Pulang dari Jogja kali pertama setelah diterima kuliah di Gama, kira-kira 22 tahun lalu, saya dibuat repot oleh pertanyaan para tetangga tentang dua orang: 1) Apa kabar Amien Rais; 2) Apakah saya kenal Duta Sheila On 7.
KEDUA nama itu dan saya memang sealmamater. Tapi, sepertinya orang-orang membayangkan salah satu kampus tertua di Indonesia itu cuma seukuran sekolah SMP saya: hanya terdiri atas tiga ruangan dan berisi 50-an murid. Mereka pikir, barangkali saya ketemu orang-orang itu setiap pagi di kantin atau setidaknya seminggu sekali saat upacara bendera. Tentu saja saya hanya mendengar –dan sedikit membaca– tentang keduanya, sebagaimana mereka yang bertanya.
Karena nama pertama akan lebih cocok dibahas di kolom lain yang ditulis orang lain, izinkan saya di sini bicara tentang nama kedua: Duta –dan band-nya, Sheila On 7.
Seandainya saya penggemar yang sedikit berdedikasi, saya pikir saya bisa saja menemuinya, menyapa, dan bilang saya menyukai musiknya. Bagaimanapun kami seuniversitas, dan ia hanya satu angkatan lebih tua dari saya. Kampus kami (Duta di teknologi pertanian, saya di sastra) tak bertetangga, namun tiap hari saya setidaknya melewati kampusnya dua kali, saat pulang-pergi kuliah. Dan kalau boleh sedikit ngecap, kami sepertinya sekali–dua kali pernah berpapasan, meski konon ia tak begitu rajin kuliah.
Barangkali saya terlalu angkuh untuk menunjukkan ketakjuban dan pemujaan yang langsung dan terang-terangan. Apalagi kita bicara tentang anak band yang seumuran, satu kampus pula. (Gengsilah!) Yang tak mungkin dan tak pernah saya bantah, saya memang menyukai band-nya. Saya jelas tak memenuhi syarat untuk menyebut diri Sheila Gank –lagi pula saya merasa sebutan itu terdengar menggelikan dan kekanakan. Tapi, semua orang yang kenal baik dengan saya tahu saya penggemar mereka; saya pemuja mereka yang terang-terangan.
***
Lebih spesifik lagi, saya selalu tertarik dengan lirik-lirik lagu mereka. Sebagai lirikus, Eross Candra dengan mudah saya tempatkan di atas nama-nama yang punya pengaruh besar terhadapnya, seperti Ahmad Dhani, Bimbim, atau Katon Bagaskara. Dan saya bisa semalaman menjelaskannya.
Ketika ”Dan” membanjiri radio-radio, saya yang mahasiswa baru sastra segera terusik dengan cara Sheila menempatkan kata sambung di depan kalimat –meskipun Awab Purnama jauh lebih duluan dengan kata ”sedang” untuk membuka lagu ”Duka dalam Cinta”. Namun, ”Perhatikan Rani”, lagu lain di album pertama, membuat saya tak pernah bisa lagi berpaling dari lirik-lirik mereka.
Kesan pertama adalah lucu. Rasanya baru kali itu di musik Indonesia ada adik (laki-laki) yang berpesan kepada kakak perempuannya. Yang biasa kita simak adalah pesan ayah kepada anak (misal ”Nak”, Iwan Fals) atau suami kepada istri (”Jandaku”, Imam S. Arifin) atau, paling pasaran, pesan seseorang kepada kekasih. Namun, ledakan terbesar lagu itu ada pada larik ”tinggalkan Jakarta demi masa depan cipta”. Dalam khazanah pop Indonesia yang sangat sentralistik, kita sulit menemukan semangat desentralisasi yang lebih tegas dari itu.
Sikap ”anti-Jakarta” ini diperkuat di lagu ”Tunggu Aku di Jakarta” pada album kedua. Sekilas terdengar afirmatif ketika Duta teriak ”Tunggulah aku di Jakartamu, tempat labuhan semua mimpiku”. Namun, coba bandingkan dengan kebanyakan lagu Indonesia tentang cinta jarak jauh, kita akan temukan betapa langkanya perspektif yang dipakai di lagu ini. Kebanyakan pria di lagu-lagu pop kita bicara atau berjanji dari Jakarta kepada kekasihnya yang ada di daerah, entah sebagai lelaki perantau atau pria ibu kota. ”Surat untuk Kekasih”-nya Tommy J. Pisa, misalnya. ”Sapu Tangan Merah” dari Yus Yunus sebenarnya bicara senada, tentang pria luar Jakarta yang mencintai gadis ibu kota. Tapi, kita segera mengenali betapa sentralnya Jakarta dari susah payahnya Yus Yunus berusaha memperkenalkan dirinya, bahasanya, hingga adat istiadat dan objek wisata daerahnya (Madura). Pada ”Tunggu Aku di Jakarta”, tak ada Jakarta sebagai pusat (hanya ada kekasih ”tempat labuhan semua mimpi”), sementara kota asal si aku lirik (baca: Jogja) bukan lagi terdengar sebagai ”daerah”. Yang paling menarik adalah menyebut Jakarta dengan tempelan kata ganti milik ”-mu”.
Sayang, seluruh isi lagu itu dihancurkan sendiri oleh klip videonya, yang dibuat dengan mata dan selera Jakarta.
