Perkenalkan, sebut saja aku keheningan –mungkin lebih mudah bagimu untuk menandai dan mengakui kehadiranku di sini. Aku ada di mana saja dan kapan saja. Dan apa yang akan kupaparkan ini adalah sepenggal peristiwa yang tertangkap lalu kusimpan untuk suatu kali
(dan sekarang inilah saat itu) kukisahkan kepadamu. Ini kisah si pemburu yang tak tahu bahwa sebentar lagi dia akan mati. Tapi, siapakah yang tahu saat kematiannya akan tiba? Bahkan aku...
Jadi, begini petikan kisah yang kusimpan itu...
JADI, di dalam diriku ini juga ada roh?”
”Ya.”
”Kau juga?”
”Ya.”
”Kau menderita?”
”Apa maksudmu?”
”Kalau kau menderita karena merasa terperangkap, akan kubantu kau bebas…” candaku, dan Kadu terbahak-bahak.
”Aku tidak mengerti, Kadu. Ucapanmu terlalu sulit dipahami pemburu sepertiku ini.”
”Aku mengerti mengapa kau tak bisa mencerna semua yang kujelaskan karena memang tidak semua manusia paham.”
”Jadi, untuk apa itu semua kalau tidak bisa dipahami semua orang?”
”Itu sebabnya kita semua wajib belajar. Wajib mengetahui. Wajib memahami. Dengan berbagai cara, sampai kapan pun.”
”Betapa melelahkannya hidupmu, Kadu.”
”Mengapa?”
”Sampai setua ini pun kau masih harus belajar. Kapan kau mulai hidup?”
Kadu hanya tergelak-gelak. Manusia yang satu ini seakan tak punya kemarahan sama sekali.
”Dasar pemburu bodoh. Siapa tahu, kau dulu adalah seorang pangeran.”
”Ah, apa pula itu?”
”Tak pernahkah dalam hidupmu, kau mendapatkan pencerahan tentang roh yang dilahirkan kembali?”
”Kadu, yang kutahu, saat ini kepalaku sakit sekali mendengar kata-katamu yang aneh ini.”
”Hahahahaha… Atau jangan-jangan kau dulu seekor katak hahahahaha...”
”Bicaramu mirip orang gila, Kadu. Mari, kita makan ayam hutan ini. Ini lebih nyata. Gurih.”
Seusai pembicaraan itu, si pemburu itu –entah bagaimana– berhasil melarikan diri dari penjara, meninggalkan Kadu, meninggalkan segala hukuman yang sama sekali bukan atas nama kesalahannya.
Gelap. Kabut pekat turun. Angin mati. Langit tak berbintang sama sekali. Aku di sini. Sendiri, hanya berdua dengan napasku, satu-satunya hal yang bisa kupercaya bahwa diriku masih ada. Sepi. Bahkan derik serangga malam pun tak ada. Bisu. Semua beku. Apa yang tengah terjadi?
Mengapa tiba-tiba semua seperti ini? Aku seperti buta dan telingaku hanya menangkap suara napasku sendiri. Inikah kematian yang sering dibacakan orang-orang di rumah-rumah suci itu. Dulu aku pernah mencuri dengar –karena aku tak akan diperbolehkan duduk bersama anak-anak dari kasta yang lebih tinggi. Kastaku, entah apa namanya ini, membuatku tak mungkin mengetahui ajaran lontar.
Ya, dalam pendengaranku yang menurutku luar biasa tajam itu, aku mendapatkan gambaran bagaimana kematian itu datang kepada kita. Rasanya, tak berbeda jauh dari apa yang sedang kualami saat ini. Tidak. Kurasa aku belum mati, dan ini bukanlah saatnya.
Aku percaya pada keyakinanku sendiri bahwa napasku masih bagus dan hanya karena kepanikanku saja pikiranku mengembara ke berbagai hal. Tidak, aku tak mau mati. Aku harus mencari pohon karena di permukaan tanah, dalam keadaan tak bisa melihat atau mendengar ini, aku bisa menjadi makanan harimau.
***
Oh, mengapa malam mendadak pekat seperti ini? Mataku seperti tertutupi lumpur. Ah, tidak... aku terlalu membesar-besarkannya. Aku masih bisa melihat batang dan daun-daun ini meskipun harus kulihat dari jarak kurang dari sejengkal. Ya, aku tidak buta, hanya saja malam ini memang terlalu keparat pekatnya.
Kurasa dahan ini cukup tinggi. Ah, benarlah. Aku bisa duduk dengan nyaman di sini, dan hei... bukankah itu permukaan telaga? Telaga? Hahaha berarti di sinilah sebaiknya aku mengincar hewan-hewan yang akan minum. Ah, mataku tak mampu menembus gelapnya malam ini. Semua hanya bayang-bayang sangat samar-samar. Kukutuki malam yang menjebakku. Kukutuki malam yang menggelapi mataku. Kukutuki malam yang membuatku harus jauh dari anak-istriku. Kukutuki malam yang keparat ini.
Aku harus berjaga semalaman, sampai paling tidak terang tanah esok hari. Aku tak mau tertidur dan jatuh menjadi mangsa harimau. Aku pemburu dan bukan makanan hewan buruanku.
***
Kupetik daun. Kucium. Ah, aromanya mirip daun maja. Apakah ini memang pohon maja? Apa peduliku? Aku ingat, ketika kecil dulu, aku sering diajak bapakku ke pelabuhan.
Di pelabuhan aku mengenal benda-benda aneh, megah, besar, dan mampu mengangkut barang dan manusia. Kata bapak, itulah yang disebut kapal.
”Mana rodanya?” tanyaku.
”Kapal ini bergerak di atas air. Mengapung. Jadi tak beroda.”
”Bagaimana jalannya?”
”Bila tak ada angin, kapal ini digerakkan oleh dayung. Kaulihat, Anakku, yang di sana itu...”
Aku melihat benda panjang dengan ujung pipih melonjong. Itulah dayung.
”Itu? Kecil sekali?”
”Hahaha... ya, jika dayung yang itu untuk perahu, bukan untuk kapal. Dayung kapal lebih besar.”
”Kalau ada angin?”
”Maka kapal ini akan membentangkan layarnya.”
”Layar?”
”Itu, yang digulung di tiang-tiang besar dan tinggi itu... Angin akan meniupnya dan kapal akan berlayar.”
Entah apa saja yang keluar dari bibir bapakku saat itu, aku tak ingat lagi. Yang kuingat adalah diriku menaiki kapal dan berlayar ke negeri-negeri jauh. Kulihat kesibukan di pelabuhan. Orang-orang, termasuk bapakku, memunggah barang ke kapal. Turun berderet-deret. Naik berderet-deret dengan pundak memanggul barang. Seperti semut beriring. Angin laut menyibak-nyibak rambutku. Udara kebebasan yang luar biasa kurasakan saat itu.
Kulemparkan sehelai daun ke telaga.
Kapalku berlayar mengikuti tujuan yang ditetapkan sang nakhoda. Barang-barang dikirimkan ke negeri-negeri jauh di seberang sana.
Sehelai lagi daun melayang ke telaga, mengalir perlahan entah ke mana.
Ah, perjalanan yang luar biasa. Kata bapakku, yang kuingat, di laut banyak ikan besar. Ada yang bisa berlompatan, mengiringi kapal-kapal.
Aku tersenyum mengenang itu, lalu kulemparkan lagi sehelai daun maja. Dalam pekat malam aku seakan bisa melihat helai daun itu melayang, kemudian setelah mencapai permukaan air, mengambang dan bergerak perlahan, entah mengapa.
”Sejauh-jauh kapal berlayar, dia harus merapat di pelabuhan,” ujar kakekku. Di malam penguburan bapak saat itu, aku sempat menceritakan kembali betapa gembiranya aku diajak bapak ke pelabuhan. Kakek paham benar betapa dekatnya aku dengan bapakku.
”Untuk apakah merapat kalau akhirnya pergi lagi?”
”Demikianlah perjalanan hidup, Cucuku. Kau hanya bisa mengatakan pergi kalau kau berangkat dari suatu tempat. Dan kau bisa mengatakan pulang kalau kau menuju sesuatu yang kautinggali…”
Ya, tapi saat ini aku tak bisa pulang. Kulemparkan sehelai daun dan kuharap aku bisa segera pulang.
Mataku memberat. Kuraih beberapa helai daun. Kepada setiap daun aku bertanya tentang apa saja yang telah disaksikannya selama berada di sini. Tetapi kebisuannya yang luar biasa ini memang menjengkelkan. Kulemparkan dia ke air dan biarlah hanyut seperti nasib yang lainnya.
Ya, mungkin juga seperti nasibku kini. Kubiarkan hanyut entah sampai ke mana.
Aku terjebak dalam malam aneh.
Mungkin inilah saatnya alam memintaku untuk duduk diam dan merenungkan diri. Mungkin memang inilah saatnya alam memintaku melakukan sesuatu karena selama ini aku hanya memintanya membantuku?
Mungkin memang inilah saatnya aku tidak boleh mempertanyakan apa-apa. Aku harus diam. Aku harus tuli. Aku harus buta. Agar semua kelemahanku ini mampu memberikan ruang luas bagi hati kecilku yang selama ini terkungkung berbagai kemarahanku.
Barangkali memang inilah saatnya. Barangkali memang malam sedang berbicara padaku.
Kulemparkan daun ke air. Dan aku mencoba tak berpikir apa-apa. Kuserahkan semuanya entah kepada siapa. Aku hanya merasakan diriku seorang bayi merah yang bahkan hanya bisa menangis dan meminta untuk dikasihi dan dicintai. Tak lebih dan tak kurang.
Perlahan-lahan rasa lapar ini menghilang. Rasa dingin ini melenyap. Rasa takut pun sirna. Kurasakan diriku pun lenyap. Kurasakan diriku adalah helai-helai daun yang melayang, menyentuh permukaan air, dan menyerahkan diri sepenuhnya pada aliran air akan dibawa ke mana. Tak peduli apakah akan sampai pada suatu tempat, atau bahkan tenggelam ke dasar sana. Tak ada keinginanku untuk melawan. Kukosongkan diriku. Tak ada lagi kemauan, tak ada lagi keinginan, tak ada lagi aku.
Begitulah. Hanya beberapa waktu kemudian aku menangkap warna tangisan dan kesedihan yang mendalam dari istri dan lima anak si pemburu itu. Sampai kini kukisahkan, tak bisa kupahami, apakah malam itu sebenarnya dia sudah berpamitan kepada dunia ini? Aku tak tahu, dan aku juga bukan tabib yang bisa menyatakan penyakit yang merenggut nyawanya. Haruskah sakit itu penyebab mati? Haruskah tua penyebab mati? Semua misteri dan aku –keheningan– tak punya jawaban. (*)
---
YANUSA NUGROHO
Penulis kelahiran Surabaya, Jawa Timur. Karya-karyanya antara lain Bulan Bugil Bulat (1989), Cerita di Daun Tal (1992), Segulung Cerita Tua (2002), Di Batas Angin (2003), Manyura (2004), Boma (2005), dan Setubuh Seribu Mawar (2013). Peraih Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa untuk Boma.