Selasa, 6 Juni 2023

Mengarang Dunia

- Minggu, 24 Juli 2022 | 10:40 WIB
ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS
ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS

Pernah membaca pendapat bahwa senjata nuklir yang dimiliki oleh negara-negara besar justru tak akan dipakai dan malah akan menghindarkan kita dari perang besar di antara negara-negara itu.

---

DENGAN kata lain, mereka memakainya untuk saling mengancam dalam diam. Kalau kamu menyerang negaraku, aku bisa hancurkan kamu seketika dengan nuklir. Kita sama-sama akan hancur, apa untungnya untuk kita yang sama-sama memiliki senjata pemusnah massal?

Perang besar di antara negara pemilik senjata nuklir akhirnya berputar-putar sebagai simulasi perang. Semakin mereka menjadikannya simulasi, yang makin lama makin canggih, dan senjata-senjata terbaru terus diciptakan, dianggap semakin kecil kemungkinannya perang sungguhan akan terjadi.

Di satu sisi, jika memang kenyataannya seperti itu, membangun dunia di awang-awang tentu ada baiknya. Daripada perang betulan, lebih baik cuma persiapan tanpa akhir, bukan? Tapi, benarkah kenyataannya sesederhana itu?

Saya sering membayangkan bahwa angka-angka pertumbuhan (atau kebangkrutan) ekonomi negara, pada titik tertentu, juga hanyalah dunia simulasi. Berapa pendapatan per kapita orang Indonesia? Sekitar 62 juta rupiah per tahun. Kalau tahun depannya angka itu menjadi 72 juta rupiah, kita membangun dunia awang-awang seolah semakin makmur.

”Semakin makmur” merupakan dunia dalam rekaan. Kenyataannya bisa jauh dari itu. Segelintir orang bisa jadi memang semakin makmur berlipat-lipat, sementara sebagian besar semakin megap-megap dan menjerit dengan perut melilit.

Angka itu bisa mengaburkan, dan angka yang tumbuh itu bisa menipu, seolah semua tumbuh. Bisa membuat kita lupa bagaimana rasanya terperosok ke lumpur.

Hal yang sama terjadi pada orang yang kekayaannya tumbuh berlipat-lipat karena harga saham perusahaannya naik gila-gilaan (atau sebaliknya), tak selalu berhubungan dengan harga nyata perusahaannya jika dipreteli. Apalagi jika dihubungkan dengan kesejahteraan (atau kesengsaraan) buruh-buruhnya.

Sialnya, kita tak bisa menghindarkan diri dari kehidupan semacam itu, bahkan ke perkara sehari-hari. Kita mengirim anak ke sekolah, mengajari berbagai hal, dari pendidikan formal hingga les ini dan les itu, sebab kita melakukan simulasi hidup anak kita di masa depan.

Karena kita membayangkan ia akan bermain musik di panggung, atau sekadar main musik di depan teman-temannya kelak, kita mengirimnya les piano. Kita membayangkan ia menjadi warga global, kita mengusahakan ia fasih berbahasa asing.

Mengarang masa depan semacam itu memang bisa membantu kita membuat persiapan (seperti negara membeli senjata karena membayangkan perang). Tapi, bayangkan kita menciptakan hubungan antara benda dan maknanya dalam kepala kita bahwa para pengemis dan gembel di jalanan adalah, ”karena mereka tak sekolah, makanya kamu harus rajin biar enggak seperti mereka.”

Apakah sekolah, pendidikan secara umum, sekadar menghindarkan seseorang dari menjadi pengemis atau gembel? Apakah menjadi pengemis atau gembel benar-benar sebagai problem pendidikan?

Tulisan ”awas anjing galak” bisa dibaca sebagai ”jangan coba-coba maling, kecuali mau digigit anjing”. Sama persis seperti keberadaan tulisan ”tempat ini diawasi kamera CCTV” di gedung-gedung, seperti ancaman bahwa tindakan (jahat) Anda akan terekam.

Interpretasi itu bisa salah sasaran. Seolah kalau tak takut anjing, atau bisa melumpuhkan anjingnya, memberi undangan untuk mencuri. Atau mendorong orang yang jahat untuk awas terhadap kamera CCTV. Hubungan dunia karangan ini dengan realitas ternyata tak selalu seindah yang dibayangkan.

Demikianlah senjata nuklir dan senjata pemusnah massal milik negara-negara besar juga tak selalu menciptakan kedamaian. Yang ada, bukankah karena mengarang-ngarang perang besar yang ”mungkin” terjadi, mereka malah terus menciptakan senjata-senjata baru?

Lalu, senjata-senjata ini bukankah tetap harus dipakai? Selain agar tak berkarat dan kedaluwarsa, tentu saja biar mereka menciptakan senjata baru. Akhirnya mereka bisa menciptakan perang-perang di negara-negara yang lebih kecil, yang tak punya daya untuk memberi ancaman sekelas nuklir.

Tak hanya itu, yang terjadi sering kali mereka juga menciptakan simulasi jenis lain: perang antara negara superpower, tapi dibungkus seolah-olah perang dua negara kecil, atau sekadar pinjam tempat di satu negara lemah. Negara besar kirim senjata, negara kecil yang babak belur.

Negara juga bisa disebut dunia karangan. Di sebuah negara seperti Indonesia, demokrasi merupakan simulasi bagaimana rakyat, kita semua, ”memiliki” negara ini. Dengan cara apa? Dengan cara menggelar rapat besar yang disebut pemilu.

Negara merupakan gambaran nyata bagaimana dunia yang digambarkan dan kenyataan sering kali tak bersesuaian. Keputusan presiden, bapak-bapak anggota dewan, gubernur, bupati, secara hukum merupakan keputusan kita semua karena kita memilih mereka untuk membuat keputusan. Tak peduli kamu suka atau tidak.

Salah satu yang bisa kita lakukan adalah terus-menerus merobek-robek dunia yang diciptakan itu. Terus-menerus mengatakan lapar kalau memang lapar, meskipun angka-angka pertumbuhan ekonomi membubung naik cemerlang.

Kalau mau lebih kreatif: kita juga bisa membuat simulasi tandingan. Misalnya, dunia bisa damai tanpa nuklir. Atau, negara cuma milik segelintir orang, lho. (*)

---

EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016

Editor: Ilham Safutra

Tags

Terkini

Seribu Satu Malam di Bali

Minggu, 4 Juni 2023 | 08:35 WIB

Sehari-hari Merenung Melampaui Batas

Minggu, 28 Mei 2023 | 08:00 WIB

Kebangkitan

Minggu, 28 Mei 2023 | 07:00 WIB

Seni Pascareformasi

Minggu, 21 Mei 2023 | 11:31 WIB

Sua Kuasa Matra

Minggu, 14 Mei 2023 | 07:30 WIB

Kebudayaan ala Kotak Korek Api

Minggu, 14 Mei 2023 | 07:00 WIB

Kota via Teater, Teater via Kota

Minggu, 7 Mei 2023 | 08:38 WIB

Kepada Jakarta

Minggu, 7 Mei 2023 | 08:29 WIB

Peci: Tokoh dan Negara

Sabtu, 29 April 2023 | 17:00 WIB

Khotbah Idul Fitri Terakhir di Kota Revolusi

Sabtu, 29 April 2023 | 16:00 WIB

Yang Menyalakan Pelita untuk Kartini

Sabtu, 15 April 2023 | 18:00 WIB

Menyambut Koruptor

Sabtu, 15 April 2023 | 17:00 WIB

Citra Tafakur Agus TBR

Sabtu, 8 April 2023 | 18:00 WIB

Nada & Dakwah, setelah Tiga Dekade

Sabtu, 8 April 2023 | 17:00 WIB

Kochi Biennale dan Visi India Menuju Dunia

Minggu, 2 April 2023 | 10:03 WIB

Taman Kata-Kata Nadin Amizah

Sabtu, 1 April 2023 | 17:03 WIB

Ibadah di Alam yang Rebah

Minggu, 26 Maret 2023 | 04:00 WIB

Wajah Asia di Panggung Oscars

Minggu, 26 Maret 2023 | 03:00 WIB
X