Selasa, 30 Mei 2023

Shiho Narita, Warga Jepang yang Empat Tahun Pilah Sampah Surabaya

- Selasa, 29 Agustus 2017 | 19:35 WIB
CINTA INDONESIA: Shiho Narita memangku Yu go Narita yang lahir pa da 17 Agustus 2017.
CINTA INDONESIA: Shiho Narita memangku Yu go Narita yang lahir pa da 17 Agustus 2017.

Pengabdian Shiho Narita dalam pengolahan sampah di Surabaya dimulai pada 2013. Dia kini makin kerasan tinggal di Indonesia setelah putra pertamanya lahir pada 17 Agustus lalu, tepat di Hari Kemerdekaan Indonesia.


SALMAN MUHIDDIN, Surabaya


AWALNYA, Shiho tidak sadar bahwa putra pertamanya, Yugo Narita, lahir tepat pada Hari Kemerdekaan Indonesia. Dokter memperkirakan putranya lahir setelah 20 Agustus. Namun, setelah diperiksa, jantung putranya melemah.


Keinginan untuk melahirkan secara normal pun sirna. Istrinya harus menjalani operasi Caesar. ”Dia hanya pura-pura lemah. Ternyata ingin lahir 17 Agustus,” gurau alumnus Jurusan Bahasa Indonesia Universitas Indonesia itu sambil menggendong anaknya pada Sabtu (26/8).


Setelah tahu anaknya lahir pada Hari Kemerdekaan Indonesia, dia kaget. Itu menjadi sebuah kebetulan yang menggembirakan hatinya. Hal tersebut dia anggap sebagai hadiah atas kerja kerasnya selama ini.


Shiho tinggal di Surabaya sejak 2013. Dia merupakan duta kerja sama sistercity Surabaya-Kitayushu. Pemerintah Jepang menugasinya sebagai manajer proyek depo sampah Sutorejo.
Shiho tinggal bersama suaminya, Naoto Narita, di salah satu apartemen di Surabaya Barat.


Perayaan kelahiran anaknya dilakukan pada Sabtu lalu. Sahabat-sahabatnya dari Komunitas Nol Sampah hadir memberikan selamat. Mereka juga membawakan bendera Indonesia mini untuk si kecil.


Karena kedatangan tamu istimewa, Shiho mengganti baju anaknya. Dia sudah membelikan baju batik untuk Yugo. Baju itu dibeli sebelum anaknya lahir. Motifnya ikan koi. ’’Ini batik Indonesia-Jepang,’’ ujarnya, lalu meringis.


Cuti melahirkan di Jepang sama dengan Indonesia. Yakni, hanya 3 bulan. Yang membedakan ialah cuti merawat anak. Shiho diberi waktu satu tahun. Jadi, total cuti yang dia dapatkan adalah 15 bulan.


Namun, pengabdian di depo sampah tetap dia lakukan. Shiho bakal mengunjungi tempat pemilahan sampah tersebut sewaktu-waktu. Meski demikian, para pegawai di sana sudah bisa bekerja tanpa diawasi penuh. Maklum, Shiho mendampingi mereka sejak 2013. Meski demikian, Shiho menganggap tugasnya belum selesai. Mengoperasikan mesin dan mengelola depo bukan tujuan utamanya. Dia ingin masyarakat Surabaya memiliki budaya memilah sampah.


Dia mengakui, hal itu cukup sulit dan membutuhkan waktu. Diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengubah budaya memilah sampah. Selama ini, sampah dari setiap rumah dijadikan satu dalam kantong plastik. ”Itu juga terjadi di Jepang sekitar 20 tahun lalu,” jelas ibu 27 tahun tersebut.


Di depo Sutorejo dia bisa mengolah 15 ton sampah dalam sehari. Sementara itu, di Wonorejo hanya ada 10 ton sampah. Angka itu tergolong kecil. Sebab, sampah yang dihasilkan Surabaya bisa mencapai 3.000 ton. Untuk mengubah budaya tersebut, diperlukan pengolahan yang lebih besar.


Shiho bermimpi Surabaya bisa seperti Jepang. Sampah plastik, kertas, dan basah dipilah-pilah. Sudah ada rencana membesarkan proyek pengolahan sampah yang dirintisnya. Namun, rencana itu masih membutuhkan perizinan.


Meski proyek tersebut belum terwujud, tidak masalah. Dia bisa lebih berlama-lama di Indonesia. Dia pun lantas menceritakan perjalanannya bisa sampai ke Indonesia. Awalnya, dia tidak tahu letak Indonesia. Namun, dia memilih jurusan bahasa Indonesia karena penasaran. Mempelajari bahasa Inggris, Prancis, ataupun Italia sudah biasa baginya.

Halaman:

Editor: Suryo Eko Prasetyo

Tags

Terkini

Akademisi, Kecerdasan Buatan, dan Tahun Politik

Kamis, 25 Mei 2023 | 19:50 WIB
X