Kelahiran Simon adalah cerita buruk. Ibunya mengalami gangguan mental. Tak ada yang tahu persis siapa ayahnya. Diana, bidan desa waktu itu, berjuang sekuat usaha agar bayi yang kemudian diberi nama Simon dapat lahir selamat di puskesmas kecamatan. Mulai ketua RT, linmas, sampai kepala desa siaga dan terlibat dalam proses kelahiran itu. Segala kebutuhan seperti popok bayi, pakaian dalam, pembalut, kain lipa disiapkan oleh Bidan Diana.
SETELAH melahirkan, ibu Simon melepaskan bayinya begitu saja. Nenek Simon yang sudah berusia 62 tahun dan Bidan Diana secara bergantian merawat Simon. Belum genap berusia 9 tahun, nenek Simon meninggal. Bidan Diana pun pindah tugas mengikuti suaminya.
Kenyataan hidup memaksa Simon harus bekerja sepulang sekolah. Ia membantu tetangganya mengangkut buah kelapa atau menjemur kopra. Dari sana mereka memberinya makan, beras sekilo, atau satu–dua rupiah. Paling sering ia bantu Om Niko yang punya pikap mengangkut batu merah atau mengikuti Om Tinus jual ikan dengan sepeda motor keliling kampung. Tugasnya teriak sepanjang jalan.
”Ikan, ikan, ikan….”
Orang-orang kampung sudah hafal betul suara Simon yang melengking seperti bunyi trompet macet.
”Simon, Simon, Simon….” teriak ibu-ibu susul-menyusul.
”Simon datang bawa ikan, beli ikan disayang suami, makin beli makin disayang.”
Suasana jadi gembira. Makin banyak yang beli, Simon makin semangat memvariasikan teriakannya.
Karena harus bekerja, Simon jarang bermain dengan teman-teman sebayanya. Apalagi mereka suka memamerkan mainan baru, baju baru, sepatu baru, ataupun tas baru. Ada yang bahkan bilang ibunya: ”pusing”, ”gila”, atau ”tak punya bapak”, dan sebagainya. Paling-paling ia bermain dengan Tino jika ingin naik sepeda. Ia memegang bagian belakang sepeda berlari-lari membuntuti Tino. Membantu mendorong sepeda jika Tino tak kuat mengayuh saat mendaki. Biasanya ia lakukan selama 10 kali untuk mendapat 1 kesempatan naik sepeda. Mandi keringat sambil ngos-ngosan tak masalah yang penting dapat merasakan nikmatnya naik sepeda.
Kalau mau bermain sepak bola, Simon biasanya rapat-rapat ke Tomas yang punya bola. Setiap bola keluar dari lapangan, Simon sudah tahu tugasnya. Berlari cepat memungut bola agar bisa tetap turut bermain. Tapi kalau bermain sudah serius antarkelompok, biasanya ia keluar sendiri karena tak punya sepatu bola.
***
Hari-hari Simon adalah hari-hari penuh perjuangan. Ada satu yang membuat Simon gembira di tahun lalu, yakni ketika malam Natal. Ibunya pulang ke rumah membawa segelas minuman ale-ale. Walau tak seperti orang normal, ia memberi ale-ale pada Simon tepat ketika pulsa listrik habis. Simon memeluk ibunya dan menangis. Sang ibu mendekapnya. Simon menikmati pelukan seorang ibu dalam gelap. Naluri dan kasih ibu tak akan pernah hilang walau tak ditopang oleh kondisi kesadarannya.
Rupanya hidup Simon lebih banyak bernama kesedihan. Berselang beberapa hari saja, ada satu peristiwa yang sangat pahit. Waktu itu ada perayaan Natal bersama di pusat paroki yang berjarak 3 kilometer dari rumah Simon. Waktu makan, semua ibu mengambil makan untuk anak-anaknya. Simon duduk di pojok tenda dan berharap ada yang bisa mengambil untuknya. Tapi tak ada. Diam-diam ia keluar dari tenda. Sudah pukul 2 siang. Matahari lagi terik-teriknya. Ia pulang. Potong jalan lewat kebun warga. Karena terlalu lapar, ia panjat pepaya entah di kebun siapa. Dan makan buah pepaya mengkal walau terasa agak gatal. Tak ada lagi pilihan. Simon minum air hujan yang tertampung di tempurung terbuka yang dijumpai di jalan. Mungkin air hujan seminggu yang lalu.
Akibat peristiwa yang tak enak itu, pagi-pagi benar saat tahun baru Simon pergi ke bukit seorang diri. Membawa katapel dan korek api. Untunglah ia bisa menembak jatuh seekor pergam sehingga bisa jadi teman nasi yang dibawa dari rumah buat makan siangnya. Ia menikmati bunyi musik pesta dari kejauhan sambil makan buah jambu batu yang masih sepat-asam. Sore menjelang matahari terbenam barulah ia pulang dan langsung tidur.
Memang Natal bagi anak-anak sebaya Simon adalah saat yang dinanti-nantikan. Pesta berlangsung di mana-mana. Saat bisa ramai-ramai kumpul keluarga. Sekolah libur. Yang bekerja di kota pulang kampung. Banyak kue dan minuman. Berlimpah-limpah makanan. Anak-anak bergembira dengan baju, celana, dan sepatu barunya. Rumah-rumah dihias. Lampu Natal dipasang di rumah, gereja, jalan, dan di mana-mana. Justru di saat-saat seperti ini, Simon biasanya bertanya dalam hati siapa bapaknya. Ia ingat ibunya. Juga neneknya yang sudah meninggal dan Bidan Diana yang sudah pindah tugas. Dia cenderung menjauhi teman-temannya. Karena ia tak punya yang baru-baru dan yang bagus-bagus seperti teman-teman sebayanya.
Waktu bergerak begitu cepat. Tak terasa Natal tahun ini tinggal hitungan hari. Pada hari terakhir sekolah sebelum liburan Natal dan tahun baru, Ibu Tina berpesan supaya semua ke gereja mengikuti rangkaian perayaan misa mulai malam Natal, hari Natal, perayaan Natal kedua, pesta keluarga kudus, malam tutup tahun, tahun baru, sampai pesta tiga raja.
”Kenapa Yesus lahir di kandang, bukan di gereja, Ibu?” tanya Paul, siswa paling pintar di kelas.
”Pertanyaan yang bagus. Jawabannya: karena Yesus peduli sama gembala yang susah.”
”Kalau Yesus lahir di kandang, lalu kenapa kita harus ke gereja, Ibu?”
”Karena sekarang kandang itu sudah ada dalam gereja. Maka kita semua harus ke gereja! Pakai baju yang bagus, rapi, sopan untuk bertemu bayi Yesus di sana.”
”Saya sudah punya baju baru, Ibu.”
”Saya juga.”
”Saya punya nanti kakak bawa dari Surabaya. Dua hari lagi tiba.”
***
Pagi-pagi lagu-lagu Natal terdengar dari rumah-rumah tetangga. Simon dipanggil Om Tinus untuk bantu jual daging babi keliling kampung. Om Tinus membantai 4 ekor babi berukuran besar. Kali ini mereka menjual sampai ke kampung-kampung tetangga.
Simon pulang ke rumah sudah pukul 6 sore. Tinggal satu jam misa malam Natal dimulai. Ia ingin segera mandi ke gereja. Baju dan celana yang dibeli 3 tahun lalu oleh Bidan Diana sudah sedikit sesak, tapi masih bisa pakai. Sepatu gerejanya sudah sobek besar. Kalau dipaksa sebagian jari kaki kanannya akan nongol keluar. Bagaimana jika ia pakai sandal jepit yang masih terlihat baru, namun lagi-lagi ia berpikir ini misa hari raya besar, biasanya orang pakai sepatu. Bolak-balik Simon antara kamar dan ruang tengah rumah. Ia bingung dan ingat ibunya. Andai ibunya bisa pulang seperti malam Natal tahun yang lalu. Air matanya meleleh. Jatuh dari kedua sudut matanya. Ia rebah beberapa saat di kursi bambu dekat meja makan dan tertidur karena lelah.
Tiba-tiba ada seorang bayi mungil melayang datang. Menembus pintu dan menghampiri Simon dan menjamah pipinya. Ajaib, bayi itu ternyata bisa bicara. Imut dan lucu. Seperti teman lama, mereka langsung akrab.
”Kenapa ke sini? Semua orang tunggu di gereja.”
”Saya takut sama penjaga gerbang. Matanya awas penuh selidik.”
”Mereka sudah siap sambut dengan semua yang indah-indah.”
”Saya tak nyaman sama kelap-kelip lampu, bau parfum, khotbah yang panjang-panjang, dan hormat yang dilebih-lebihkan.”
”Di sana ada buah anggur, apel, dan kue persembahan yang enak-enak.”
”Ada makanan? Saya lapar.”
”Itu di meja cuma ada nasi dan garam.”
Ia menuju meja. Simon mengikuti. Keduanya makan sepiring. Terlihat begitu nikmat.
”Bolehkah kupinjam sepatumu, Simon?”
”Sepatuku sobek. Lagi pula kebesaran buatmu.”
”Tak apa.”
Ia senang dan bangga memasukkan telapak kakinya ke dalam sepatu Simon.
Bayi itu mulai bercerita tentang riwayatnya. Ibunya dalam kondisi hamil tua atas perintah penguasa mau tidak mau harus menempuh perjalanan jauh dalam rangka sensus penduduk di kota asal bapaknya. Tak ada penginapan hingga ia harus lahir di kandang ternak. Tak lama setelah kelahirannya, mereka mengungsi ke tempat yang jauh karena penguasa setempat sangat terganggu oleh kelahirannya. Ketika dewasa ia ditolak di kampungnya sendiri hingga dihukum mati. Simon merasa tak sendiri. Ada yang punya kisah hidup lebih berat darinya.
Simon jadi paham artinya peduli dan menderita. Ia mulai mengerti alasan mengapa bayi ajaib ini memilih berada bersamanya. Kehadiran bayi yang lembut itu telah membuat hatinya ringan, juga terang pikiran dan batinnya.
”Misa mau selesai, mengapa kau tak ke sana walau cuma sebentar?”
Bayi itu mulai curhat. Bagaimana perasaan hatinya jika ia masuk ke gereja yang begitu indah dan megah, sedang tak jauh dari sana masih ada orang yang menyimpan ember, baskom, penggayung, stoples di kamar tidurnya untuk menampung tirisan air hujan akibat atap yang bocor. Juga bagaimana ia menikmati aneka persembahan, kue yang mahal, buah-buahan impor, sedang petani bersedih tak tahu ke mana harus menjual hasil kebunnya. Bagaimana rasa hatinya kalau ia masuk melewati gerbang yang tebal dan dinding-dinding pagar yang indah, sementara di balik itu masih ada anak-anak putus sekolah karena masalah ekonomi. Bagaimana ia melihat para pejabat yang diberi tempat duduk paling depan dengan sepatu mahal yang disemir licin, jas atau kemeja mahal, aroma parfum yang menyengat, sedang bawahannya mengutang hanya supaya bisa membeli baju layak pakai buat anak-anaknya ke gereja.
Bayi itu terdiam. Suaranya tersedak. Air mata menggenangi mata indahnya. Simon pun ikut menangis.
”Simon, Simon, Simon, kau tak ke gereja tu kami lapor Ibu Tina, kami lapor Ibu Tina!”
Simon kaget dan mengusap-usap matanya.
Ia tak peduli teriak ancaman teman-temannya. Tak peduli apa hukuman dari Ibu Tina nanti.
Ia hanya ingin melanjutkan tidur dan mimpinya. Bersama teman bayinya yang lagi bersedih. (*)
Lewotala, Flores Timur, awal Desember 2022
---
SILVESTER PETARA HURIT
Alumnus Jurusan Teater STSI Bandung (ISBI sekarang). Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan iklim teater dan sastra di kampung halamannya, Flores Timur, NTT.