Hal-hal yang erotis dalam cerita-cerita di buku ini, alih-alih membuat kita jengkel, justru menjadi loncatan untuk menguak isu-isu yang sebenarnya.
---
BUKU ini, Kode Etik Laki-Laki Simpanan, oleh Prof Agustinus Wawor disebut sebagai salah satu sastra yang akan dibenci pembacanya. Bagaimana cara membenci buku kumpulan cerpen karya Robertus Aldo Nishauf ini? Sebutkan di mana letak yang akan mencuatkan kebencian itu?
Saya rasa membaca karya sastra hanya bisa sukses jika pembaca melebur bersamanya, masuk dalam cerita, dan menghilangkan keakuan yang hanya melihat dari satu sudut pandang itu. Mari kita masuk.
Hampir seluruh cerita menyajikan hal-hal yang erotis dan oleh sebab itu pula menyeret kita masuk dan merasakan adegan-adegannya. Mulai bercinta, berciuman, masturbasi, hingga menjadi penulis yang tahu. Pembaca akan merasakan adegan-adegan dalam cerita, dari adegan satu ke adegan lain, dari ruang satu ke ruang lainnya.
Hal-hal yang erotis dalam cerita-cerita di buku ini, alih-alih membuat kita jengkel, atau bahkan menikmatinya dan membuat kita senyum-senyum kecil: betapa indahnya kejadian itu, justru menjadi loncatan untuk menguak isu-isu yang sebenarnya.
Seperti dalam cerita pertama: Endah Galuh Dalimah. Tokoh saya dalam cerita ini saat kali pertama melihat Endah di koridor ia begitu terpukau: ”…ia berjalan sambil membusungkan dada. Ia kelihatan sangat percaya diri, lingkar bajunya jatuh dan dadanya mengintip dalam batas yang cukup untuk membikin penasaran. Mata setiap laki-laki mengikutinya, dan ketika ia menungging di koridor untuk mengambil pita rambutnya yang terjatuh, tak bisalah saya tidak jatuh cinta. Betisnya putih berseri dan rambutnya terjun di depan hidungnya.” Dan ia memberanikan diri ala seorang penyair, menyodorkan tangan dan mengajaknya berkenalan. Ia menyebutkan nama, namun Endah menatapnya dengan tatapan jijik.
Tatapan pertama tokoh saya yang erotis pada Endah bukan isu utama –tanpa mengecualikan apa pun. Sebaliknya, reaksi Endah pada tokoh sayalah yang menjadi fokus isu. Hal itulah yang kemudian menunjukkan betapa rasisnya seseorang dengan ciri fisik tertentu dengan ciri fisik lainnya yang dianggap tidak elok. Sesuatu yang merendahkan begitu nyata terjadi.
***
Dari sepuluh cerita, mungkin hanya tiga yang tidak erotis: Tinus yang Tulus, Memoar Penyair Aldo, dan Vera dan Puisinya. Selebihnya adegan bercinta, mempertontonkan tubuh yang seksi, dan adegan masturbasi yang membuat Ivan Narakleto gagal ikut ujian skripsi.
Yang membuat kumpulan cerpen ini menarik, tiap-tiap cerita menyajikan fragmen-fragmen sarkasme mengenai isu-isu aktual dan tidak berlebihan. Dalam cerita Memoar Penyair Aldo, seorang pastor menyebut nama Tuhan saat melihat sungai yang kotor.
Di pasar buku seorang pastor mengumpat: ”apa-apaan ini? Mengapa pasar buku kalian penuh dengan buku-buku bajakan? Apakah pemerintah Indonesia tidak melakukan sesuatu? Apakah masyarakat terlalu tolol sehingga menyukai barang bajakan?!”
Sarkasme-sarkasme yang ditampilkan bukan saja membuat kita mengatakan: benar sekali, memang begitu. Tapi juga tidak menimbulkan reaksi yang berlebihan dari pembaca, misalnya mengatakan penulisnya terlalu membawa emosi dan menghasilkan tulisan yang sepenuhnya menyajikan emosi penulis. Hal-hal yang erotis banyak disajikan di dalam cerita-cerita di buku ini. Menyinggung-nyinggung penulis pemula yang sok tahu. Apakah itu semua pengalaman sang penulis?
Mengaitkan penulis terlalu jauh dengan karyanya, bagi saya, tidak elok: akan membawa pada kesimpulan bahwa penulis hanya mencatat pengalamannya. Dan memang Aldo banyak memakai namanya sendiri dalam tulisannya. Walaupun di sampul belakang buku ini ada klaim cerita dalam buku ini sebagai pengalaman langsung penulis, apakah pengalaman langsung bisa begitu saja dijadikan tulisan?
Amat ditampar oleh guru SD karena tidak mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Namun, apakah cerita Amat akan bagus bila hanya menuliskan ia ditampar karena ia tak mengerjakan PR di rumah karena sibuk main game, misalnya.
Alih-alih cerita ini sebagai pengalaman pribadi yang ditulis ulang apa adanya, ini suatu pengalaman –jika membenarkan klaim di sampul belakang buku– yang direnungkan dan disajikan dalam bentuk cerita pendek yang meyakinkan pembacanya. Apakah kejadian faktual akan sedramatis itu? Apakah alurnya akan semenarik itu? Tentu tidak.
Hal-hal yang sarkastis dan hal yang berbau erotis, seks, tampaknya bukan sebab penulisnya hanya menyajikan emosi dan pengalaman semata. Tapi, ia berhasil menangkap hal-hal yang memang terjadi di masyarakat?
Alih-alih seperti apa yang disebut Prof Agustinus Wawor bahwa buku ini adalah karya sastra yang akan dibenci pembacanya, malah sebaliknya buku ini akan menjadi pijakan bahwa segala hal dapat dibicarakan dalam karya sastra. Hal yang erotis dalam pandangan negatif diramu sedemikian rupa hingga menjadi refleksi bahwa kita hanyut dalam budaya semacam itu.
Membicarakannya, membahasnya, dalam bentuk karya sastra atau apa pun, adalah cara yang paling elok, alih-alih menjadikannya tabu dan merasa berkata jujur adalah kesalahan. (*)
---
- Judul: Kode Etik Laki-Laki Simpanan
- Penulis: Robertus Aldo Nishauf
- Penerbit: Marjin Kiri
- Cetakan: Pertama, September 2022
- Tebal: vi + 101 halaman
- ISBN: 978-602-0788-35-7
*) JANIKA IRAWAN, Penulis asal Lahat, Sumatera Selatan, yang bermukim di Sleman, Jogjakarta