Berharap NU Punya Program Olahraga Kuat di Abad Kedua
Thaufik Hidayat dan Ahmad Zaki Febiansyah berhitung dengan kemungkinan cuaca dan kepadatan lalu lintas sebelum berlari dari Lamongan ke Sidoarjo. Lewat aksi tersebut, keduanya ingin menyuarakan bahwa generasi muda NU punya potensi di sektor olahraga.
EKO HENDRI, Sidoarjo
—
NAPAS mereka masih ngos-ngosan saat pembawa acara Karnaval Budaya Nusantara (KBN) di Sidoarjo, Jawa Timur, memanggil. Bicara pun belum lancar, masih terbata-bata.
Memang Ahmad Zaki Febiansyah dan Thaufik Hidayat sudah sempat beristirahat beberapa jam sebelum berpartisipasi di karnaval yang menjadi rangkaian peringatan 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU) tersebut kemarin (7/2). Tapi, berlari sejauh 100 kilometer selama 15 jam benar-benar menguras tenaga mereka.
”Ini acara besar dan berkesan. Saya dedikasikan untuk pendiri dan ulama NU,” kata Thaufik kepada Jawa Pos tentang alasan di balik ”kenekatan” dirinya dan Zaki.
Dua kader GP Ansor Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur, itu memulai lari dengan jarak lebih dari dua setengah kali lipat jarak lari maraton itu di depan RSNU Babat, Lamongan, kabupaten yang bertetangga dengan Bojonegoro, pada Senin (6/2) sore pukul 16.00. Sebelumnya, mereka sudah mengontak panitia KBN untuk meminta izin bergabung jika sampai Sidoarjo tepat waktu.
Sebagai nahdliyin, keduanya memang sangat ingin berpartisipasi meramaikan rangkaian peringatan 1 Abad NU.
”Lebih banyak melakukan persiapan karena rutenya panjang. Jaga kesehatan dan perbanyak latihan,” kata Thaufik sambil melayani nahdliyin lain yang meminta berfoto setelah karnaval selesai dihelat di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo.
Kebetulan dua pria yang sama-sama berprofesi guru olahraga itu penggemar lari dan kerap mengikuti lomba. Tapi, tetap saja menempuh 100 kilometer di tengah kepadatan lalu lintas bukan perkara mudah.
Sebelum berlari, pria 30 tahun itu sudah memetakan jalur yang akan ditempuh bersama Zaki yang berusia setahun lebih tua. Bukan hanya titik jalan rusak. Melainkan juga tingkat kepadatan lalu lintas.
Toh tetap saja prosesi lari tak semulus yang mereka bayangkan. Baru 20 menit meninggalkan titik start, hujan deras mengguyur dan mengganggu perjalanan. Thaufik dan Zaki terpaksa beristirahat.
Padahal, jadwal KBN sudah jelas: dimulai Selasa (7/2) pukul 14.00, start dari alun-alun dan finis di Stadion Delta, Sidoarjo. Banyak pertunjukan yang disuguhkan dalam karnaval. Selain tari sufi, ada sejumlah kesenian tradisional dari berbagai daerah. Di antaranya, reog Ponorogo, tari piring, tari jaipong, tari sajojo, barongsai, tari zapin, dan tari saman.
Selain itu, ada 400 Banser asal Jawa Tengah yang terlibat. Mereka bagian dari marching band yang membawakan lagu-lagu bertema Islami.
Menurut Ketua PBNU Bidang Kebudayaan Alissa Wahid, NU tak bisa lepas dari budaya. Selain menunjukkan keanekagaraman Indonesia, karnaval menegaskan komitmen organisasi muslim terbesar di Indonesia itu dalam nguri-nguri budaya sekaligus upaya merawat jagat.
”Abad pertama NU dibangun muassis dan tak lepas dari budaya. Seni dan budaya digunakan untuk menyuburkan akhlak,” ungkap Alissa.
Thaufik dan Zaki sangat berharap mereka bisa menjadi bagian dari perayaan itu. Tapi, baru mulai berlari, aral sudah menghadang. Otomatis mereka harus berhitung benar dengan waktu.
Mereka jelas harus meluangkan waktu untuk salat Magrib, Isya, dan Subuh. Masing-masing setidaknya 15–20 menit. Belum lagi kemungkinan kendala lain yang di luar perkiraan.
Selain meramaikan peringatan 1 Abad NU, Thaufik dan Zaki berharap lewat aksi mereka bisa menginspirasi anak-anak muda NU. ”Saya ingin mengajak anak-anak muda NU aktif berolahraga,” tambah Thaufik.
Selama ini, lanjut pria yang juga menjadi guru olahraga itu, dia melihat generasi muda NU sebenarnya memiliki potensi besar untuk berprestasi. Hanya belum tertangani secara maksimal.
”Mudah-mudahan di abad kedua, NU punya program yang kuat di bidang olahraga,” katanya.
Harapan memuncak itu pula yang menjadi penyemangat Thaufik dan Zaki melewati jarak 100 kilometer. Setelah 15 jam sejak berangkat dari RSNU Babat, keduanya akhirnya sampai di Pendopo Delta Wibawa, Sidoarjo, sekitar pukul 07.00 kemarin.
Lelah tentu saja, tapi bungah benar mereka akhirnya bisa bergabung dengan begitu banyak nahdliyin, baik yang menjadi peserta maupun yang menyaksikan di tepi jalan. Di antaranya, Hudayah, salah seorang penampil tari sufi yang datang dari Blora, Jawa Tengah.
”Sebelumnya sudah ada latihan. Tapi, saya tetap canggung,” ungkapnya. ”Sempat khawatir karena cuaca panas. Alhamdulillah lancar,” tambah gadis 19 tahun itu.
Alissa menegaskan bahwa pelaksanaan karnaval merupakan alat dakwah. Semacam cara untuk mencintai agama dan negara. Karena itu, putri Presiden Ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid tersebut berpesan kepada peserta karnaval untuk ikhlas dan bergembira.
Thaufik dan Zaki jelas ikhlas menjalankan misi mereka dan bergembira bisa menyelesaikan serta bergabung dalam karnaval. Mereka pun bisa pulang ke Bojonegoro dengan tenang. Tentu kali ini dengan menaiki kendaraan umum, tidak lagi berlari.