JawaPos.com – Erna Rahayu meneteskan air mata saat Ketua Majelis Hakim I Wayan Sosiawan memvonisnya dua tahun penjara. Dia bersama suami, Andreas Jappy Hartanto, dinyatakan terbukti bersalah menerbitkan faktur pajak fiktif sehingga merugikan negara sampai Rp 1,9 miliar.
Keduanya dinyatakan melanggar pasal 39 ayat 1 jo pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Perpajakan. Sementara itu, Andreas dihukum 2,5 tahun penjara. Vonis Andreas lebih tinggi karena dia berperan menerbitkan faktur pajak fiktif tersebut, sedangkan Erna menandatanganinya.
Hakim juga mengharuskan keduanya membayar denda Rp 3,8 miliar. Namun, sebelumnya mereka membayar Rp 2,9 miliar. Karena itulah, keduanya diharuskan melunasi sisanya Rp 970 juta. Bila tidak sanggup membayarnya, mereka diharuskan menjalani pidana dua bulan penjara.
”Karena berdua satu perusahaan, jadi dendanya dibagi dua,” ujar Wayan dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya Kamis (2/5).
Menanggapi vonis tersebut, jaksa Jolfis Sambow menyatakan pikir-pikir. Sementara itu, kedua terdakwa mengajukan banding. Pengacara keduanya, Aji Fadillah, menegaskan, vonis itu lebih berat daripada tuntutan jaksa.
”Kami banding karena hakim berbeda pendapat dengan kami. Terdakwa shock tadi sehingga banding. Kami akan koordinasi dulu,” kata Aji.
Andreas dan Erna sehari-hari mengelola toko kelontong, laundry, dan jasa travel di rumah kontrakan di Jalan Ketintang Baru II, Gayungan. Keduanya mendirikan CV Jaya Mulia pada 2010 untuk menjalankan bisnis itu. Erna menjabat direktur dan Andreas sebagai wakil direkturnya. Namun, tanpa disangka, perusahaan itu setahun berikutnya dianggap merugikan negara sampai Rp 1,9 miliar.
Rupanya, selain mengelola tiga bisnis kecil-kecilan tersebut, mereka mendirikan CV untuk jual beli faktur pajak fiktif. Modusnya, mereka menerima pesanan faktur pajak dari perusahaan-perusahaan besar. Sejak pendirian CV itu, mereka ditetapkan KPP Surabaya Wonocolo sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Dengan CV itu, mereka kerap menerbitkan faktur tanpa transaksi jual beli. Tempat bisnis tersebut tidak sesuai dengan yang dilaporkan ke kantor pajak. Saat dilaporkan, CV itu bergerak di bidang penjualan mesin, kabel, elektronik, sanitary, dan segala kebutuhan kontraktor. Kantor di Jalan Ketintang itu juga dilaporkan memiliki gudang, tapi ternyata hanya toko kelontong.
Faktur pajak fiktif yang diterbitkan CV Jaya Mulia tersebut lalu dijual ke perusahaan lain dengan harga 2 persen dari dasar pengenaan pajak (DPP) kepada perusahaan pengguna. Dalam penerbitan faktur pajak keluaran tanpa transaksi jual beli, Andreas memesan faktur fiktif dari penawaran orang yang bernama Harja Tjahyana Limantara.