Di tahun ketika Iraq dihajar pasukan koalisi agar keluar dari Kuwait, di tahun ketika akhirnya Uni Soviet bubar dan bekas pecahan Yugoslavia mulai rusuh, saya rasa soundtrack terbaik untuk masa semacam itu memang datang bersamaan: Nevermind dari Nirvana.
---
DI SEPERTIGA akhir tahun 1991, saya masih bocah 16 tahun. Di tas sekolah atau di saku celana, sering kali membawa satu atau beberapa album musik dalam bentuk kaset untuk didengarkan bersama kawan.
Melihat dunia dengan agak bosan. Coba-coba memakai kata-kata kotor semacam ”bajingan”, ”fuck you”, ”anjing”, dan terdengar asyik. Merasa bodoh, tapi juga merasa berhak untuk senang. Tidak punya duit, tapi merasa masa depan cerah. Dengan mudah jatuh cinta kepada Smells Like Teen Spirit dan menjadikannya sejenis lagu kebangsaan.
Hal paling berengsek dari album Nevermind, ia terasa bisa didengarkan di pemutar musik abal-abal. Setidaknya begitu menurut saya dan kawan-kawan sepermainan masa itu. Semakin rombeng suaranya, kok riff gitar dan suara Kurt Cobain semakin asyik didengar.
Bahkan dengan mudah saya memaafkan jika suara bas yang dimainkan Krist Novoselic tidak terdengar bergema. Drum yang dipukul Dave Grohl tak berdentum-dentum.
Ia bukan Use Your Illusion I-II dari Guns N’ Roses. Lagu You Could Be Mine hanya terlihat asyik diputar di pemutar jinjing di film Terminator 2. Efek orkestra di November Rain tak terasa megah di pemutar musik abal-abal milik bocah-bocah belangsak kota kecil macam kami. Demikian juga dengan alat yang sama, choir di Knockin’ on Heaven’s Door ya terasa datar saja.
Itu juga bukan album dari Metallica yang rilis sebulan sebelumnya, yang judulnya juga Metallica. Album berwarna hitam, tapi jika diterawang akan terlihat gambar ular meringkuk di ujung bawah. Mendengarkan Nothing Else Matters jelas butuh perangkat andal untuk merasakan kejernihan suara gitarnya. Kami tak punya kemewahan itu.
Nirvana dan Nevermind seolah ditujukan untuk bocah-bocah yang pengin ngerock dengan modal pas-pasan. Tak perlu jaket kulit dan tubuh penuh rajah serta wajah ganteng macam Axl Rose. Tak perlu tubuh tinggi besar, rambut gondrong, suara rendah dan berat macam James Hetfield.
Kurt Cobain, dengan tatapan mata yang bertahun kemudian mengingatkan saya pada tatapan kekanak-kanakan Che Guevara, dengan rambut gondrong yang nanggung, tubuh pendek dan cungkring, pakai kaus dan jins, serta sepatu kets, ternyata bisa ngerock.
Apa yang membuat sebuah band dan album macam Nevermind jadi penanda zaman serta sebuah generasi? Apakah ia dengan tepat memberi wajah sehingga satu generasi merasa terwakilkan? Apakah sikap-sikapnya, melalui musik dan lirik lagu, merupakan suara zamannya?
Setidaknya ia menjadi pembeda dengan musik para orang tua yang di masa itu mungkin mendengarkan musik ”serius” dari Queen, Deep Purple, Led Zeppelin, The Beatles, The Rolling Stones, dan akan melihat Nirvana dengan tatapan aneh. Para senior yang akhir-akhir ini diejek generasi lebih baru dengan ungkapan, ”Ok, Boomer!”
Baiklah, setiap generasi sering kali merasa mereka adalah pemberontak. Pembangkang dari kejumudan zamannya. Demikian pula musik yang mereka dengar. Yang membuat Nirvana dan Nevermind tampak berbeda, mereka membangkang justru dengan menjadi biasa-biasa saja.
Musik mereka dipengaruhi musik-musik pop dengan melodi yang bahkan sering dibandingkan dengan lagu kanak-kanak yang mudah didengar. Mereka mendaur ulang apa yang bisa ditemukan dengan mudah. Lagu-lagunya tak banyak dihiasi solo gitar panjang dan rumit yang banyak muncul di lagu-lagu rock sebelum bahkan sezamannya.
Tahun 1991 merupakan salah satu penanda sebuah generasi. Dunia sangat tidak baik-baik saja dalam skala yang gigantik. Perang Teluk menyeret perang tak berkesudahan di Timur Tengah, menciptakan migrasi besar-besaran. Dengan tumbangnya Soviet, kekuatan militer dunia menjadi timpang.
Bagaimana sebuah generasi memandang dunia semacam itu? Nevermind. Bodo amat. Lupakan saja. Kita tahu dunia berengsek. Kita tahu bahkan bocah kecil pun sudah diajarkan untuk mengejar uang (seperti di sampul album itu). Memangnya kita bisa apa? Hanya bisa berbisik pelan, kadang berteriak kencang.
Menjadi generasi yang sederhana dan biasa-biasa saja merupakan pembangkangan di masa yang hiruk pikuk sekaligus memberi tragedi tersendiri. Ya, kita tak menciptakan perang, tapi juga tak berhasil menghentikannya.
Kemarin tiga puluh tahun lalu, 24 September 1991, Nevermind dilahirkan. Ia wajah dari usaha untuk membangkang, tapi kemudian menemukan dirinya di tengah arus utama. Ia wajah sebuah generasi yang akan melongo melihat problem-problem lainnya datang bertahun kemudian: migrasi, menguatnya rasial dan politik identitas, terorisme.
Kurt Cobain mungkin akan kesal juga akhirnya jika ia masih hidup, sebagaimana saya akan nyengir pernah membayangkan Nevermind sebagai album lorong kumuh milik anak gembel, tapi kenyataannya tidak. Ia diputar di radio-radio, terdengar di dalam kabin Ferrari, dan dipuja kaum eksekutif. (*)
---
*) EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016