Didi Kempot berperan penting melambungkan musik campursari serta meluaskan pemakaian bahasa Jawa, khususnya ngoko. ”Koder” dalam Sekonyong-konyong Koder contoh penemuan yang brilian.
DIAR CANDRA, Sidoarjo, Jawa Pos
—
DALAM jagat bernama Didi Kempot, patah hati dan joget hanyalah sebagian partikel. Masih ada serpihan-serpihan penting lainnya berupa bahasa lugas, dialek tak lazim, puisi yang organik, dan jarak yang terpangkas.
”Lagi mau bengi aku telponan karo Pak Tet (Butet Kertaradjasa, Red) nggo mbahas soal suku kata neng lirik lagu Didi Kempot. Bahasane duowo (Baru tadi malam ngobrol di telepon dengan Pak Tet untuk membahas soal suku kata di lirik lagu Didi Kempot. Pembahasannya panjang),” kata Pemimpin Redaksi Tabloid Bahasa Jawa Jawacana Paksi Raras Alit ketika dihubungi Jawa Pos Senin lalu (18/5).
Paksi menjelaskan, bahasa Jawa yang digunakan musisi 53 tahun itu tak lazim digunakan dalam bahasa Jawa gaya Mataraman.
Dialek Mataraman adalah gaya bahasa yang dipakai di area Jogja, Solo, dan beberapa wilayah sekitar yang terpengaruh budaya eks Kerajaan Mataram Islam.
Paksi mencontohkan kata dhadha. Ketika mendapatkan akhiran -ku seharusnya dibaca dhadhaku, bukan dhodhoku. Dan, dalam beberapa lagu Didi Kempot terdapat distorsi dari pemakaian gaya bahasa Jawa Mataraman tersebut.
Misalnya, dalam lagu Pamer Bojo. Dalam lirik teles kebes netes eluh neng dhadhaku oleh Didi Kempot diucapkan menjadi teles kebes netes eluh neng dhodhoku. ”Dalam dialek Mataraman, hal-hal seperti itu masih mendapat perhatian. Nek disebut salah ki yo ora, bahasa ki ra ono sing salah,” kata Paksi.
Paksi mengutip tulisan di laman Facebook pegiat seni Jogja Ikun Sri Kuncoro yang juga membelejeti lirik lagu Didi Kempot dengan sangat detail. Di lagu Taman Jurug, misalnya, terdapat penggalan lirik cahyaning bulan nrajang pucuking cemara.
”Kenapa yang dipakai nrajang, bukan nrabas, padahal artinya sama. Tapi, Didi Kempot dengan intuisinya memilih nrajang,” ucap Paksi. Nrajang dalam Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) karya W.J.S. Poerwadarminta berarti nempuh, nyerang, nasak. Sedangkan nrabas dalam kamus yang sama bermakna nrajang tengah.
”Lek Cung (Ikun Sri Kuncoro, Red) menganalisis kenapa yang dipakai nrajang karena dalam kalimat ”cahyaning bulan nrajang pucuking cemara” terdapat banyak huruf C dan J. Keduanya satu sumber bunyi sehingga lebih enak membunyikan,” tutur pria 36 tahun itu.
Paksi sendiri penasaran dengan pilihan kata nrajang ketimbang nrabas itu. Apakah Didi Kempot ketika menciptakan lirik itu sengaja atau intuitif. Jika intuitif, berarti Didi Kempot benar-benar penyair Jawa yang organik. ”Karena secara latar belakang keilmuan juga bukan bidangnya beliau,” kata Paksi.
Kalau dikupas secara akademik, pemilihan nrajang daripada nrabas ada pelajarannya. Memilih konsonan keras dan lunak. Namun, melihat latar belakang pendidikan Didi Kempot, Paksi meyakini tak seakademis itu.
Tapi, jika merunut akar keluarganya, sang bapak adalah seniman ketoprak Edi Ranto Gudel, maka keorganikan Didi Kempot bisa dipahami. Gawan bayi wes nyeni, kira-kira gambaran dalam bahasa Jawa soal apel jatuh tak jauh dari pohonnya.
”Didi Kempot itu nganggo rasa (menggunakan rasa, Red). Istilahnya, Didi Kempot ini penyair organik yang intuitif dan kalau mikir Didi Kempot menciptakan lirik melalui (pendekatan) akademis jelas bukan Didi Kempot banget,” tutur Paksi.
Penyair Joko Pinurbo dalam sebuah wawancara dengan Jawa Pos tahun lalu mengatakan, seseorang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa dalam karya-karyanya pastilah sosok yang nganggo rasa dalam pilihan katanya.
