JawaPos.com – Penangkapan terduga teroris di Surabaya Minggu lalu (20/5) kembali menyedot perhatian. Pemerintah Kota Surabaya langsung bertindak dengan melakukan sosialisasi aplikasi sistem informasi pantauan kependudukan (Sipandu).
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, Sipandu tersebut atas inisiasinya. Dia menggagas aplikasi tersebut dua hari setelah aksi bom gereja dan Mapolrestabes Surabaya seminggu lalu.
“Aplikasi ini untuk kita dapat melirik bersama dan mendeteksi dini jika ada warga yang mencurigakan. Misalnya (penangkapan terduga teroris) yang di Kedungturi kemarin lusa,” kata Risma di gedung Sawunggaling balai kota Surabaya, Selasa (22/5).
Risma menjelaskan, setiap ketua RW dan RT wajib mengunduh aplikasi tersebut pada ponsel android. Aplikasinya dapat diunduh gratis di Google Play Store.
Jika ada ketua RT atau RW yang tidak memiliki ponsel android dapat meminta bantuan pemilik M-Kios terdekat. Ketua RW dan RT dapat mengakses lalu mencatat segala aktivitas dan lalu lintas warganya.
Sipandu terintegrasi atau terkoneksi langsung ke pihak pemerintah kota Surabaya. Risma mengatakan, dirinya juga dapat memantau langsung hasil catatan ketua RW atau RT pada aplikasi tersebut.
“Nanti saya perintahkan staf saya untuk turun langsung ke semua kelurahan. Supaya dapat langsung memandu langsung cara penggunaannya,” kata Risma.
Tak hanya melalui aplikasi. Risma juga menghimbau kepada seluruh ketua RT dan RW jika ada warga pendatang. Upaya tersebut juga berfungsi untuk mendeteksi adanya potensi kejahatan lain selain terorisme.
Misalnya, adanya potensi warga yang sedang menyembunyikan tenaga kerja asing ilegal atau bandar narkoba. Hanya, dia mengingatkan ketua RW dan RT harus menggunakan pendekatan yang halus.
Supaya, upaya deteksi dini tidak justru menimbulkan konflik antar warga. “Bukan bermaksud mencurigai. Tapi kita harus kontrol. Amati, catat, dan laporkan. Biar polisi atau tentara yang turun tangan,” tegasnya.
Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Rudi Setiawan memaparkan beberapa tips singkat cara deteksi dini secara manual. Pertama, warga harus paham aktivitas keseharian tetangganya dengan benar. Harus detail kepada perorangan atau tiap kepala keluarga.
Rudi mengatakan, orang yang sudah terpapar paham radikal, biasanya tertutup atau bergaul dalam ruang lingkup pribadi. “Kalah pun bersosialisasi, itu hanya kedok saja. Padahal orang itu sudah di bai’at,” jelas Rudi.
Lalu, Rudi menyarankan warga agar mewaspadai jika ada warga yang melakukan tata cara ibadah pada umumnya. Menurutnya, orang yang sudah terpapar paham radikalisme akan beribadah dengan cara yang berbeda.
“Saya bukan ahli agama. Tapi dari hasil pemeriksaan saksi, mereka (keluarga teroris Dita Oepriarto) cara ibadahnya beda. Mereka selalu salat di musala belakangan,” jelasnya.
Kemudian, warga juga dapat berinteraksi dengan warga yang dicurigai berpaham radikal. Rudi menyarankan agar warga melakukan dialog tentang arti jihad dan mati sahid.
Menurutnya, jika jihad dan mati sahid dipandang sebagai aksi bom bunuh diri, berarti warga itu patut dicurigai. Tak hanya soal ideologi. Rudi juga menghimbau warga agar waspada terhadap busana keagamaan yang kerap dipakai.
“Kita perlu pencerahan. Sebenarnya, kalau pakaian (celana) cingkrang atau pakai cadar itu bagaimana aturannya. Karena beberapa hari ini, kami cukup direpotkan dengan hal-hal (busana) seperti itu,” katanya.
Begitu pula dengan pemahaman bernegara. Rudi menilai, seseorang yang sudah terpapar radikalisme biasanya menolak menyanyikan lagu kebangsaan.
“Apalagi ikut upacara bendera. Karena memang niatnya untuk mendirikan negara selain negara kesatuan republik Indonesia (NKRI),” tegasnya.