Puisi di Pusaran Estetika Tarling

Oleh MUHAMMAD ALI FAKIH*
6 November 2022, 09:36:27 WIB

Bagaimanakah kiranya bila estetika tarling bertemu dalam satu konsep yang padu dengan estetika puisi? Buku antologi terbaru karya Kedung Darma Romansha ini mengantisipasi pertanyaan semacam itu.

IRAMA gitar dan suling mengalun lirih mengiringi peristiwa drama di atas panggung, sebuah drama –yang dipandu oleh dalang– penuh humor, seringnya seksis, namun nestapa. Pernak-pernik kehidupan wong cilik yang ironis diketengahkan dalam cerita duka lara kepada penonton.

Di sela-selanya, sang aktor menumpahkan isi hatinya yang teriris sembilu dalam syair-syair lagu dangdut –yang anehnya– koplo pantura. Sungguh inkompatibel yang tak tertahankan, namun memikat, dan justru inilah salah satu dari spektrum estetika tarling.

Dramaturgi pun berlangsung. Penonton naik panggung, bergoyang liar bersama sang aktor sembari menyawer. Mereka tak jarang request lagu-lagu hit, dan sang aktor memenuhinya karena request lagu, apalagi dari tuan rumah, berbanding lurus dengan kebaknya duit sawer. Begitu satu-dua lagu kelar, drama kembali berlangsung, kemudian nyanyi lagi –begitu seterusnya hingga plot drama berakhir.

Demikian gambaran sederhana tarling, seni pertunjukan drama musikal yang, konon, tumbuh di wilayah kultur pinggiran (periferal) Cirebon-Indramayu sejak dekade 1950-an. Tarling masih bertahan hingga sekarang karena konsepnya tidak memiliki pakem yang ketat dan rumit sebagaimana model-model kesenian yang lahir dari istana, tari topeng, misalnya.

Bahkan, ia sejatinya merupakan bentuk perlawanan semiotik terhadap kesenian model istana. Ia memberikan pemaknaan lain di mana drama musikal tidak harus ”dikurung” dalam bingkai normatif dan moralitas, melainkan disesuaikan dengan kepentingan konsumtif publik luas.

Eksperimentalitas tarling sejak semula ditujukan sebagai ruang katarsis bagi kehidupan masyarakat petani dan nelayan dalam mengekspresikan kepedihan sekaligus kegembiraan. Budaya pop, yang umumnya menjadi pemicu utama timbulnya daya konsumtif masyarakat terhadap kesenian, karena itu, boleh ”keluar masuk” dalam tarling.

Lantas, bagaimanakah kiranya bila estetika tarling bertemu dalam satu konsep yang padu dengan estetika puisi? Buku antologi terbaru Kedung Darma Romansha, Tarling Dangdut Diva Pantura, mengantisipasi pertanyaan semacam itu.

Juga, pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya tentu saja. Seperti mungkinkah seni sastra bertemu dengan seni pertunjukan dalam suatu landasan yang, untuk satu dan lain hal, berbeda dari apa yang di Barat disebut sebagai performance poetry?

Performance poetry adalah puisi yang sengaja dibuat untuk atau selama pertunjukan di depan penonton. Menurut keyakinan saya, sebagai pembaca, antologi puisi ini tidak dimaksudkan oleh sang penulis sebagai naskah pertunjukan tarling, melainkan sebagai sebenar-benarnya buku puisi, layaknya buku-buku puisi lain pada umumnya.

Buku puisi Kedung ini, dari sajak pertama yang tanpa judul (masuk dalam bagian ”Cipari”), kedua, ketiga, hingga terakhir, ”Rasmini”, dalam satu tarikan napas, tampak sebagai puisi naratif yang menceritakan sebuah cerita utuh –karena adanya jalinan narator dan karakter dari satu ke lain sajak– namun senyatanya fragmentatif.

Saya mencatat, setidaknya ada 16 karakter, yaitu Rasmini, Wasta, Wasti (Nok Iti), Warjem, Untung, Nurlaila, Kaji Warsam, Kaji Dunya, Kiai Sadali, Mang Govar, Mak Ewok, Dulatip, Kaji Daspan, Mang Narka, Bobad, dan Sari, yang di antara mereka menjadi narator –tentu saja, selain penulis sebagai ”dalang”. Hanya, dari jalinan semua karakter dan narator itu, terasa sulit bagi saya untuk menyusunnya menjadi satu kesatuan narasi yang utuh.

Setiap kali mencoba untuk mendudukkisahkan, misalnya, Nok Iti, yang merupakan ”aktor utama” (diva pantura) dalam buku ini (?), selalu saya gagal. Selalu ada imajinasi yang patah. Tampaknya, Kedung memang sengaja memasang benang merah pada satu-dua sajak, lantas memutusnya di satu-dua sajak yang lain, dengan maksud –setidaknya bagi saya– memberikan ruang kebebasan yang luas kepada para pembaca untuk bermain tafsir.

Saya punya keyakinan, dan ini perlu diberikan titik tekan, bahwa tiap-tiap sajak Kedung dalam buku ini berdiri sendiri-sendiri. Secara sintaksis, setiap sajak tidak punya ikatan dengan sajak lainnya.

Namun, secara semantik, sekali lagi, tidak bisa dikatakan tidak punya ikatan makna antara satu sajak dan sajak yang lain karena Kedung menciptakan relasi karakter-narator dalam tiap-tiap sajak. Di luar semua itu, Kedung terbilang piawai memasukkan unsur estetika tarling ke dalam estetika puisi –atau sebaliknya. Sajak-sajaknya, yang bisa disebut sebagai puisi naratif sekaligus bukan itu, memberikan sentuhan yang kuat terhadap inkompatibilitas.

Kita ambil sebuah sajak, misalnya, ”Lagu Pembuka”, di mana sang dalang beruntai: ”yang digoyang digoyang serrr/ yuk, nyawer untuk malam yang sudah teler./ masa bodo kampanye janji manis/ kalau Nok Iti terus-terusan dibikin nangis.” (halaman 10).

Ekstase yang ”tidak serius” diinkompatibilitaskan dengan kritik politik yang ”serius”. Atau, sajak ”Mang Narka”, di mana Mang Narka bermunajat: ”Tuhan, ijinkan aku memasang nomor cantik// agar datang nasib baik/ piutang pulang balik// bisa nyawer Nok Iti bila undangan hajatan mengetuk pintu// tambahan duit bila tiba paceklik”. (halaman 71).

Religiusitas (berdoa) diinkompatibilitaskan dengan kemungkaran (judi, nyawer). Inkompatibilitas dikukuhkan oleh Kedung dalam hampir setiap sajaknya. Hal ini barangkali sebagai penegas bahwa estetika sajak-sajaknya ditimba secara tidak langsung dari estetika tarling.

Kedung, di dalam akun Instagram pribadinya, menyatakan bahwa buku puisi ini (Tarling Dangdut Diva Pantura) dimaksudkan sebagai pelengkap buku-buku dia sebelumnya dengan tema yang hampir serupa: novel (Kelir Slindet [Gramedia Pustaka Utama, 2014; Buku Mojok, 2020] dan Telembuk, Dangdut, dan Kisah Cinta yang Keparat [Indie Book Corner, 2017; Buku Mojok, 2020]) dan kumcer (Rab(b)i [Buku Mojok, 2020]).

Belum ada dalam sejarah kesusastraan kita seorang penulis yang menjadikan dangdut sebagai spirit utama dalam berkarya, apalagi menuliskannya dalam tiga genre sekaligus, kecuali pendiri komunitas Jamaah Telembukiyah, Kedung Darma Romansha. (*)

  • Judul buku: Tarling Dangdut Diva Pantura
  • Penulis: Kedung Darma Romansha
  • Penerbit: Jualan Buku Sastra, Jogjakarta
  • Tebal: vi + 78 halaman
  • Cetakan: I, Juli 2022

 

*) MUHAMMAD ALI FAKIH, Editor lepas tinggal di Jogjakarta. Buku puisi tunggalnya Di Laut Musik dan Ceracau Si Gila.

 

Editor : Ilham Safutra

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads