”Bisakah kita menghindari kematian? Tidak. Itulah kenyataan hidup.”
(Monolog Pulang, N. Riantiarno, 2021)
SAYA mengenal Mas Nano (panggilan populer Riantiarno) dari dekat saat saya dilibatkan dalam program seri Metro TV dalam lakon Kabaret Show periode 2007–2008. Saat itu saya berperan sebagai tokoh Pitaruk, aliterasi dari sebutan tokoh Petruk.
Mas Nano adalah pekerja andal dalam gagasan dan waktu. Saya banyak belajar dari sikap mentalnya. Dalam soal disiplin, ia pernah bercerita bahwa ia bisa bangun jam berapa pun yang dia inginkan tanpa harus memakai alarm. Ia cukup menyepakati dengan dirinya sendiri dalam hati. Bahkan ia sering membuktikan dengan alarm, dan alarm itu kalah oleh disiplinnya. Di suatu cerita yang lain, suatu saat tanggal 6 April 2019, saya dan istri kangen kepada beliau. Lalu kami kontak telepon sepakat bertemu dengan Mas Nano dan Mbak Ratna di salah satu sudut Pondok Indah Mall. Saat itu Mas Nano bercerita bahwa ia sudah siapkan ribuan karya sampai nanti dia mati (sungguh itu beliau katakan). Gagasan yang ia katakan itu adalah memanggungkan kisah epos Mahabharata. Dan saat itu beliau memang sudah memulai dengan karya-karya yang berpijak pada cerita wayang. Saat itulah saya melamar kepada beliau untuk bisa memerankan tokoh favorit saya, yakni Dewabrata (Bhisma), jika suatu saat tokoh itu dimunculkan.
”Bener ya!” tandasnya waktu itu. Saya pun menyatakan siap terlepas nanti terjadi atau tidak.
Mendengar Mas Nano sakit, pada saat saya mendapatkan kesempatan syuting di Jakarta, sebelum tanggal 19 Desember 2022 saya sempatkan untuk menjenguk beliau. Saat itu saya mendapatkan hadiah buku setebal 538 halaman yang baru saja ia terbitkan. Judulnya Perang Jin, Senjakala Lembayung (Penerbit Buku Mojok, Februari 2022). Sebuah buku bagian dari enam novel yang direncanakannya. Saya sempatkan membaca meskipun belum sampai tamat karena mesti terjeda oleh pekerjaan.
Sejauh dari lembar-lembar yang saya baca –ah, baca cuma sepenggal sudah khotbah– Mas Nano bercerita tentang biografi dirinya (tak seluruhnya, tapi saya yakin sebagian benar). Karena cerita yang ada dalam buku itu sebagian pernah diceritakan kepada saya sebelumnya. Tentang keluarganya yang merupakan garis keturunan dari senapati Perang Diponegoro, Ali Basah Senthot Prawirodirjo, tentang ibunya yang bisa sambung komunikasi dengan jin yang ada di rumahnya, tentang nama N di depan nama Riantiarno yang ternyata inisial Nakula, tentang saudara kembarnya yang bernama Sadewa yang jauh waktu telah mendahuluinya, dll.
Saya agak kecewa membaca novel Mas Nano itu. Saya merasa pengarangnya menuliskannya dengan ”begitu saja”. Ploting, penceritaan, pengadeganan diceritakan berulang-ulang, tidak efektif sebagai ”tabungan surprised” di babak-babak berikutnya. Ah, kok saya bertindak sebagai kritikus ya. Memangnya saya siapa. Lalu saya mencoba berpikir yang lain; orang yang sudah makan asam garam pengetahuan teknik, konsep, dan gagasan mungkin juga sudah mengalami kejenuhan dengan segala macam teori.
Membaca novel Perang Jin, saya memahami keliaran Mas Nano. Ia membebaskan dirinya pada batasan-batasan kategorial sastra. Ia ingin membebaskan pengetahuan pengalaman dan fantasi yang ia miliki. Dan yang paling saya yakin, Mas Nano sudah tak punya kompleksitas eksistensial sebagai seorang sastrawan. Ia sudah ingin bersahaja. Ia ingin bercerita, maka ia menulis. Habis perkara!
Di tahun 2000-an awal saya, Butet Kartaredjasa, dan Mas Lephen Purwanto, dosen Teater ISI Jogjakarta, pernah bekerja sama dengan beliau dengan mengadakan lomba penulisan monolog nasional. Ratusan naskah terkumpul. Mas Nano bersama dua senior lainnya kami mohon untuk menjadi juri. Satu juri kemudian mundur karena alasan waktu, juri satunya lagi mundur karena mengaku sudah tak kuat membaca ratusan naskah dalam batasan waktu tertentu. Jadilah saya dan Mas Lephen jadi juri bayangan. Bagaimana dengan dedengkot Teater Koma ini? Ia melaporkan kepada kami hasil bacanya terperinci dengan tabel penilaian satu per satu. Satu per satu! Di situ saya menerima pelajaran soal serius, disiplin, dan tanggung jawab.
Kekuatan manusia dari mana datangnya? Tema itu pernah kami bicarakan saat saya bebas keluar masuk perpustakaan pribadinya. Pembicaraan bermula dari ribuan buku yang semua pernah ia baca itu. Kami memulainya dengan mempertanyakan bagaimana otak manusia bisa dijejali ribuan buku. Lalu Mas Nano mengatakan bahwa kekuatan manusia itu misterius. Bawah sadar manusia bisa menggeram untuk menemukan kanal bagi jiwanya yang menggelegak. Manusia jika mau berusaha bisa melampaui batasan yang dibuatnya sendiri, meski di hadapan kekuasaan yang lebih besar kita tak mampu melawan. Begitu beliau berkeyakinan. Mas Nano sudah membuktikan dua paradigma itu kini. Lengkap.
Dalam chat via WhatsApp antara Sari Majid (aktor Teater Koma, adik kandung Ratna Riantiarno) dengan Butet Kartaredjasa, yang kemudian oleh Butet di-forward kepada saya tertanggal 13 Januari 2023, Mas Nano konon menyatakan ingin pulang, padahal pengobatan di RS Dharmais masih terus berjalan.
Oh, betapa kata pulang ini membuat saya gemetar. Dan Mas Nano sudah menerima sinyal kepulangannya tersebut ketika ia menulis dan mementaskan naskah monolognya yang berjudul Pulang melalui kanal YouTube Teater Koma 6 Juni 2021, tepat saat beliau memasuki yuswa 72 tahun... ”Aku tak tahu ke mana harus pulang. Aku juga tak tahu ke bagian mana sudah pergi selama ini. Betapa panjang perjalanan yang sudah kulakukan, betapa jauh, sungguh tak terbayangkan. Dari mana aku datang, dari belahan bumi mana, atau malah aku tidak dari mana-mana. Perjalanan ini sangat menakjubkan...” Lalu melompat baris Mas Nano bertanya, ”Sesungguhnya, siapa aku? Ke mana aku pulang? Dan, bagaimana dengan waktu?”
Apakah yang Mas Nano lakukan bisa digolongkan sebagai sastra apokaliptik di mana penyair menujumkan hidupnya sendiri? Apakah yang bersangkutan tahu bahwa saatnya akan tiba? Saya tak bisa menjawab ya atau tidak, tapi intensitas tematik terdalam yang ada dalam diri penulisnya itulah yang menuntunnya. Nurani terdalam Mas Nano yang bisa merasa. Terlebih ketika seniman bekerja dengan jiwanya. Jiwa, Bro! Ya, ternyata kau memang rindu pulang ke rumah abadimu.
Kami bersedih karena kematian tubuhmu, kami bahagia karena kemuliaanmu pulang ke rumah Bapa-mu. Sudah sangat cukup jejakmu di tanah ini. Terima kasih. Beristirahatlah dalam damai. Amin. (*)
---
WHANI DARMAWAN, Aktor