Untuk Penyintas Keluarga Retak, Broken Home Bukan Berarti Broken Dream

3 Februari 2023, 14:09:40 WIB

Di Behome, segala curhat dan sambat mereka yang berasal dari keluarga disfungsional didengar dan ada layanan konselor profesional. Chatreen Moko, sang pendiri, kini tengah menyiapkan program Behome Ambassador.

DINDA JUWITA, Jakarta

PESAN itu membuat Chatreen Moko trenyuh sekaligus bungah. Sebab, Behome, ”rumah” yang dia dirikan untuk anak-anak yang senasib dengannya, ternyata membawa dampak positif.

”Si pengirim pesan menulis bahwa dia pamitan tak lagi mengikuti Behome. Tapi, bukan karena tidak butuh lagi, melainkan karena ingin melangkah maju dan tak ingin mengungkit masa lalu,” kata Chatreen dalam percakapan dengan Jawa Pos pada Kamis (12/1) tiga pekan lalu.

Behome, kata si pengirim pesan seperti ditirukan Chatreen, telah sangat membantunya selama ini. ”Di Behome, dia merasa ada yang mendengar semua curhat dan sambatannya,” lanjut Chatreen.

Bisa ”mengulurkan tangan” kepada sesama penyintas keluarga broken home atau retak seperti itu jelas tak terbayangkan oleh Chatreen ketika mulai sambat di Twitter sebelas tahun lalu. Justru saat itu dialah yang membutuhkan pertolongan.

Usianya masih 16 tahun saat itu. Di usia sebelia itu, pikirannya dipenuhi bayang-bayang konflik rumah tangga orang tuanya yang semrawut. Dan, dia tidak tahu harus curhat kepada siapa.

Sedari kecil, keluarganya memang tidak baik-baik saja. Saat menginjak bangku kelas III SD, dia menyaksikan ayah-ibunya berpisah.

Semasa SD, SMP, bahkan SMA, dia merasa masih baik-baik saja. Tapi, begitu lulus SMA, ketika keluarga yang disfungsional membuatnya kehilangan kesempatan untuk berkuliah, mulailah kegelisahannya. ”Aku berpikir, ’Oh gini ya rasanya. Keluargaku berantakan banget’,” tuturnya.

Karena bingung ke mana mencurahkan unek-unek, Chatreen mulai curhat di Twitter. Saking malunya jika orang tahu, Chatreen memilih tak menggunakan nama asli. Alhasil, nama ”BrokenHomeIndo” dipilihnya sebagai username.

”Soalnya ya jujur aku malu banget kalau orang tahu kayak ’Halo, aku Chatreen Moko, aku anak broken home’,” katanya.

Setelah ngetwit, batinnya sedikit lega. Hari berganti hari, ternyata cuitan-cuitannya direspons beberapa orang. Mayoritas respons itu menyebut bahwa mereka mengalami hal serupa.

Awalnya, Chatreen santai mendapat respons seperti itu. Tapi, lambat laun dia justru enggan. Dalam lubuk hati perempuan asal Soroako, Sulawesi Selatan, itu, dia tak ingin memberi ”energi negatif” bagi orang yang membaca cerita sambatannya.

Chatreen pun berubah haluan: mengubah kegalauannya menjadi sebuah inisiatif positif. Dia ingin anak-anak yang memiliki kisah serupa dengannya punya rumah atau wadah untuk berbagi.

Terdengar sangat sederhana memang. Namun, bagi mereka yang berasal dari keluarga retak, didengarkan saja sudah amat berarti.

Merasa username BrokenHomeIndo terlalu intimidatif, dia pun mengubahnya dengan ”Behome” yang merupakan kependekan dari Broken Home Indonesia. Perubahan nama itu juga disertai harapan agar Behome bisa menjadi rumah yang aman bagi teman-temannya yang sama-sama dari keluarga retak.

Hingga suatu ketika, sambatan-sambatan di Twitter membuat Chatreen ingin mengompilasi dan membukukannya. Tapi, dia masih gamang. Sebab, dia masih malu menampilkan identitas aslinya.

Lewat berbagai pergulatan batin, dia lantas memutuskan coming out. Dengan berani, perempuan kelahiran 1994 itu melahirkan buku pertamanya. Broken Home ≠ Broken Dreams terbit pada April 2013. Buku setebal 150 halaman itu berisi tentang kisah nyata sejumlah anak yang mengalami broken home.

Medio 2013 hingga 2017, Chatreen melahirkan empat buku. Seluruhnya bertema keluarga retak. Penjualan buku-buku itu juga mampu membuatnya melanjutkan kuliah. Pelan tapi pasti, Chatreen menata hidup dan mimpi-mimpinya.

Tiap hari, Chatreen tak pernah lelah mengunggah konten-konten pesan positif di seluruh akun media sosial Behome. Itu ditujukan untuk memberikan semangat kepada ratusan ribu follower yang mengikuti seluruh media sosial Behome dalam menjalani hari-hari yang barangkali tak semudah bayangan.

Di platform Behome, dia juga banyak melakukan ”kopi darat” dengan para follower atau pengikut. Seorang diri, Chatreen jungkir balik menginisiasi berbagai program. Salah satu yang cukup digandrungi adalah Teman Curhat atau yang biasa dikenal Mancur.

Lewat Mancur, para follower akan dilayani konselor dan psikolog. Hanya dengan tarif Rp 25 ribu per sesi, siapa pun bisa curhat selama 60 menit secara online. Tiap Selasa hingga Minggu, Mancur rutin dibuka dengan 30 slot.

”Memang sangat murah, tapi tetap psikolognya dari kalangan profesional dan mereka sekaligus memberikan konseling dengan misi sosial juga,” katanya.

Lewat berbagai platform konseling yang disediakan Behome, dia rutin menjadi pendengar yang baik dan jembatan untuk menampung setumpuk keluh kesah para follower. Meski punya beberapa tim kecil, Chatreen memang menangani sendiri tetek bengek Behome.

Saat ini Chatreen tengah disibukkan dengan Behome Ambassador. Program yang diinisiasinya itu mencari bibit-bibit yang berani speak up dan memberikan motivasi bagi sesama penyintas.

Caranya pun tak sulit. Mereka harus mampu membuat interaksi melalui konten di media sosial.

Program itu tengah berlangsung hingga Maret. ”Ada beberapa syarat untuk bisa menjadi Behome Ambassador, salah satunya berlatar belakang keluarga disfungsional,” imbuhnya.

Berbagai langkah kebaikan yang dia lakukan diniatkan agar anak-anak broken home tak hanya berkubang dan meratapi nasib. Seperti judul buku pertamanya, broken home bukan berarti broken dream.

Editor : Ilham Safutra

Reporter : */c19/ttg

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads