JawaPos.com - Sepanjang 2020, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga ikut terombang-ambing seiring dengan ketidakpastian di tengah wabah Covid-19. Bahkan, tahun ini Rupiah sempat terlempar hingga ke level 16.000an.
Pada awal tahun hingga 26 Februari 2020, Rupiah masih bergerak di kisaran 13.700an per USD. Mengutip Laporan Pemerintah Tahun Anggaran 2020 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada semester I 2020, pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut disebabkan oleh penularan kasus Covid-19 di seluruh dunia yang makin meluas.
Penyebaran virus memicu meningkatnya risiko ketidakpastian global. Oleh sebab itu, para investor cenderung mengalihkan dana investasinya ke aset berisiko rendah, seperti emas, obligasi pemerintah negara maju, dan mata uang dunia, seperti dolar Amerika Serikat (USD).
Pada saat itu, mulai terjadi arus modal keluar (capital outflow) dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada kuartl I 2020 capital outflow mencapai Rp 148,5 triliun. Angka ini hampir tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan arus modal keluar yang terjadi pada saat krisis keuangan 2008 dan 2013.
Hal tersebut membuat Rupiah tersungkur pada Maret 2020, yang anjlok melebihi level 16.000 per USD dan secara bulanan terdepresiasi hingga mencapai 15.195 per USD. Pergerakan Rupiah terus merosot hingga awal April 2020 di level terendahnya dalam sejarah pada 16.741 per USD pada 2 April 2020.
baca juga: Rupiah Terpuruk ke 16.000, Nilai Tukar Terendah sejak Krismon 1998

-
Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan, pelemahan Rupiah saat itu berbeda dari kondisi saat krisis keuangan atau moneter yang terjadi pada 1998 maupun 2008. Sebab, dia menjamin, fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih sangat kuat.
"Yang terjadi (adalah) kepanikan seluruh pasar keuangan global, termasuk pemilik modal di seluruh dunia karena begitu cepatnya merebak virus ini," kata dia saat telekonferensi, Maret lalu.
Guna stabilisasi nilai tukar Rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan melalui Perppu 1 Tahun 2020 yang diikuti dengan penerbitan Perpres 54 Tahun 2020 yang kemudian direvisi dengan Perpres 72 Tahun 2020. Regulasi tersebut memberikan stimulus fiskal.
BI diperkenankan melakukan stabilisasi dan penguatan Rupiah melalui peningkatan intensitas kebijakan intervensi baik di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder. BI bahkan menjalin kerja sama bilateral swap dan repo line dengan sejumlah bank sentral negara lain, termasuk dengan bank sentral Amerika Serikat dan Tiongkok.
Selanjutnya, Perppu 1 Tahun 2020 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 memberikan legalitas kepada BI untuk melakukan kebijakan quantitative easing agar dapat sedikit menurunkan ketidakpastian, dengan memperbaiki sisi permintaan maupun penawaran yang anjlok akibat pandemi. Penerapan kebijakan fiskal dan moneter yang dilakukan oleh pemerintah pada kuartal II 2020 berhasil meningkatkan kepercayaan investor terhadap kondisi fundamental perekonomian Indonesia. Hal itu tecermin dari kembalinya aliran modal asing ke Indonesia.
baca juga: Borong SBN Pemerintah, BI Gelontorkan Rp 289,86 Triliun
Rupiah pun mulai merangkak naik hingga Mei 2020 mencapai level 15.000an berkat aliran masuk modal asing dan besarnya pasokan valas dari pelaku domestik. Akhirnya Rupiah membukukan penguatan lebih dari 15 persen sejak awal April hingga awal Juni.
Fluktuasi Rupiah terus berlanjut pada bulan berikutnya, bahkan pada Agustus 2020 memasuki level 14.500 an. Pada September 2020 Rupiah terdepresiasi 2,5 persen terhadap penutupan bulan Agustus dan terdepresiasi 7,3 persen dibandingkan akhir tahun 2019. Secara rata-rata selama awal tahun hingga akhir September 2020 nilai tukar Rupiah mencapai 14.639,7 per USD.

-
Pada November 2020, nilai tukar Rupiah terus menguat tajam seiring dengan sentimen pelaku pasar yang membaik dan aliran modal yang mengalir deras ke Indonesia. Rupiah membukukan penguatan 3,63 persen di pasar spot sepanjang November.
Dibandingkan mata uang utama Asia lainnya, penguatan Rupiah menjadi yang paling besar, sehingga menjadi yang terbaik. Selain itu, pada saat itu USD juga sedang tak bergairah. Hal ini dimulai setelah hasil pilpres AS yang menunjukkan kemenangan Joseph Joe Biden dari Partai Demokrat, melawan petahana dari Partai Republik, Donald Trump.
Kemenangan Biden dinilai menguntungkan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sebab perang dagang AS-Tiongkok kemungkinan akan berakhir atau setidaknya tidak memburuk.
Selain itu, stimulus fiskal juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan Trump dan Partai Republik. Negara berkembang seperti Indonesia juga berpotensi kecipratan aliran modal yang membuat Rupiah perkasa.
baca juga: Uji Vaksin Pfizer Efektif, Rupiah Nyaris ke Level 14.000
Investor semakin tenang dan optimistis saat vaksin dari perusahaan farmasi asal AS, Pfizer dan Moderna, serta dari Inggris, AstraZeneca, diklaim efektif menanggulangi virus korona hingga 90 persen atau lebih, tanpa efek samping yang serius. Hal itu berpengaruh besar terhadap pergerakan pasar uang dunia.
Dengan tersedianya vaksin, maka kehidupan dipercaya akan perlahan kembali normal. Hal itu akan berdampak pada roda bisnis yang akan berputar, dan perekonomian global bangkit kembali.
Pada November 2020 juga, Perry mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang memutuskan bahwa BI memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75 persen. Sementara suku bunga Deposit Facility turun menjadi 3 persen, dan suku bunga Lending Facility sekarang di 4,5 persen.
"Keputusan ini mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga dan langkah pemulihan ekonom nasional," ucapnya.

-
Sementara itu, JP Morgan memperkirakan, Rupiah akan menguat cukup signifikan pada 2021 mendatang. Dalam laporan bertajuk Make Indonesia Great Again, disebutkan Rupiah bahkan mampu menguat ke level 13.500 per USD pada akhir 2021. Penguatan akan dimulai dari level saat ini yang di kisaran 14.150.
"Tim Global FX dan Rates Strategy kami memperkirakan Rupiah di posisi 13.500 pada akhir 2021 dari level saat ini 14.150," demikian tulis JP Morgan dalam laporannya tersebut.
Adapun faktor-faktor penguatan tersebut diantaranya, yaitu perkembangan positif neraca pembayaran Indonesia, dimana diperkirakan defisit transaksi berjalan sepanjang 2020 sekitar 0,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tingkat defisit tersebut dianggap secara signifikan jauh lebih rendah dari tingkat defisit transaksi berjalan yang ada pada beberapa tahun terakhir di kisaran 2-3 persen dari PDB.
Faktor selanjutnya, modal asing masuk yang mengalir deras ke pasar obligasi Indonesia, didorong semakin tingginya imbal hasil atau yield pada 2021. Selain itu, dipengaruhi faktor positif dari perkembangan vaksin dan pemulihan ekonomi.
Dengan menguatnya nilai tukar Rupiah pada periode itu, JP Morgan memperkirakan dampak positif bagi sektor-sektor ekonomi seperti ritel yang menggunakan material impor, farmasi, media, properti, semen, dan ternak unggas.
"Kami meyakini bahwa pasar Indonesia secara keseluruhan akan mendapat manfaat dari tren penguatan Rupiah. Lebih spesifik terhadap sektor-sektor tersebut," tulis JP Morgan.
https://www.youtube.com/watch?v=7U_IuLE4KIk