JawaPos.com - Penelitian tentang potensi lumpur Lapindo sejatinya pernah dilakukan tim terpadu riset mandiri (TTRM) dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) sejak 2013. Hasil riset tersebut juga sudah dipublikasikan dan menunjukkan bahwa lumpur Lapindo memiliki kandungan lithium.
Lithium sendiri adalah bahan baku pembuatan katoda baterai. Namun, hingga saat ini kandungan logam tanah berupa lithium itu belum diteliti lebih lanjut karena terkendala modal yang cukup besar. Padahal, jika dilihat potensinya ke depan, permintaan lithium akan sangat besar.
Pakar geologi yang juga salah seorang peneliti di dalam TTRM dari ITS Dr Ir Amien Widodo mengatakan, hasil riset ITS sudah diseminarkan sejak setahun lalu.
Namun, penelitian yang dilakukan bukan pada rare earth element atau logam tanah jarang (LTJ). ”Penelitian kami lebih pada lithium. Dan memang lumpur Lapindo memiliki kandungan lithium tinggi,” katanya kepada Jawa Pos kemarin (23/1).
Meski begitu, hasil penelitian dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menemukan ”harta karun” di lumpur Lapindo berupa LTJ tersebut memang benar. Hal itu juga sudah dipaparkan dan kajian tersebut dilakukan cukup lama. ”Memang ditemukan logam tanah jarang di situ. Dan itu berpotensi, tetapi mereka masih mengebor di beberapa titik. Namun, kalau nantinya bisa dilakukan lebih detail, akan menghasilkan jumlah yang jelas,” ujarnya.
Amien menjelaskan, penelitian tentang kandungan lithium sendiri sudah dilakukan sejak lama. Lumpur Lapindo disaring dan dipisahkan lithiumnya. Saat itu tim peneliti bisa mendapatkan sekitar 8–10 ppm. Jumlah tersebut termasuk tinggi. ”Namun, kami baru mengambil sampling di beberapa tempat. Saat dipublikasikan, ada beberapa investor yang tertarik. Sayangnya, hingga kini masih belum ada investor yang masuk,” kata dia.
Kandungan lithium sendiri, lanjut Amien, digunakan untuk bahan baku baterai pada gadget. Ke depan, sumber daya lithium akan banyak dicari orang. Termasuk LTJ. Itu sebabnya, temuan LTJ tersebut diharapkan bisa segera ditindaklanjuti secara detail. ”Karena itu kan penelitian yang dilakukan Kementerian ESDM, mestinya pemerintah bisa segera menindaklanjutinya,” ujar dia.
Amien menerangkan, LTJ sendiri adalah bahan dasar yang digunakan untuk membuat teknologi tinggi. Contohnya bahan untuk membuat buran atau pesawat ulang-alik atau yang dikenal sebagai space shuttle, mobil hybrid dengan tenaga listrik, alutsista, dan banyak lagi. ”Di dunia, LTJ masih sangat langka. Indonesia salah satu yang memilikinya,” imbuh dia.
Kendalanya, teknologi yang digunakan untuk mengembangkan penelitian tersebut sangat mahal. ”Nanti pasti akan banyak investor yang datang. Apalagi, lumpur Lapindo Sidoarjo memiliki lokasi yang strategis dan transportasinya juga mudah,” jelas peneliti senior di Pusat Penelitian Mitigasi, Bencana, dan Perubahan Iklim ITS itu.
Amien mengatakan, penelitian tersebut sebenarnya sudah lama. Namun, perhatian dari pemerintah masih kurang. Kini tim riset Badan Geologi Kementerian ESDM sudah memunculkan temuan LTJ. Hal itu adalah kesempatan besar untuk mengembangkannya dan segera diwujudkan. ”Saya lihat penelitian mereka sangat luar biasa. Jika ini diwujudkan, nantinya akan mengembalikan desa-desa yang dulunya terendam lumpur Lapindo,” ujarnya.
Sebatas Wisata
Saat ini lokasi peta area terdampak (PAT) lumpur Sidoarjo masih sebatas dijadikan tempat wisata. Tiap akhir pekan, seperti kemarin (23/1), puluhan orang berkunjung ke sana. Namun, rata-rata hanya mampir. ”Baru pulang dari Malang, mampir ke sini dulu karena penasaran belum pernah melihat dari dekat,” jelas Dony Marta, warga Mojokerto.
Rois, penjaga pintu masuk, menyebutkan bahwa tiap akhir pekan pengunjung lebih ramai. Bisa sampai seratus orang lebih. ”Kalau hari biasa ya 50 atau 60-an. Kebanyakan malah orang Sidoarjo saja,” ujarnya. Kecuali saat hari tertentu seperti Agustusan. Saat seperti itu biasanya ada event seperti lomba foto, upacara, hingga peragaan busana. Meskipun jadi tempat wisata, fasilitas yang ada juga tidak banyak. Hanya tempat ngopi dan parkir. Selebihnya pemandangan luas hamparan lumpur.
Humas Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) Hengky Listria Adi mengatakan, sampai saat ini semburan di pusat lumpur memang masih ada, tapi kecil. ”Sekitar 40 ribu meter kubik setiap hari,” ucapnya. Penanganan juga masih sama dengan sebelumnya. Yakni, lumpur dari kolam penampungan dialirkan ke Sungai Porong hingga akhirnya mengendap di Pulau Lumpur Sidoarjo (Lusi).
Kondisi berbeda malah tampak di luar PAT, yakni di Pulau Lusi. Pulau seluas 67,8 hektare yang dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu jadi tempat wisata ekologi baru. Dermaga baru dibangun untuk bersandar perahu wisata. Warung untuk wisata kuliner juga mulai bermunculan.
Bahkan, pada 2022 ini KKP menyiapkan sembilan program pembangunan di Pulau Lusi. Misalnya pembangunan serambi, taman utama, taman lumpur, hingga pembangunan infrastruktur dan sarana utilitas seperti jaringan listrik, air bersih, dan menara BTS. Dua bulan yang lalu, di Sungai Porong sekitar Pulau Lusi juga dibuka wisata jetski.
Sementara itu, Asisten I Sekretariat Daerah Pemkab Sidoarjo M. Ainur Rahman menyatakan, hasil penelitian tersebut belum disampaikan ke daerah. Pihaknya sampai saat ini juga belum ada komunikasi dengan pemerintah pusat terkait hasil penelitian itu. ”Terakhir di Minggu lalu kami masih sebatas pembahasan verifikasi terhadap 84 berkas pemilik yang belum mendapatkan ganti rugi,” ucapnya.