Satgas Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) Jatim mencegah keberangkatan 87 calon tenaga kerja yang hendak ke Arab Saudi di Bandara Juanda. Operasi pencegahan yang berlangsung pada Sabtu (28/1) itu menyisakan ragam kisah memilukan yang dialami para pengadu nasib tersebut.
EDI SUSILO-WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Surabaya
’’SAYA takut pulang, Pak,’’ ucap Siti Jumilah (bukan nama sebenarnya) kepada Jawa Pos saat ditemui di kantor UPT P2TK Jatim di Bendul Merisi kemarin.
Dia begitu kalut seusai gagal berangkat ke Arab Saudi setelah dicegah satgas PMI di Bandara Juanda. Wajar, sejak Sabtu (28/1) malam, sang agen tenaga kerja menelepon dirinya. Meminta uang Rp 35 juta. Bahkan, sang agen mengancam menagihnya ke keluarga Siti di Karawang.
Sebelumnya, Siti ditawari untuk bekerja ke Arab Saudi oleh si agen. Dijanjikan berangkat lewat jalur resmi. Tak hanya itu, sang agen memberinya uang saku Rp 3 juta untuk keperluan selama di penampungan sebelum berangkat ke Surabaya. ’’Bahkan, agen saya sampai datang ke rumah, pamitan pada orang tua saya. Menjamin saya aman. Nggak tahunya jadi gini,’’ ucapnya.
Sebenarnya, Siti baru tiga bulan pulang ke tanah air. Tiga tahun dia bekerja di Riyadh, Arab Saudi, sebagai asisten rumah tangga (ART). Selama bekerja, sebenarnya dia menerima pengalaman buruk. Kaki kanannya disetrika, jarinya ditusuk pisau, hingga dikunci di kamar mandi oleh majikannya.
Namun, pengalaman itu seakan-akan tak berbekas. Lenyap oleh bayang-bayang bakal kembali mendapat sekerat riyal untuk keluarga. Dia pun nekat berangkat lagi setelah ditawari sang agen.
Dan, setelah pembatalan pemberangkatan itu, perempuan 27 tahun tersebut sering menangis. Membayangkan hari-hari ke depan, tentang bagaimana menghidupi kedua orang tua dan tiga adiknya yang masih bersekolah.
Kecemasan juga dirasakan Zubaidah (nama samaran), 33, warga Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Dia takut lantaran diminta mengembalikan uang Rp 4 juta ketika tidak jadi berangkat ke tanah Arab. ’’Saya berangkat karena tidak ada uang,’’ katanya.
Sejak bercerai dengan sang suami setahun lalu, dia hanya nganggur di rumah. Ditekan kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak, dia menerima ajakan seorang kawan untuk menjadi PMI.
Dari Kalimantan, Zubaidah ditampung di Jakarta selama tiga minggu. Di sana, bersama puluhan PMI lain, dia hanya tiduran. Tak ada pelatihan apa pun. Mereka hanya diberi informasi oleh agen tentang iming-iming gaji sebesar 1.200 riyal per bulan. Atau, sekitar Rp 4,7 juta.
Nasib calon PMI lainnya juga tak kalah menyedihkan. Konstruksi ceritanya nyaris sama. Mereka mengalami kesulitan ekonomi, lalu ditawari agen untuk kerja di luar negeri tanpa tahu legalitasnya. Dan akhirnya gagal berangkat.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jatim Himawan Estu Bagijo menyatakan, 87 calon PMI (CPMI) itu adalah korban para makelar PMI yang diduga terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). ’’Yang kini sedang diproses oleh Polda Jatim,” katanya.
Dia menyatakan, sesuai permintaan Gubernur Khofifah Indar Parawansa, pemprov memfasilitasi seluruh CPMI. ’’Sementara itu, untuk penindakan lebih lanjut (terhadap sindikat TPPI, Red), ditangani kepolisian,” katanya.
Sebanyak 87 CPMI itu rencananya terbang ke Bandara Changi, Singapura, untuk transit. Setelah itu, baru mereka berangkat ke Arab Saudi. ’’Setelah kami periksa, dokumen perjalanannya tidak lengkap. Juga, belum jelas mereka akan kerja apa dan di mana,’’ kata Kasi Informasi Keimigrasian Kanim Kelas I Khusus TPI Surabaya Febby Wilson.