Filosofi luhur seni bela diri dijadikan Sukarjo dalam memimpin SMPN 3 Surabaya. Alih-alih menciptakan kesombongan, warga sekolah harus membangun rasa persaudaraan, berjiwa sportif, tangguh, serta menanamkan sikap disiplin dalam belajar yang bermuara pada prestasi siswa.
UMAR WIRAHADI, Surabaya
DI usia yang hampir kepala enam, Sukarjo masih lincah memainkan jurus-jurus. Gerakannya gesit. Dia memperagakan kombinasi tangkisan dan serangan. Misalnya, tangkis luar, tangkis dalam, tangkis atas, dan tangkis bawah.
Sesekali dia juga mengayunkan tendangan ke udara sambil berteriak keras ’’haiittttt’’. ’’Ini baru gerakan dasar,’’ ucap Sukarjo seusai memperagakan sejumlah jurus di selasar SMPN 3 Surabaya, Jumat (27/1) pekan lalu.
Menurut dia, jurus silat tidak bisa dipamerkan sembarangan. Apalagi, saat itu dia masih mengenakan pakaian dinas sekolah. Ada banyak jurus kunci yang merupakan gerakan rahasia ketika berhadapan dengan lawan.
Jurus-jurus kunci itu biasa diajarkan Sukarjo kepada murid-muridnya saat berlatih. Tentu disesuaikan dengan tingkatan. ’’Kalau silat pakai pakaian dinas begini ora pantes,’’ ujar Sukorjo, lalu tersenyum.
Di balik gaya jalannya yang agak terbungkuk-bungkuk, siapa sangka Sukarjo adalah seorang pendekar jauh sebelum dia menjabat kepala sekolah atau guru. Dia mulai belajar olah kanuragan di perguruan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) saat berusia 12 tahun.
Kala itu dia baru kelas VII SMP tahun 1978. Sukarjo belajar dari seorang guru silat di kampungnya di Dusun Jambe Lor, Desa Ngale, Kecamatan Paron, Ngawi. ’’Awalnya cuma ikut-ikutan. Lama-lama kok senang,’’ tuturnya.
Hobi berlatih silat itu sempat ditentang orang tuanya. Takut kalau sewaktu-waktu cedera. Sebab, latihan sering dilakukan malam-malam dan ketika latihan harus full body contact.
Di sela-sela kesibukan sebagai kepala sekolah, Sukarjo masih ikut melatih para siswa. Beberapa satpam SMPN 3 Surabaya juga merasakan gemblengan pria 57 tahun itu. Puluhan guru dan beberapa kepala sekolah di Surabaya juga ikut berlatih bersama Sukarjo. Latihan digelar malam agar tidak mengganggu kegiatan belajar-mengajar.
Kiprah Sukarjo dalam seni bela diri juga berlanjut sebagai wasit profesional. Pada 2002 Sukarjo mewakili Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Jawa Timur terpilih sebagai wasit nasional. Karier kepelatihannya pun menanjak.
Bahkan, Sukarjo boleh bangga. Sebab, pada 2014 dia mewakili Indonesia terpilih sebagai wasit internasional kelas III. Lisensi itu dikeluarkan Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat) yang dipimpin Prabowo Subianto.
Persilat beranggota 66 negara di seluruh dunia. ’’Jadi, sekarang status saya wasit internal internasional kelas III,’’ ungkap suami Estuningtyas itu.
Sukarjo pun merasa prihatin dengan maraknya tawuran antar perguruan silat. Dia mengatakan, ilmu bela diri bukan untuk gagah-gagahan atau membuat orang menjadi sombong. Seharusnya orang yang memiliki kepandaian bela diri menganut ilmu padi. ’’Makin punya ilmu seharusnya semakin merunduk karena hakikat bela diri itu harus mengalah,’’ bebernya.