Karya sastra adalah medium yang mengena dalam mengungkapkan keresahan masyarakat yang tengah mengalami gejolak sosial dan politik. Tidak sedikit karya sastra yang mewakili kecemasan publik, khususnya soal kekerasan dan represi terhadap kebebasan masyarakat.
---
SEBUT saja karya monumental The Trial (1925) oleh sastrawan asal Ceko bernama Franz Kafka. Novel itu mengungkapkan absurditas birokrasi, terlebih lagi kesewenangan kekuasaan negara. Para pembacanya diberi gambaran keburukan dan kekejian yang terjadi dalam sistem kepemerintahan yang lalim. Selain itu, karya sastra seperti Nineteen Eighty-Four (1949) oleh George Orwell dan Fahrenheit 451 (1953) oleh Ray Bradbury juga bercerita tentang kelamnya kekuasaan yang mengawasi dan mengatur masyarakat hingga sisi terdalam kesadaran orang-orang.
Selain karya-karya yang telah saya sebutkan, salah satu buku terbaru yang amat mencengkeram pikiran pembacanya adalah The Memory Police karya penulis asal Jepang Yoko Ogawa. Novel ini berkisah tentang kehidupan orang-orang di suatu pulau yang mengalami penghilangan ingatan. Berbagai hal melintasi pikiran saya saat membaca dan mencerna cerita ini, khususnya tentang apa yang terjadi dalam kenyataan di sekitar kita belakangan ini. Polisi ingatan di dalam cerita ini mengendalikan masyarakat dengan mengatur hal-hal yang disimpan di dalam kenangan orang-orang. Novel ini menceritakan teror para polisi yang bekerja secara sistematis mengontrol penduduk. Mereka menangkap orang-orang secara sewenang-wenang, terutama mereka yang memiliki kemampuan untuk mengingat.
Melalui deskripsi yang dilakukan oleh pengarang, para pembaca dituntun mengikuti alur pemikiran dan emosi para karakter di dalam cerita, perasaan mereka menghadapi ketakutan, keterasingan, hingga kehilangan diri. Polisi ingatan dituliskan sebagai pasukan yang tidak mengenal empati. Mereka lambat laun semakin brutal memperlakukan warganya, menangkapi orang-orang tanpa penyelidikan ataupun menghiraukan hak-hak orang-orang itu. Menggunakan tongkat di tangan, mereka kemudian mengumpulkan dan menyeret warga ke dalam truk. Nasib orang-orang yang tertangkap lenyap begitu saja, tanpa jejak.
Salah satu bagian yang membekas dan membuat saya termenung adalah ketika para polisi ingatan mengawasi proses pembakaran buku-buku. Buku-buku itu berisi buah pikiran, cerita, pengetahuan tentang manusia, tentang dunia yang dihidupi, sehingga membakar buku berarti menghilangkan sejarah juga harapan bagi orang-orang itu. Seorang perempuan yang berusaha menghentikan kejadian itu berdiri di atas bangku dan berteriak histeris. Namun, tidak ada satu pun yang membantunya memadamkan api. Perempuan itu ditangkap oleh polisi ingatan sebab ia adalah salah satu orang yang tidak dapat melupakan cerita-cerita yang tertulis di dalam buku-buku itu. Dengan kepedihan melihat buku-buku yang menggunung itu dibakar, perempuan itu menyampaikan, ”Tidak ada satu pun yang dapat menghapus cerita-cerita ini!”
Protagonis di dalam novel ini mengutip perkataan seorang tokoh, yang tidak lagi ia ingat siapa, ”Orang yang mulanya membakar buku-buku akan berujung dengan membakar orang-orang lainnya.” Ingatan adalah bagian terpenting dalam kemanusiaan kita. Memori itu menandakan kognisi individual manusia, tetapi pada saat yang bersamaan ingatan tentang sesuatu itu bersinggungan dengan realitas yang melibatkan orang lain dalam ruang hidup ini. Jika saya kaitkan dengan kenyataan memori kolektif masyarakat kita, terdapat patahan-patahan yang tidak lengkap tertulis maupun tertuang secara jernih dan terang benderang. Berbagai sejarah kekerasan masa lalu tertimbun dalam kesenyapan. Kekerasan yang terjadi pada tahun 1965–1966, kerusuhan dan pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998, penculikan orang-orang, lalu pembunuhan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi I dan II pada tahun 1998–1999 dan kasus-kasus lainnya.
Pengakuan negara terhadap kejadian-kejadian ini tentu teramat penting, tetapi rekognisi itu akan menjadi ucapan belaka tanpa kehendak politik untuk mengusut kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia ini sampai tuntas secara terbuka. Mengangkat kasus-kasus ini secara hukum adalah kewajiban etis untuk memulihkan ingatan publik tentang para korban, juga para penyintas yang selama ini cerita-ceritanya telah dihapuskan. Mengutip pengantar Martin Aleida –seorang sastrawan– dalam buku yang berjudul Tuhan Menangis Terluka, kompendium kisah-kisah kejahatan terhadap kemanusiaan 1965–1966, ”Hukum telah sengaja dilupakan. Kebebalan hati telah membuat detak jam lupa mengingatkan. Kuasa sesekali mempermainkan antara kepekaan dan kepura-puraan dengan menawarkan penyelesaian nonyudisial.”
Buku kompendium itu berisi memori-memori rasa sakit yang perlu dibaca oleh publik. Dalam salah satu tulisan yang berjudul ”Ayah Sudah di Rumah”, Agung Alit mencurahkan kenangan tentang ayahnya seorang guru yang amat ia cintai, ”Genosida 1965 tiba di tanah Bali. Membawa malapetaka pada guru dan para pendukung Bung Karno lainnya. Banyak guru dibunuh, digebuk, dipecat, dipenjarakan tanpa proses peradilan. Termasuk ayah kami, guru pencerah anak-anak sekolah rakyat.”
Sebagai penutup, saat polisi ingatan menyingkirkan memori-memori masyarakat, mereka melakukannya demi menciutkan masyarakat itu, tetapi secara kejamnya mereka melakukan hal tersebut dengan cara menghilangkan suara dan kisah orang-orang yang begitu unik. Kisah-kisah yang menjadikan diri mereka manusia. (*)
SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia