Sebuah Klinik yang Tak Hanya Menjaga Kesehatan, tapi Juga Merawat Hutan (2-Habis)
Iming-iming keringanan berobat dan pelibatan mantan pembalak adalah cara Klinik Asri turut menghijaukan kembali Taman Nasional Gunung Palung. Pada 2015 hutan di sana compang-camping 490 hektare, tiga tahun kemudian tinggal 18 hektare.
HERIYANTO, Sukadana, Jawa Pos
---
PENGHASILAN yang didapat Junaidi dari toko kelontong kecil di depan rumahnya tak seberapa. Karena itu, untuk menambal kebutuhan, dia menanam padi.
Tapi, Junaidi merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Meski dosa masa lalu terus menggelayutinya. Saat selama 13 tahun dia menjadi pembalak liar hutan di sekitar tempat tinggalnya di Dusun Begasing, Desa Sedahan Jaya, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Kawasan yang masuk wilayah Taman Nasional Gunung Palung.
”Menjadi logger itu sebenarnya bukan pekerjaan yang baik. Tapi, waktu itu tidak ada pilihan lain, jadi saya lakoni,” ujar pria 43 tahun tersebut kepada Pontianak Post.
Membalak itu pekerjaan turun-temurun. Di masa muda Junaidi, anak-anak yang beranjak remaja mulai dikenalkan orang tua mereka cara menggunakan gergaji mesin.
Permintaan yang besar terhadap kayu membuat aktivitas tersebut sulit dihentikan. Kayu-kayu olahan dijual kepada para penampung untuk selanjutnya dijual kembali kepada konsumen.
Adalah tetangganya, Jono Karno, juga mantan pembalak, yang perlahan membuka kesadarannya. ”Pak Jono bilang, hutan itu adalah warisan untuk anak-cucu. Kalau hutan habis, kasihan anak-cucu nanti,” kata Junaidi saat ditemui di kediamannya dalam liputan yang didukung Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center.
Junaidi akhirnya benar-benar ”gantung gergaji mesin”. Bersama Jono yang dipercaya Klinik Asri sebagai sahabat hutan, Junaidi aktif menjadi relawan penghijauan.

-
Sudah ribuan bibit yang mereka tanam di kawasan Taman Nasional Gunung Palung. Buntutnya, Dusun Begasing yang dulu dikenal sebagai kampung pembalak dengan kawasan hutan yang compang-camping karena ditebangi sekarang mendapat predikat ”dusun kuning” dari Klinik Asri.
Artinya, kampung tersebut relatif berhasil melestarikan hutan. Meski masih ada warga yang bekerja sebagai pembalak liar, pembabatan hutan sudah jauh berkurang.
”Butuh waktu dua tahun bagi Dusun Begasing untuk dapat predikat kuning,” ujar Agus Supiyanto, koordinator monitoring dan sahabat hutan Klinik Asri.
*
Klinik Asri yang berdiri di Sukadana, ibu kota Kayong Utara, sekitar 5–10 jam perjalanan laut atau sungai dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, punya banyak cara untuk mengajak masyarakat merawat hutan. Memberlakukan ”mata uang” berupa bibit pohon, kompos, kotoran hewan, atau bekerja di kebun pembibitan milik klinik sebagai ongkos berobat adalah salah satunya. Cara lainnya lagi, insentif berbeda untuk desa-desa yang berpredikat hijau, kuning, dan merah.
Insentifnya berupa potongan biaya perawatan. Klinik yang didirikan Kinari Webb, seorang dokter asal Amerika Serikat, itu punya kartu khusus yang mencatat jumlah bibit, kompos, atau jam kerja warga di kebun pembibitan. Itulah ”tabungan” mereka yang bisa digunakan saat berobat ke klinik.
Jadi, warga tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun ketika berobat. Tinggal ”didebit” dari tabungan mereka.
Nah, kalau kebetulan mereka berasal dari desa hijau, biaya berobat mereka tadi kian ringan. Sebab, diskonnya 70 persen. Otomatis yang didebit dari tabungan mereka kian sedikit.
Kalau desa kuning, potongannya 50 persen. Sedangkan merah 30 persen. Penilaian hijau, kuning, dan merah itu berdasar hasil pemantauan tiga kali per tahun.
Hijau yang tertinggi, disusul kuning, lalu merah. ”Kalau dusun hijau, syarat-syaratnya dusun itu berbatasan langsung dengan taman nasional. Kedua, mereka bekerja sama dengan Klinik Asri,” kata Agus.
Baca juga: Mengobati Sakit Pinggang dengan Durian, Cempedak untuk Cabut Gigi
Selain itu, di desa tersebut tidak ada pengolahan kayu. Tidak ada sawmill (penggergajian kayu) di situ. Tidak ada juga jalan akses logging menuju ke taman nasional. Masyarakatnya juga proaktif menjaga hutan.
”Karena selama ini yang lebih banyak merusak daerah mereka itu orang luar, bukan dari daerah mereka sendiri,” terang Agus.
Dusun Nirmala, Desa Gunung Sembilan, butuh waktu beberapa tahun untuk meraih predikat ”dusun hijau”. ”Sempat ada logger, tapi kini sudah berhenti. Dua tahun lalu masih kuning, sekarang hijau,” jelasnya.
Kinari Webb menambahkan, desa hijau adalah desa yang tidak ada penebangan liar atau kebakaran hutan. Warganya pun mendapat prioritas dari Klinik Asri. Desa merah kebalikannya. Ada illegal logging atau kebakaran hutan.
”Kami masih melayani. Mereka masih dapat diskon, namun tidak sebesar desa hijau,” jelas Kinari, dokter asal Amerika Serikat yang dulu meneliti di sekitar Taman Nasional Gunung Palung sebelum tergerak mendirikan Klinik Asri.
Tentu Klinik Asri tak sendirian melakukan semua itu. Mereka berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait, terutama pengelola Taman Nasional Gunung Palung. Matheas Ari Wibawanto, kepala Balai Taman Nasional Gunung Paluh, menyebutkan bahwa pihaknya telah lama berkolaborasi dengan Yayasan Asri untuk bersama-sama menjaga kelestarian plasma nutfah. ”Ini merupakan program satu-satunya di Indonesia, bahkan dunia, yang menggabungkan layanan kesehatan dengan program penyelamatan hutan. Saat ini sudah masuk periode kedua kolaborasi kami dengan Klinik Asri,” ungkapnya.
Menurut Ari, memasuki milenium baru, taman nasional yang dipimpinnya sekarang merupakan salah satu kawasan yang terancam deforestasi. Ribuan orang bekerja menebang kayu di dalamnya. ”Tapi, seiring perjalanan waktu, berkat kolaborasi ini, jumlah logger semakin berkurang,” ujarnya.
*
Data Cifor (Center for International Forestry Research) per 2018 menunjukkan, dari 108 ribu hektare luas Taman Nasional Gunung Palung, hanya 18 hektare yang terbuka. Bandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat 32 hektare lahan terbuka. Dua tahun sebelum itu malah lebih parah. Pada 2016 ada 269 hektare dan 2015 ada 490 hektare.
”Upaya yang kami lakukan bersama ini terbukti berhasil mengurangi penggundulan hutan,” ujar Agus.
Dan, itu memang terasa sekali di Sedahan Jaya. Pohon-pohon besar terlihat menghijau di perbukitan desa. Tiupan angin menerobos dari balik bukit yang dipenuhi hutan yang lebat.
Kicauan burung juga terdengar di mana-mana. Menggantikan suara gergaji mesin yang pernah untuk waktu yang lama mengepung desa tersebut. Pagi itu, sekitar sebulan lalu, entah untuk kali keberapa, Junaidi bersyukur telah berhenti membalak dan memilih menanam.