Dunia kecil yang dibangun Margareta dalam buku ini merepresentasikan dunia kekinian-kompleks yang tak pernah lepas dari penghakiman terhadap perempuan.
---
ICHA mulai merasa profil Beyonce yang suka membaca bukanlah langkah tepat untuknya memulai kehidupan mencari jodoh di dunia maya. Dunia maya hanyalah duplikasi realitas yang lebih instan menggamparnya bahwa tidak mungkin anak seorang kiai besar Nusantara harus mencari jodoh di aplikasi online dating. Tentu jodohnya sudah mengantre. Dan tentu sosoknya khatam Alquran serta lulusan kampus Al-Azhar.”
Demikianlah, Margareta Astaman melalui The Overqualified Leftover Club menyentak saya. Kutipan yang berasal dari halaman 108 itu hanyalah satu dari sekian banyak narasi dan gugatan terhadap pandangan masyarakat kepada perempuan-perempuan yang belum juga menikah karena ”dicurigai” terlalu pintar, terlalu berpendidikan, terlalu sukses, dan setumpuk terlalu lainnya.
Dengan lipstik, bedak, sepatu, tas –toga dan gulungan ijazah–, dan parfum yang menghiasi sampulnya, plus judulnya yang berbahasa Inggris, mungkin Anda akan berpikir bahwa buku ini tak ada bedanya dengan novel-novel pop-urban lain. Pasti kisahnya hanya seputar kehidupan perempuan perkotaan dengan urusan percintaannya. Di halamannya pun bertebaran banyak istilah dan dialog berbahasa asing.
Benarkah demikian?
Jawabannya: tidak juga. Buku setebal 242 halaman ini bercerita lebih dari itu, juga perihal benarkah perempuan-perempuan yang kelihatannya betah melajang dan asyik dengan hidupnya itu sama sekali tidak memiliki keinginan untuk bertemu seseorang yang tepat dan menikah?
Buku ini mempertemukan kita dengan Dr. Jessica Winoto (Jess), Joana Rompies (Jo), Chairunnisa Chalid (Icha), dan Hanum Ikkhlasia (Hanum) yang bernasib sama: belum menikah, hampir ”perawan tua” menurut standar kelaziman masyarakat Indonesia.
Jess, Jo, Icha, dan Hanum mewakili kriteria perempuan ideal: Jess yang berpendidikan (sedang mendapat tawaran S-3 Bioteknologi Oxford), Jo yang sukses berkarier di bidang konstruksi baja, Icha yang bibit-bobot-bebetnya tidak lagi diragukan, dan Hanum yang PNS di salah satu kementerian. Jess, Jo, Icha, dan Hanum berasal dari empat budaya berbeda: Jess dibesarkan dalam budaya China yang Jawa, Jo lahir di kultur Manado-Ambon yang kental, Icha dari keluarga kiai ternama Nusantara, dan Hanum yang Minang.
Perbedaan itu membawa kompleksitas masalah yang mengerucut pada satu hal: mereka harus menikah, bagaimanapun caranya: mengikuti perjodohan, mencoba peruntungan di situs kencan daring, menemui orang pintar, sampai ruwat di pesantren. Status di KTP mereka harus berubah menjadi kawin.
Di sepanjang upaya menemukan jodoh itulah, kita akan menemukan dialog satire. Pada adegan ketika Jo ke dokter kandungan, misalnya, ia langsung dihakimi si dokter yang seorang konservatif akut. Alih-alih operasi pengangkatan kista dan miom, Jo disarankan untuk menikah lalu hamil dan punya anak karena kista ataupun miom konon akan ikut luruh ketika melahirkan.
Padahal, jika dipikir-pikir, nyeri operasi akan hilang dalam enam minggu. Menikah jauh lebih berisiko. Tidak ada ukuran waktu pasti berapa lama nyeri dan derita harus ditanggung ketika menikah dan membesarkan anak dengan orang yang ”salah”.
Di halaman-halaman awal, narasi satire itu sudah disajikan ke hadapan pembaca dengan gamblang. Bagaimana, misalnya, masyarakat menganggap biasa-biasa saja prestasi yang diperoleh Jess, tetapi akan menjadi pencapaian luar biasa jika prestasi itu diraih laki-laki, atau jika prestasi itu diperoleh perempuan yang telah menikah dan punya anak, perempuan itu akan dianggap superwoman. Narasi pedas itu juga muncul ketika Icha mencoba ”peruntungannya” di situs kencan daring. Nama besar ayahnya (seorang kiai ternama) yang melekat di belakang namanya membuat akun Icha diragukan keabsahannya, dicap mendompleng nama terkenal, dan berakhir dilaporkan sebagai akun mencurigakan.
Meskipun sangat provokatif, judul buku ini sesungguhnya tidak berlebihan. Kata leftover dengan tepat menggambarkan bagaimana para perempuan dengan prestasi membanggakan tetapi –sayang– belum menikah diibaratkan makanan sisa.
Istilah overqualified yang umumnya dilekatkan pada calon karyawan yang melamar pekerjaan di bawah standar gelar pendidikannya kini dipakai untuk melabeli para perempuan yang kebangetan: kebangetan suksesnya, tajirnya, pendidikannya, bibit, bebet, dan bobotnya. Joey Comeau menggunakan kata ini untuk kumpulan cerita pendeknya yang berbentuk surat promosi (cover letter) ke puluhan perusahaan ternama, berisi humor gelap seputar dampak kehadiran perusahaan-perusahaan itu di dunia.
Dunia kecil yang dibangun Margareta dalam buku ini merepresentasikan dunia kekinian-kompleks yang tak pernah lepas dari penghakiman terhadap perempuan. Meski teknologi semakin mudah mengantarkan ke hadapan kita hal-hal yang tak mungkin di masa lalu, perempuan tetap dituntut bisa menjalani tiga peran: istri yang patuh, ibu yang penyayang, dan ibu rumah tangga yang telaten. Seolah-olah untuk tiga hal itulah perempuan dilahirkan. Monalisa Smile, film garapan Mike Newell tahun 2003, juga menggugat penghakiman serupa.
Ada hal yang sedikit mengganjal saya di buku ini: dialek Jo dan mamanya terkesan tidak yakin mau memilih antara logat Manado atau Ambon, juga penggunaan kata nggak (orang Timur biasanya mengatakan tidak), dan bahasa gaul Jakarta lain yang dominan menyelip dalam percakapan mereka yang berdialek Manado-Ambon.
Selain itu, pikiran-pikiran keempat tokohnya masih terdengar diucapkan dengan nada bicara yang sama, terutama ketika mereka berbicara dan berpikir dalam bahasa Inggris. Meskipun demikian, novel yang diangkat dari kisah nyata ini masih asyik (dan membuat merenung) untuk dinikmati.
Satu ide utama yang ingin disuarakan penulisnya, terlepas dari status kawin di KTP, ada hal-hal lain yang pantas dirayakan: keberanian untuk keluar dari hubungan yang toksik, keluar dari zona nyaman, untuk jatuh cinta lagi meskipun telah berkali-kali gagal, dan memiliki seseorang yang menerima kita apa adanya. (*)
---
*) DARMAWATI MAJID, Penulis esai dan cerpen, menginap di Gorontalo untuk sementara waktu
---
- Judul: The Overqualified Leftover Club
- Penulis: Margareta Astaman
- Penerbit: Buku Kompas
- Tahun terbit: 2022
- Jumlah: vi + 242 halaman
- ISBN: 978-623-346-708-7