JawaPos.com – Pesatnya perkembangan teknologi telah mentransformasi sektor-sektor bisnis, tak terkecuali industri keuangan. Memang porsinya belum besar, tapi financial technology (fintech) mulai menggantikan sebagian fungsi perbankan.
Dulu nasabah biasa membayar berbagai macam tagihan via ATM, mobile banking, internet banking, atau fasilitas autodebit. Namun, kini ada beragam pilihan dengan berbagai kemudahan. Bahkan iming-iming diskon saat bayar tagihan.
Ya, fintech benar-benar sudah menyebar ke berbagai layanan. Mulai layanan pembayaran seperti Go-Pay dan OVO hingga pinjam-meminjam seperti Amartha dan Modalku.
Sebelumnya, konsultan McKinsey memproyeksikan pada 2025 bisnis ritel bank akan tergerus oleh fintech. Bisnis ritel bank itu di antaranya, kredit konsumer, usaha kecil dan menengah (UKM), serta sistem pembayaran.
Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, pihaknya sejak lama mempersiapkan diri. Bank Mandiri telah banyak bekerja sama dengan fintech, misalnya Amartha, OVO, dan Go-Pay. Perusahaan pelat merah itu juga mendirikan Mandiri Capital Indonesia (MCI), modal ventura yang khusus menangani investasi, termasuk di fintech.
Tiko—sapaan akrab Kartika Wirjoatmodjo—sama sekali tak melihat fintech sebagai sebuah ancaman bagi industri perbankan. Meski bisa saling bekerja sama, kedua industri punya karakteristik yang berbeda.
“Bank tidak bisa selincah fintech karena diatur regulasi dan manajemen risiko yang sangat ketat. Nah, fintech ini inovasinya kencang sekali karena masih ada hal-hal yang belum diregulasi,” terangnya.
Bank yang bekerja sama dengan fintech, baik peer-to-peer (P2P) lending, maupun payment, harus menjaga agar risiko tetap terjaga, sekaligus aman bagi konsumen. Bank-bank besar kini bahkan mulai terbuka terhadap kehadiran fintech asing.
Sebab, Bank Indonesia (BI) telah memperbolehkan fintech asing seperti Alipay dan WeChat masuk ke Indonesia. Syaratnya, mereka harus menggandeng bank umum kelompok usaha (BUKU) IV yang punya modal inti Rp 30 triliun.
Bank yang sudah bekerja sama itu adalah BNI dan CIMB Niaga dengan WeChat, sedangkan Alipay bekerja sama dengan BRI dan BCA. Fintech asing yang masuk ke Indonesia harus membuka rekening di BUKU IV agar transaksinya terekam di Indonesia.
“Kalau langsung atau direct ke asing, nanti kita tidak tahu datanya. Nah, karena settlement-nya di dalam negeri, ya kita bisa tahu sehingga membawa dampak positif untuk kegiatan ekonomi kita,” tutur Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Sugeng.
Keterbukaan pada fintech asing itu dilakukan untuk mendongkrak kinerja sektor pariwisata Indonesia. Sebab, pengguna Alipay dan WeChat adalah para wisatawan, terutama yang datang dari Tiongkok.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menilai, bank-bank besar memang tak perlu khawatir dengan kedatangan fintech, baik yang lokal maupun asing. Namun, yang justru merasakan persaingan adalah bank kecil seperti bank umum kelompok usaha (BUKU) I dan bank perkreditan rakyat (BPR). Terutama dari sisi lending. Sebab, bank menengah dan besar masih bisa bersaing dari sisi bunga.
Dengan likuiditas yang melimpah, bank-bank besar masih memberikan bunga yang lebih murah dibanding fintech. Sementara itu, BUKU I dan BPR terkadang harus melakukan channeling ke bank yang lebih besar untuk mendapatkan dana. Karena itu, bunga dari bank kecil yang dibebankan ke nasabah lebih besar.
Di sisi lain, kata Anton, bank kecil dengan fintech mempunyai mekanisme pengajuan kredit yang lebih simpel dibanding bank besar. Keduanya pun bersaing meski tidak secara head-to-head.
Sebab, fintech pada dasarnya menyasar segmen yang unbankable, yakni masyarakat yang tidak terjangkau oleh bank. “Tetapi, fintech kan masih lebih praktis ketimbang BPR dan BUKU I. Kan tinggal pegang handphone,” ucapnya.
Pengamat fintech Hasnil Fajri mengatakan, fintech sebetulnya merupakan potensi. Bukan ancaman. Fintech justru memberikan keuntungan bagi masyarakat karena pembiayaan mudah dan bahkan tanpa agunan. Namun, proses yang cepat dan mudah tersebut menjadikan bunga fintech tinggi. Hal itu menjadi kelemahan fintech.
Sejauh ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum mengatur batasan dari bunga fintech. Hasnil berharap fintech buatan anak bangsa dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Regulator, baik OJK dan BI, diharapkan bisa memberikan stimulus bagi fintech lokal.