The Griya Lombok, Rumah dari 5 Ribu Ton Limbah Kertas

Tak Retak Diguncang Gempa Berkali-kali
18 Oktober 2018, 13:33:44 WIB

Theo Setiaji Suteja membangun rumah berbahan baku mayoritas adonan kertas bekas dan lem. Kini bercita-cita mendirikan Museum Paper Art pertama di dunia.

LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram

The Griya Lombok, Rumah dari 5 Ribu Ton Limbah Kertas
Theo sedang melihat daftar buku tamu yang hadir ke rumah kertasnya di kawasan Penghulu Agung, Ampenan Selatan, Mataram, Selasa (16/10). (LALU MOHAMMAD/LOMBOK POST/JAWA POS GROUP)

SEJAK kaki melangkah ke gapura, kertas-kertas bekas sudah menyambut. Tidak berupa tumpukan sampah. Tapi berbentuk gapura itu sendiri.

”Ini coba ketuk. Ini kertas!” ujar Theo Setiaji Suteja, sang pemilik rumah yang diberi nama The Griya Lombok itu, lantas menebar senyum.

Tangannya dengan mantap mengetuk-ngetuk sisi gapura. Ada bunyi nyaring, tapi tak serupa dengan suara kayu. Telunjuk Theo lebih tajam menukik ke arah serat gapura.

”Lihat, tidak ada kayu yang punya serat seperti ini. Ini kertas dicampur lem,” ungkap Theo yang juga seorang seniman kepada Lombok Post.

Rumah yang berdiri gagah di Ampenan Selatan, Mataram, Nusa Tenggara Barat, tersebut sekitar 60 persennya memang berbahan baku kertas bekas. Ditambah sentuhan seni warna dan pahatan tiga dimensi yang tercetak di atas limbah kertas, berton-ton kertas bekas itu pun jadi terlihat indah di sekujur tubuh rumah.

Hampir ke mana pun telunjuk Theo mengarah, semua berbahan baku kertas. Mulai gerbang, berugak, rumah utama, hingga beberapa ornamen rumah, semua dari kertas.

Bahkan, hiasan kolam kecil lengkap dengan air mancur yang terus bergemericik terbuat dari kertas. “Kertas. Benar, ini kertas. Coba lihat,” ujarnya meyakinkan.

Ide membangun rumah dari bahan limbah kertas tersebut tidak muncul tiba-tiba. Berawal dari keresahan Theo tentang limbah kertas yang terus menumpuk saban waktu.

“Sejak itu saya berpikir, kenapa bukan limbah kertas itu yang kita pakai untuk bangun rumah? Kalau itu yang kita lakukan, berapa pohon bisa kita selamatkan.”

Sejak itulah dia memulai riset kecil-kecilan. Mencari cara agar kertas bisa menggantikan kayu sehingga illegal logging (penebangan kayu secara liar) bisa dikurangi.

Rupanya, semangat untuk mengubah kertas menjadi kayu tidak hanya muncul saat dia mulai resah dengan banyaknya industri kertas. Sejak masih kuliah, Theo mengaku sering menjadi motor gerakan mahasiswa yang menolak illegal logging.

Beberapa bulan bergulat dengan riset, Theo berhasil menemukan formula unik dan menarik. Hanya bermodal kertas dan campuran lem, dia berhasil membuat pengganti batu bata yang kerasnya bahkan lebih kukuh daripada batu bata biasa.

“Coba banting. Kalau bisa pecah, berarti Anda hebat,” tantangnya.

Lombok Post pun menjajal membantingnya. Bruuuakk…! Adonan kertas dan lem yang menyerupai batu bata itu menghantam sebuah batu.

Bukannya hancur, batu bata dari kertas tersebut justru mental. Setelah dicermati, tak sedikit pun ada tanda-tanda benda itu akan terbelah atau bahkan lecet.

“Memang, saat pembuatan pertama lunak. Tapi, setelah dikeringkan, kerasnya minta ampun,” tegasnya.

Karena itu, saat gempa bertubi-tubi mengguncang Lombok dua bulan lalu, Theo merupakan salah satu warga di pesisir pantai yang sangat percaya diri tetap berada di dalam rumah. Dia bahkan sempat menantang Lombok Post untuk mencari retakan, sekalipun seurat rambut, di tembok rumahnya.

Batu bata dari bahan baku kertas tidak ha­nya membuat bobot rumah sangat ringan. Tetapi, konstruksinya bahkan sangat kukuh. Melebihi material yang selama ini dikenal banyak orang dalam membuat rumah.

“Mau bandingin dengan batu bata atau batako? Ya jauh lebih kukuh ini,” tegasnya percaya diri.

Karena itu, getaran 7,0 skala Richter (SR) tidak terlalu berarti. Theo tetap bertahan di dalam rumah. Lalu berdoa dengan khusyuk agar tetangga dan sanak saudara di tempat yang jauh selalu dalam lindungan Tuhan.

“Bangun rumah ini setidaknya saya butuh sekitar 5 ribu ton kertas. Dari atap hingga dinding, semua pakai kertas,” katanya.

Menurut Theo, ada beberapa teman mahasiswa yang membantu dirinya menyiapkan adonan, memasang, hingga akhirnya rumah berdiri. Di dalam The Griya Lombok, juga ada ratusan hasil kerajinan tangan. Misalnya, perabot rumah. Sama, semua juga terbuat dari bahan baku limbah kertas.

Misalnya, tempat duduk yang sekilas seperti terbuat dari akar pohon besar. Tentu, harganya bakal mahal. Akar sebesar itu tidak hanya langka didapat. “Pak (mantan) Wakil Gubernur Muhammad Amin tidak hanya duduk di atasnya, tapi berdiri untuk menguji kekukuhannya,” ujar Theo dengan wajah semringah.

Kemampuan Theo memadukan warna, lalu melukis kursi itu, membuat banyak orang tidak ragu menyebut itu dari akar kayu. Padahal, seluruhnya hanya berbahan baku kertas yang dicampur lem.

Theo lalu memamerkan meja, beberapa kursi, guci dengan pahatan naga khas milik kolektor Tiongkok, berbagai ornamen rumahan, topeng, tangan, dan berbagai karya kerajinan tangan lainnya. Semua terbuat dari kertas.

Theo menyebutkan, tidak kurang dari 200 karya seni telah dibuatnya dalam berbagai bentuk. Dia masih punya cita-cita untuk membuat 800 karya seni lagi dari bahan limbah kertas. Baru kemudian mimpi terbesarnya akan diwujudkan.

“Saya akan siapkan sebuah ruangan atau galeri. Lalu menjadikannya Museum Paper Art (karya seni yang terbuat dari kertas, Red) terbesar dan pertama di dunia,” tegasnya.

Keberadaan 200 karya seni berbagai bentuk di dalam rumah The Griya Lombok tentu bisa menjadi modal berharga. Lagi pula, Theo tidak sendiri merintis mimpi. Ada mahasiswa yang saban hari datang, lalu menyedot ilmunya. Kompensasinya, mereka harus bersedia ikut serta dalam mimpinya mewujudkan Museum Paper Art itu.

Bahkan, Theo menawarkan konsep kerja sama bagi mereka yang punya market kuat untuk limbah kertas. Contohnya, satu meja yang menyerupai batang kayu langka berbahan baku kertas dihargai Rp 10 juta.

“Sebanyak 80 persen untuk Anda yang jual. sedangkan saya minta 20 persennya.”

Namun, dengan syarat, bahan baku kertas dan perajin yang menyiapkan adalah mitra. Dengan begitu, dia siap dengan senang hati menularkan semua ilmu seninya kepada perajin. “Di desa mana pun Anda siap, saya akan datang dan mengajari 100 pemuda yang tidak punya pekerjaan,” tantangnya.

Empat ton sampah kertas bisa cukup untuk mencetak 100 unit meja menyerupai kayu langka. Jumlah itu juga cukup untuk ikut serta menyelamatkan bumi dari kekurangan oksigen akibat aksi illegal logging. “Cuma, apakah sekarang kita sudah siap mencetak dan mengompensasi tenaga yang mau memilah sampah?” ujarnya. 

Editor : Ilham Safutra

Reporter : (*/r5/c5/ttg)

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads
The Griya Lombok, Rumah dari 5 Ribu Ton Limbah Kertas