu Eddy bertutur bahwa ketika renaisans muncul di negara Barat, semangat serupa masuk ke Jawa pada waktu yang sama.
Eddy Susanto lalu mengapriori lukisan The Men’s Bath oleh pelukis renaisans Marcel Duchamp. Mengapriori image-image-nya yang dibentuk dengan tulisan aksara Jawa kuno yang bertutur mengenai semangat yang serupa dengan renaisans yang tertulis di Babad Jawa. Karya-karya Eddy telah mengikuti berbagai pameran di berbagai negara. Namun, Java of Dante merupakan pameran tunggal pertama di Italia. (*)
—
CARLA BIANPOEN, Jurnalis, penulis seni rupa kontemporer, kurator