Jokpin –sapaan Joko Pinurbo– mencontohkan, frasa membawa uang dalam bahasa Indonesia bisa dimaknai dalam beberapa frasa di bahasa Jawa. ”Membawa uang kalau dibahasajawakan bisa nggawa dhuwit, ngesaki dhuwit, nggembol dhuwit, atau sangu dhuwit. Tergantung mana yang lebih sreg buat dipakai untuk menggambarkan aktivitas itu,” kata Jokpin.
Yang dimaksud dengan kemampuan organik Didi Kempot adalah bakat alami. Tanpa belajar bahasa Jawa secara akademis, kemampuan lirisnya sudah ada dengan sendirinya. ”Didi Kempot ini tidak belajar sastra Jawa mendalam, tapi kok pilihan kata dalam bahasa jawanya pas banget,” puji Paksi.
Pilihan tema lagu tentang percintaan yang berkaitan dengan lokasi juga menjadi ciri khas Didi Kempot. Sebelum Didi Kempot, maestro keroncong Gesang pun menjadikan geografi sebagai bagian penting lagunya. Jembatan Merah, Kemayoran, Borobudur, atau Bengawan Solo, misalnya.
”Tapi, lagu Mbah Gesang ini bahasa Indonesia dan temanya perjuangan atau revolusi. Lha ini karena zeitgeist (jiwa zaman, Red) Mbah Gesang dan Didi Kempot beda,” jelas Paksi.
Paksi juga membandingkan lagu-lagu Jawa di era macapat berisi sejarah atau silsilah, piwulang (nasihat), dan religi. Romansa sama sekali bukan bagian dari macapat.
Campursari, demikian musik Didi Kempot biasa dikategorikan, sesungguhnya memiliki intisari dari macapat. Namun, di tangan Didi Kempot, campursari dimodifikasi menjadi bertema roman dan bukan sejarah, piwulang, dan religi.
Bahasa Jawa ngoko dalam lirik-lirik Didi Kempot juga memangkas ”jarak” dengan pendengarnya. Jika penyanyi campursari lain seperti (alm) Manthous memakai bahasa-bahasa simbol dalam tema romansa, itu sama sekali tidak dilakukan Didi Kempot.
”Jawa ngoko itu ternyata yang dibutuhkan sastra Jawa untuk bisa bertahan dari gempuran bahasa asing. Ya, salah satunya berkat Didi Kempot ini,” kata bapak tiga anak itu.
Jawa ngoko dalam struktur bahasa Jawa terendah yang dipakai ketika berbicara dengan sosok yang sudah akrab, dengan yang usia lebih muda, atau kedudukan (sosial) lebih rendah. ”Ngoko ini kan lugas. Orang di luar Mataram, seperti Madura, Sunda, paham dan ngoko ini malah jadi bahasa pemersatu,” ucap Paksi.
Buktinya, buntut konsistensi Didi Kempot berbahasa Jawa ngoko, kini banyak band mengikuti jejaknya. Seperti Guyon Waton, Om Wawes, Ndarboy yang pede mementaskan lagu bahasa Jawa. ”Didi Kempot ini mercusuar buat band-band atau penyanyi berbahasa Jawa sekarang ini,” kata Paksi.
Dosen komunikasi terapan Universitas Sebelas Maret (UNS) dan ISI Solo Joko S. Gombloh mengatakan, ledakan musik campursari Didi Kempot itu sebetulnya tak mengagetkan. Sebab, selama lebih dari tiga dasawarsa Didi konsisten menjalani genre itu.
Joko menilai campursari Didi Kempot lebih pas dikategorikan sebagai pop Jawa. Definisi musik pop Jawa adalah lagu yang bertema asmara dan disajikan dengan bahasa Jawa. Sebab, kalau diurut akarnya, campursari yang sudah ada sejak abad ke-18 itu jauh lebih rumit.
”Campursari saat ini menjadi maskot musik Jawa. Dan, Didi Kempot ini secara formula berada di wilayah yang bertolak belakang dengan campursari pendahulunya seperti Ki Narto Sabdo, juga Manthous,” tutur Joko.
Jika Narto Sabdo dan Manthous memakai bahasa Jawa kromo yang banyak pasemon atau kiasan, tidak dengan Didi Kempot. Bahasa ngoko atau bahasa Jawa keseharian yang dipakai Didi jauh dari kiasan yang rumit.
Dari sekian lagu ciptaan Didi Kempot, menurut Joko, lagu Sekonyong-konyong Koder adalah yang paling brilian. Secara makna, kata koder tak akan ditemukan di dalam bahasa apa pun.
Dalam wawancaranya dengan Jawa Pos, Didi menyebut ”koder” itu menggambarkan rasa cinta yang tidak keruan. ”Koder ini lahir dari imajinasi penulis dan juga kegeniusan seniman menemukan kata tersebut,” ucap Joko.
Saksikan video menarik berikut ini: