Di malam sebelum dieksekusi, Pablo Ibbieta mengenang hidupnya. Ia mengingat rasa manzanilla, juga saat-saat berenang di musim panas di daerah Cadiz. Kemudian, sekonyong ia sadar, semua itu omong kosong belaka.
---
APA gunanya punya hubungan romantis, memiliki kekasih cantik dengan mata penuh cinta, jika akhirnya peluru akan menghentikan keberadaanmu? Apa gunanya memperjuangkan sebuah negeri jika pada akhirnya akan mati juga, ditembak maupun mati dengan cara lain?
Saya jadi ingat kakek saya. Bertahun-tahun lampau, setiap kali musim panen tiba dan ia memperoleh rezeki, ia membeli batu. Membeli dan menabung batu bata. Jika ada pohon kelapa sudah tua, ia tak menjual kayunya. Ia membenamkannya ke kolam.
Baru ketika sudah besar saya mengerti. Rupanya selama lebih dari sepuluh tahun, kakek mempersiapkan rumah idamannya. Menyicil bahan-bahannya dengan penuh kesabaran. Kenapa ia tak cukup puas dengan rumah panggung yang ada saja dan memakai uang hasil panen untuk, katakan, membeli sepeda motor?
Sebetulnya tak perlu juga melihat apa yang dilakukan orang lain. Kita semua melakukannya. Kita mengulur atau menunda kesenangan sesaat demi kebahagiaan yang lebih besar.
Meskipun harus jatuh bangun dan terluka, banyak di antara kita tetap belajar naik sepeda, misalnya. Meskipun setiap hari menempuh perjalanan melelahkan dan membosankan dari rumah ke kantor, kita tetap melakukannya, tahu di akhir bulan akan memperoleh gaji, demi senyum keluarga mengembang.
Dari sana, saya percaya, manusia memiliki semacam kualitas untuk menahan diri, untuk menunggu, demi sesuatu yang besar di kemudian hari. Yang membedakan orang per orang, tentu saja, tujuan yang ingin dicapai di masa depan.
Pablo Ibbieta memang hanya tokoh rekaan. Ia muncul di cerita pendek Jean-Paul Sartre, ”Dinding”. Mengambil latar perang saudara Spanyol, dengan tokoh seorang anarkis yang sedang menunggu regu tembak, Sartre memang mengajak kita berpikir mengenai eksistensi hidup manusia.
Saya tak hendak membicarakan filsafat eksistensialis ala Sartre ini. Bagi saya, pikiran-pikiran Pablo Ibbieta menarik perhatian justru dengan cara membaliknya. Bahwa kita, setidaknya saya, berpikir justru dengan cara berbeda dengannya.
Kenapa sebagian besar dari kita menganggap hidup penting? Kenapa kebanyakan dari kita menganggap semua ini layak dijalani? Bahwa lahir, sekolah, cari pekerjaan, berumah tangga, punya anak, punya cucu, lalu mati, bukanlah omong kosong?
Kalau dipikir-pikir, kita tak hanya menjalani hidup yang polanya relatif seragam semacam itu, tapi bahkan mau sikut-sikutan di setiap tahapnya. Belajar giat, atau menyontek, agar dapat nilai baik di sekolah. Mengejar karier yang bagus, atau korupsi, agar bisa hidup penuh kemewahan.
Padahal, seperti kata si anarkis itu, ujung-ujungnya kita menjadi tubuh pucat tanpa nyawa. Jadi gembel maupun jadi maharaja, akhirnya sama saja. Bukan hanya itu, bagi Pablo Ibbieta, mati sekarang atau berpuluh tahun kemudian juga tak ada bedanya.
Kenapa umat manusia tak berpikir untuk memusnahkan diri saja dan menyerahkan alam semesta kepada sapi-sapi, tikus-tikus, dan hewan-hewan lain serta tumbuhan? Kepada batu-batu, gunung-gunung, dan rumput yang bergoyang?
Dalam konteks hidup seperti ini, untuk orang-orang yang religius, ”kemudian hari” itu bisa berarti kehidupan setelah kematian. Menjalani hidup dengan baik dan saleh, mereka yakin akan memperoleh ganjarannya di akhirat kelak.
Bagaimana dengan orang-orang yang tak percaya kehidupan setelah kematian, bahkan tak percaya Tuhan? Bisa jadi mereka juga percaya, hidup yang baik dan gemilang akan berguna untuk umat manusia penerusnya. Mengirimkan wahana ke Mars atau bahkan ujung tata surya untuk kegemilangan manusia yang akan datang.
Religius atau tidak, bukankah kebanyakan dari kita beranak pinak? Bahkan meskipun tahu punya anak itu merepotkan dan bahkan membutuhkan biaya. Sudah pasti karena kita memikirkan masa depan, melampaui kematian, meskipun sekali lagi gambarannya bisa berbeda.
Dengan kata lain, hidup pada dasarnya seperti panggung menguji kemampuan manusia untuk menunda kesenangan, tanpa pandang kita kaum beragama atau tidak.
Sialnya, beberapa dari kita tak lagi memiliki kemampuan untuk menahan diri sepanjang itu. Dengan mudah kita membabat hutan, merusak lingkungan hidup, demi kebutuhan hari ini, demi kesenangan generasi ini.
Bahkan dalam hati kecil kita, sering tebersit, buat apa melakukan penelitian penyakit-penyakit yang bahkan belum ada? Buat apa mencari dan memberi nama-nama bintang jutaan tahun cahaya, sementara hari ini perut lapar minta diisi tahu bulat?
Memangnya berpikir jangka pendek, memperoleh kesenangan sesaat, itu buruk? Tidak juga. Setidaknya, jika pergi ke kondangan, atau ke restoran all-you-can-eat, lebih baik kita pergunakan naluri menikmati kesenangan sesaat. Kesempatan makan enak dan banyak mungkin tak datang dua kali.
Tapi, tentu hidup tak selamanya begitu dan sebagian besar memang tak seperti itu. Hidup bukan kondangan, bukan pula all-you-can-eat. (*)
*) EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016