Bagaimanapun, album kedua sepenuhnya milik ”Sephia”, salah satu karakter paling dikenal, paling dibicarakan, sekaligus paling enigmatik dalam khazanah musik pop Indonesia dalam 25 tahun terakhir, yang kemasyhuran dan signifikansi kulturalnya tampaknya sebanding dengan Diana-nya Koes Plus, Ani-nya Rhoma, Camelia-nya Ebiet, atau Bento-nya Swami. Meski demikian, yang paling mengesankan dari ”Sephia” adalah semangat dekonstruksinya.
Barangkali itu istilah yang terlalu mewah untuk lirik lagu pop. Tapi, menurut Anda, apa istilah yang tepat bagi sebuah lagu yang membalik sepenuhnya persepsi kita (mungkin untuk seterusnya) tentang ”kekasih gelap” menjadi sekadar cinta platonik yang lain? Cermati tema perselingkuhan di lagu-lagu pop Indonesia yang bermunculan setelahnya, juga pemakaian kata itu dalam obrolan sehari-hari, Anda akan tahu pengaruh Sephia jauh lebih besar dari yang selama ini dikira.
Untuk saya, album ketiga, 07 Des, dalam paket lengkapnya, tapi terutama di departemen lirik, adalah puncak pencapaian Sheila. Di sini, pada lagu-lagu seperti ”Seberapa Pantas”, ”Bapak-Bapak”, dan ”Pria Kesepian”, Sheila menegaskan semangat pembalikannya. Larik seperti ”Apakah diriku terlalu wibawa dan tampan untuk kau miliki?” adalah puncak kesongongan mereka, sekaligus memantati para pencinta cengeng yang mengiba-menghamba dalam tradisi lagu-lagu pop kita.
Tapi bukan hanya itu. Meski kebanyakan hit album ini didominasi lagu-lagu rancak-ceria, bahkan receh, 07 Des punya sisi dalam dan berat yang tak sekadar lumayan. Ia jadi transisi nyata dari remaja akhir belasan dengan cinta monyetnya di album pertama dan kedua ke pria awal 20-an yang bersemangat dengan cita-cita dan cintanya, tapi sekaligus sangat menggelisahkannya. Lagu-lagu seperti ”Hingga Ujung Waktu”, ”Seandainya”, ”Tentang Hidup”, ”Waktu yang Tepat Tuk Berpisah”, dan terutama ”Tak Kan Pernah Menyesal” tak sekadar bicara tentang cinta, tapi juga tentang hidup –seperti salah satu judul lagu mereka.
Di luar kualitas-kualitas di atas, album ini istimewa untuk saya karena alasan-alasan personal. Ketika 07 Des rilis, saya bukan hanya seusia anak-anak band itu, tapi juga kurang lebih mengalami kompleksitas yang saya bayangkan ada di lagu-lagu di album ini. Saya ada di tahun-tahun terakhir kuliah, mulai lelah dengan skripsi dan sekolah, namun masih begitu mencintai kehidupan kampus. Sebagai jurnalis kampus sekaligus penulis pemula, gambaran tentang masa depan jadi lebih terang, namun pada saat yang sama juga sangat mengkhawatirkan hal-hal gelapnya. Boleh jadi juga saat itu saya sedang jatuh cinta.
***
Tapi, lagu-lagu Sheila jauh dari sekadar tentang saya. Ia juga tentang kami: saya dan beberapa teman dekat sebaya yang kurang lebih memiliki kompleksitas yang sama. Saya ingat, di antara obrolan tentang Durkheim, Bourdieu, Mubyarto, atau Kuntowijoyo, atau hal-hal yang terdengar berat, kami mendiskusikan lirik-lirik lagu Sheila tak kalah dakiknya.
Sebagai mahasiswa (di) Jogja, kami merasa terwakili oleh sentimen ”anti-Jakarta” mereka. Kami sangat menyukai (dan dengan mudah mengidentifikasikan diri dengan) karakter Pecundang Angkuh pada banyak lagu Sheila. Kami menyisir diksi-diksi mereka yang tak lazim, dari yang kolokial (”bapak-bapak”, ”istri”, ”tubuh terasa linu”, ”teh hangat”, dst) hingga yang sangat KBBI (”berai”, ”menafikan”, ”ejawantah”, dst), dan itu tak membuat lagu mereka kehilangan kepuitisannya. Dalam banyak lagu, mereka menyarikan pengalaman dan kegelisahan yang biasa, sehari-hari, dan dekat. Berkat lagu seperti ”Ketidakwarasan Padaku”, misalnya, kami mudah mengenali kondisi mental dan riwayat percintaan seorang teman.
Pengalaman kami dengan lagu-lagu Sheila saya kira bukan hal unik, lebih-lebih untuk generasi kami. Pasti ada kami-kami lain di luar sana. (Itu kenapa konser tunggal Sheila di Jakarta beberapa pekan lalu begitu dirayakan.) Dan dalam beberapa hal, saya yakin, ini memang tentang kita, yang pada 2004 disebut Sheila sebagai ”Generasi Patah Hati”: generasi yang ”belajar tersenyum sebelum membunuh rasa takut”-nya; yang lahir dan tumbuh dengan trauma atas kekuasaan yang secara sempurna mengombinasikan senyuman, rasa takut, dan pembunuhan. (*)
---
MAHFUD IKHWAN, Penulis asal Lamongan