Retno Hastijanti, Arsitek yang Berkiprah di Tim Ahli Cagar Budaya

10 September 2021, 07:48:16 WIB

Surabaya Selain dikenal sebagai Kota Pahlawan, Surabaya juga disebut sebagai museum hidup yang merekam segala perkembangan kota masa lalu hingga saat ini. Termasuk kampung lawas yang telah didalami TACB Surabaya.

AZAMI RAMADHAN, Surabaya

MENDALAMI sebuah kawasan atau bangunan yang mengandung nilai sejarah, bagi Retno Hastijanti, sama halnya dengan merawat atau memelihara kehidupan. Sebab, tak sedikit nilai dari sebuah kawasan yang dapat dipelajari lebih dalam. Itulah yang membuat Hasti, sapaan akrab Retno Hastijanti, memilih all-out bersama-sama tim ahli cagar budaya (TACB).

Di tim tersebut beragam profesi berkumpul. Mulai Profesor Johan Silas, sejarawan Unair Purnawan Basundoro, sejarawan Unesa Sumarno, dan Missa Demetawati dari BPCB Trowulan.

Bagi perempuan 54 tahun itu, TACB tidak hanya bertugas membuat label sebuah kawasan atau bangunan sebagai kawasan cagar budaya. Namun, perannya lebih dari itu. ”Nggak sebatas teken SK. Tapi, bagaimana dalam proses itu muncul partisipasi publik,” kata Hasti.

Dengan begitu, saat menangani kawasan atau bangunan cagar budaya tersebut, pihaknya menghindari berpikir teknis. Terlebih tentang bagaimana merevitalisasi dengan mendesain ulang sebuah kawasan atau membiarkan sebuah kawasan dan bangunan tersebut sama seperti sedia kala.

Sembari membuka file-file lama, Hasti mengungkapkan bahwa menurut Eric Weiner, seorang pengarang buku asal Inggris, setiap kota itu memiliki sedikitnya satu lubang pintu ke masa lalu. Ada dimensi tersembunyi dari setiap kawasan dan bangunan lama di Surabaya.

Jendela tersebut, menurut dosen arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya itu, tidak hanya soal sumber sejarah yang berada di atas kertas, tetapi juga cerita dari setiap orang yang mendiami lokasi tersebut. Dengan begitu, masa depan dipastikan tumbuh dengan akar kebudayaan masa lalu yang kukuh dan kuat. Sebab, sebuah kawasan dalam kota merupakan root sekaligus soul bagi warganya.

”Partisipasi itu melibatkan banyak pihak. Akademisi, praktisi, komunitas pegiat sejarah, dan warga. Itu penting,” ujar alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu.

Dia mengungkapkan, rasa yang ada di masyarakat itu dia temui sejak dirinya bergabung dengan TACB pada 2008 dan menjadi ketua TACB pada 2017 hingga saat ini.

Editor : Dhimas Ginanjar

Reporter : */c6/git

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads