Rabu, 7 Juni 2023

Ajakan Herta Muller Memasak Cerita

- Sabtu, 18 Maret 2023 | 19:30 WIB
COVER BUKU
COVER BUKU

Kumpulan cerpen dengan cerita-cerita yang pendek, sangat pendek. Membacanya seperti membaca esai reflektif. Atau, pada dimensi lain, ini memang esai?

HERTA Muller ke pasar dan membeli 19 sayur mentah: cerita pendek, kemudian ia masukkan ke lemari es: Nadir. Ia menyimpan 19 bahan di sana. Herta Muller mungkin ingin sekali memasak dan menyajikannya pada para penikmat: pembaca yang budiman. Alih-alih repot memasak, peraih Nobel Sastra 2009 itu menyerahkan segala bahan, atau paling tidak sebagai bahan: ”Bak Mandi Swabia”, ”Keluargaku”, ”Lelaki dengan Kotak Korek Api”, ”Model Rambut dan Kumis ala Jerman”, ”Para Penyapu Jalan”, ”Pendapat”, ”Taman Hitam”, dan ”Hari Kerja” untuk dimasak khalayak ramai dengan resep bumbu mereka sendiri.

Beberapa cerpen yang disebut di atas ditulis dengan sangat ringkas dan pembaca cerita pada umumnya akan, atau mungkin tidak suka cerita semacam itu. Tapi, begitulah cerita itu tersaji.

Selanjutnya tugas pembaca, lebih khusus lagi pembaca yang lapar akan memasak semua bahan-bahan itu dan melahapnya.

***

Membaca kumpulan cerpen di buku ini seperti membaca esai reflektif. Membicarakan keseharian yang dihadapi orang-orang. Menjalani hidup apa adanya tanpa harus banyak mengeluh. Atau, memang buku kumpulan cerpen ini pada dimensi lain adalah esai?

Ia berusaha menyajikan masalah, menjalaninya, dan nyaris tanpa berusaha untuk menyelesaikan cerita yang dibangun. Menyajikan bahan ayam potong lengkap dengan bumbunya, tapi tidak berusaha untuk memasaknya.

Ceritanya pendek, bahkan sangat pendek. Kalau cerpen-cerpen koran Indonesia berkisar 6–7 halaman, cerpen dalam buku ini jauh lebih pendek, bahkan hanya satu halaman. Misalnya, ”Hari Kerja”. Ia hanya menceritakan seorang tokoh yang bangun dari tidur, lalu mandi dan sarapan, setelahnya berangkat kerja dan menghadapi pekerjaan.

Nyaris hanya peristiwa kecil. Bahkan bisa dibaca sebatas sambatan penulis, seorang penulis melihat suatu hal, atau perasaan yang ia rasakan saat mengalami suatu peristiwa.

Tokoh aku hanya bercerita ritual ia memulai hari kerja: bangun tidur, lalu mandi, sarapan, dan pergi ke kantor. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi di kantor. Ia hanya memberi gambaran bahwa ia seorang pekerja dan melakukan aktivitas itu setiap hari di luar hari libur.

Namun, sajian yang tidak lengkap menampakkan dimensi lain yang menjadikannya menarik. Herta Muller seperti ingin kita sendiri sebagai pembacalah yang melanjutkan ceritanya. Ia ingin pembaca menulis sendiri atau sekadar membayangkan bagaimana cerita itu harus diakhiri. Ia menyediakan bahan dan menyuruh kita untuk, sekali lagi, memasaknya.

***

Nyaris tidak terjadi dialog. Aku narator, tokoh utama dalam cerita, berhasil menggambar dengan jelas apa yang ia alami dan ia lihat. Apa yang ia rasakan dan apa yang ia perbuat. Namun, nyaris tidak ada dialog yang tampak, kecuali narator sendirilah yang menceritakan dialognya sendiri dengan orang lain.

Dalam ”Pidato Pemakaman” tidak ada dialog. Tokoh aku hanya dicerca oleh si cebol karena peninggalan ayahnya yang dianggap buruk: pembunuh. Membunuh banyak warga di saat perang.

Di dalam ”Pir Busuk”, narator hanya berperan sebagai bocah yang polos dan tak mengerti apa-apa. Bahkan, di ”Nadir” pun tidak ada dialog. Si aku narator sibuk bercerita panjang sekali sampai menghabiskan 102 halaman. Dia berdialog pada dirinya sendiri dan merefleksikan banyak hal.

Kalimat singkat, atau paragraf, yang ia sajikan di dalam nadir sebagai wujud refleksi misalnya:

”Sejak ada aku, payudara ibu kendur, sejak ada aku, kedua kaki ibu sakit-sakitan, sejak ada aku, perut ibu bergelambir, sejak ada aku, ibu menderita wasir dan merintih tersiksa kesakitan setiap duduk di atas kloset (halaman 17).”

Kalimat-kalimat yang sarat makna. Ia menggambarkan perubahan-perubahan fisik pada ibunya saat ia lahir. Seorang ibu mengalami perubahan setelah melahirkan.

Herta Muller juga mengajak pembaca bermain logika seperti paragraf pendek dalam ”Harian Kerja”: ”kemudian, aku pergi ke kamar mandi, menyantap sepotong teh dan minum segelas roti.”

Penulis semacam ingin mengajak masuk pada penataan ulang bahasa, menukar apa yang telah baku. Atau, ia setidaknya ingin memberikan kelenturan dan kekuatan makna dari bahasa adalah memainkannya tanpa harus berpacu pada struktur yang sudah baku?

***

Seperti halnya paparan Prof Djoko Saryono dalam ”Bincang Kumcer Nadir, Herta Muller” pada 8 Desember 2022 lalu, membaca kumpulan cerpen Herta Muller ini tidak bisa disamakan dengan membaca cerita pendek pada umumnya yang alur atau plotnya jelas, terukur, menyajikan satu konflik, dan tokoh-tokoh di dalamnya berusaha menyelesaikan konflik itu.

Ini sama sekali lain. Bahkan, menurut pembacaan Djoko Saryono, membaca kumcer ini seperti melihat album foto atau montase. Dengan paragraf yang pendek-pendek dan bahkan hampir tidak terikat satu sama lain.

***

Setelah bahan-bahan itu kita masak, selanjutnya kita makan. Mungkin ada yang enak: enak dibaca dan menarik, tidak terlalu enak, atau bahkan sama sekali tidak enak. Namun, sebab rasa lapar masih membuat perut keroncongan, saya (dan kita pembaca) akan lanjut melahap meski mungkin tidak akan menghilangkan rasa lapar dan di kepala penuh dengan gambar yang tak selesai: apa istimewanya cerita ini? (*)

---

  • Judul: Nadir

  • Penulis: Herta Muller

  • Penerjemah: Tiya Hapitiawati

  • Penerbit: Taman Moooi Pustaka

  • Terbit: Cetakan pertama, September 2022

  • Tebal: VII + 198 halaman

  • ISBN: 978-623-98640-6-4


---

*) JANIKA IRAWAN, Penulis pegiat literasi, tinggal di Jogjakarta

 

Editor: Ilham Safutra

Tags

Terkini

Jamu Oplosan Gaya Para Penyair

Minggu, 4 Juni 2023 | 08:08 WIB

Perseteruan Wacana Dangdut Koplo

Minggu, 28 Mei 2023 | 06:00 WIB

Motif Kenangan Murakami

Minggu, 21 Mei 2023 | 12:02 WIB

Undangan Kembali ke Nalar

Minggu, 14 Mei 2023 | 06:00 WIB

Dendam sebagai Penggerak Cerita

Minggu, 7 Mei 2023 | 09:00 WIB

Javanologi: Mengangkat dan Mengabaikan Jawa

Sabtu, 29 April 2023 | 14:05 WIB

Melawan Ruang Tunggu Kematian dengan Daya Hidup

Sabtu, 8 April 2023 | 15:00 WIB

Manusia, Robot, dan Robot Korslet

Sabtu, 25 Maret 2023 | 16:25 WIB

Ajakan Herta Muller Memasak Cerita

Sabtu, 18 Maret 2023 | 19:30 WIB

Merengkuh dan Direngkuh ”Djaman Kemadjoean”

Minggu, 5 Maret 2023 | 07:00 WIB

Prosa yang Berima ala Sony Karsono

Sabtu, 25 Februari 2023 | 18:19 WIB

Keganjilan sebagai Lokus Cerita

Minggu, 19 Februari 2023 | 08:02 WIB

Yang Fana Adalah Kasbulah, Matematika Abadi

Minggu, 12 Februari 2023 | 08:47 WIB

Pelarian Bocah Kota ke Africa van Java

Minggu, 5 Februari 2023 | 07:48 WIB

Nyanyi Sunyi sang Putra Ranggalawe

Minggu, 29 Januari 2023 | 07:04 WIB

Raffles dan Residu Kekerasan Budaya

Minggu, 22 Januari 2023 | 07:38 WIB

Keliling Dunia dalam 132 Halaman

Minggu, 15 Januari 2023 | 06:30 WIB
X