Berawal dari Nonton Sepak Bola yang Tak Menyenangkan Lagi
Riverside Forest lahir dengan semangat keegaliteran dan “do it yourself”. Bersiap untuk tampil di Liga 3 bukan untuk memburu prestasi, tapi biar tahu bobroknya sepak bola Indonesia dan melawan dari dalam.
FARID S. MAULANA, Surabaya
—
“CUKUP sudah, kami muak.”
Di Manchester, para suporter Manchester United yang menolak akuisisi klub kesayangan mereka oleh Malcolm Glazer mengekspresikan kemarahan itu pada 2005.
Enam belas tahun berselang, di akhir 2021, sekelompok suporter di Bandung yang merasa klub yang mereka dukung kian menjauh dari fans juga melontarkan kekesalan serupa.
“Kami merasa menonton sepak bola sudah tak menyenangkan lagi,” kata Shamroog, salah seorang suporter, mewakili yang dirasakan sebagian kawan-kawannya.
Klub, kata Shamroog, yang tak mau menyebut nama asli jadi demikian industrial. Pemilik modal dan sponsor saja yang menentukan. Suara fans cuma sayup-sayup.
Dari kesamaan yang dirasakan itu, beberapa komunitas suporter di ibu kota Jawa Barat itu pun lantas berkumpul. Mereka menggagas untuk membuat klub sepak bola yang egaliter.
“Semacam ’escapist’-lah dari keruwetan klub yang sebelumnya kami dukung,” lanjutnya.
Lahirlah Riverside Forest pada Desember 2021. Klub berideologi punk football, didirikan dan dikelola oleh suporter sendiri.
“Ideologi kami pada dasarnya lebih ke DIY (do it yourself) movement di mana dari pengelolaan klub, yaitu manajemen, masih dilakukan oleh lingkup circle kami,” jelasnya kepada Jawa Pos pekan lalu.
FC United of Manchester, klub yang didirikan dan dimiliki oleh suporter sendiri, juga lahir dengan cara kurang lebih sama pada 2005. Dipicu kejengkelan mereka pada akuisisi Manchester United oleh pebisnis asal Amerika Serikat Malcolm Glazer.
Lahir dari suporter, Riverside Forest pun membentuk wadah untuk fans. Shamroog dkk menamainya Birds Death Brigade (BDB). “Nama itu kami ambil dari band asal Moskow, Death Brigade. Lalu, kami pelesetkan menjadi Birds Death Brigade,” lanjut pria yang menjabat director of football Riverside Forest itu.
BDB tidak sekadar jadi penampung suporter. BDB sengaja dibuat agar klub punya orang-orang yang secara independen bersuara kritis. Baik kepada manajemen maupun pemain.
Beberapa dari BDB juga masuk dalam struktural manajemen. Tujuannya untuk check and balance bagi Riverside Forest. ’’Tidak ada struktur resmi, BDB juga menjadi steward bagi kawan-kawan lain saat pertandingan,’’ ungkapnya.
Sejak berdiri, Riverside Forest berlaga di kompetisi amatir, Bandung Champion League (BCL). Di tahun pertamanya, mereka langsung promosi ke Bandung Premier League.
Sayang, karena dirasa ’’mengancam”, mereka dicekal oleh operator kompetisi. Alasannya, izin pertandingan sulit didapat karena pihak keamanan khawatir aksi vandalis dari suporter Riverside Forest.
Padahal, kata Shamroog, kekhawatiran itu sama sekali tak beralasan. Tidak pernah ada bukti aksi vandalisme oleh fans Riverside Forest.
Justru, lanjut Shamroog, BDB ingin mengembalikan sepak bola menjadi hiburan rakyat. Membuat tribun ramah anak dan perempuan serta tribun antirokok di antaranya.
Ucup Karim, salah satu anggota BDB, juga sampai sekarang tidak mengerti mengapa Riverside Forest dicekal. ’’Apa karena pakaian kami hitam-hitam? Bawa flare dan smoke bomb? Kami tidak pernah anarkis. Bahkan, kompetisi mendapat pemasukan banyak dari tiket yang kami beli,’’ tuturnya.
Klub punk football lain yang melegenda di dunia adalah St Pauli yang berbasis di sebuah distrik di Hamburg, Jerman. Klub yang bermain di 2. Bundesliga itu punya 27 ribu member sekarang dan merupakan pelopor kultur ’’Kult (fanatisme kepada seseorang, sesuatu, atau sebuah ide atau ideologi)” di negaranya yang kemudian menular ke penjuru dunia.
Karena BDB bukan organisasi, Ucup mengaku tidak tahu berapa jumlah suporter Riverside Forest saat ini. Yang jelas, tiap kali merchandise Riverside Forest rilis, 100–200 pieces selalu ludes terjual paling lama dua hari. ’’Hasil penjualan merch itu yang kemudian menghidupi tim,’’ ujarnya.
Yang dilakukan Riverside Forest agar merchandise selalu laris, kata Ucup, dengan melintas ke luar sepak bola. Skena musik salah satu target. ’’Kami pernah kolaborasi merch dengan Teenage Death Star, The Dare. Ya biar Riverside Forest bisa dikenal dari berbagai kalangan,’’ terangnya.
Shamroog menambahkan, saat ini Riverside Forest berencana berkompetisi di Liga 3 Jawa Barat. Manajemen sedang mempersiapkan segala persyaratannya. ’’Ikut Liga 3 ini salah satu cara kami untuk mencari panggung yang lebih besar dalam menyampaikan pesan,’’ ungkapnya.
Soal prestasi, itu nomor kesekian. Baginya, bisa tembus masuk ke dalam sistem yang selama ini dikritisi sudah sangat cukup. Mengetahui bobroknya sepak bola Indonesia dan melawan di dalamnya bakal jadi kepuasan tersendiri. ’’Perkara nanti kami dicekal lagi atau ditendang, ya sudah kami tidak lagi bersuara di sana,’’ tegasnya.