Cerita dari Brang Wetan telah mengalami dekonstruksi yang cukup masif dari cerita induknya yang merupakan lakon-lakon ludruk. Ada hal-hal yang baru dimunculkan dan tidak sedikit pula yang dilenyapkan.
---
APA yang terjadi jika lakon-lakon ludruk diadaptasi menjadi cerita-cerita pendek? Setidaknya inilah yang terlintas dalam pikiran saya ketika menyelesaikan membaca pengantar Cerita dari Brang Wetan. Dan, lembar-lembar berikutnya, saya kira, adalah gelanggang sekaligus medan pertaruhan.
Menuliskan cerita yang pernah ada adalah sebuah pertaruhan besar. Sebab, bukan hanya soal proses kreatif menyajikan cerita itu ke pangkuan pembaca. Namun, dan ini yang lebih utama, adalah soal diterima atau ditolaknya sajian itu oleh pembaca.
Bagi pembaca yang telah akrab dengan ludruk, barangkali akan kebingungan mencari lakon Sarip Tambak Oso, Sakerah, Suminten Edan, Sogol Pendekar Sumur Gumuling, Sawunggaling, Branjang Kawat, dan sebagainya dalam buku ini. Sebab, cerita dalam kumpulan cerpen ini dikemas dalam judul-judul yang lebih kekinian. Sebut saja Jembatan Masa Lalu, Hantu Kebun Tebu, Anatomi Kegilaan, Mikhail Hitam, dan Berkawan Kerbau.
Cerita dari Brang Wetan saya kira telah mengalami dekonstruksi yang cukup masif dari cerita induknya. Ada hal-hal yang baru dimunculkan dan tidak sedikit pula yang dilenyapkan.
Baca saja cerita Mikhail Hitam yang berkisah tentang Brandal Lokajaya. Penulis tidak serta-merta nyusu pada cerita lisan di masyarakat maupun dari panggung ludruk tentang perjalanan spiritual Raden Sahid; dari berandalan (baca: perampok jalanan) hingga bertemu dengan Kanjeng Sunan Bonang dan akhirnya menjadi Sunan Kalijaga.
Namun, penulis memugarnya, menampilkan perspektif baru melalui pengakuan-pengakuan tokoh-tokoh rekaan.
”Semua yang berada di Keraton Tuban bercerita: Sejak Raden Sahid diusir dari Tuan, para pengawal berhasil menangkap sejumlah sosok hitam yang menyatroni rumah penduduk malam-malam. Raden Sahid bukan salah satu dari mereka.” (Mikhail Hitam, halaman 70)
Salah satu hal dari lakon ludruk yang hilang dan tampak demikian mencolok dalam Cerita dari Brang Wetan adalah humor. Penulis membawakan ceritanya dengan sangat serius.
Ruang humor dalam ludruk yang cukup luas dipangkas habis hingga tersisa sangat sedikit. Sisa-sisa itu mungkin bisa pembaca dapati dalam cerita Sari Mimpi, ”Jaka Truna jatuh cinta dalam mimpi. Maka ia wegah terjaga.” (Sari Mimpi, halaman 47)
Juga dalam Anatomi Kegilaan, ”Kepada semua orang, Suminten berkata bahwa urat-urat setiap daun di Ponorogo melukiskan paras Subroto, keras bebatuan menyimpan lekuk liku tubuh Subroto, matahari tidak terbit kecuali untuk menyinari Subroto, bulan dan hujan turun untuk membelai Subroto, udara segar berkat dengus napas Subroto.” (Anatomi Kegilaan, halaman 93)
Terlepas dari hilangnya humor dalam penyajiannya dan tampil lebih serius, Cerita dari Brang Wetan masih menggenggam teguh semangat perlawanan yang dikumandangkan dalam setiap lakon ludruk. Penulis seperti sengaja tidak memadamkannya.
Betapapun lakon ludruk telah bermetamorfosis menjadi prosa pendek, ia tak kelihangan gen bawaannya sebagai karya yang lahir di tengah wong-wong cilik. Ia tetap menyuarakan perlawanan terhadap penjajah dan penguasa yang lalim.
”Jika hari ini aku mati, rahasiakan kematianku agar orang-orang mengira aku masih hidup dan terus bertempur melawan Belanda.” (Ikan dan Abu, halaman 133)
***
Betapapun cerita-cerita dalam Cerita dari Brang Wetan dibasahi oleh kucuran wahyu dari lakon-lakon ludruk, Cerita dari Brang Wetan telah menjelma cerita yang berdiri sendiri; ia layak dijagokan dalam gelanggang adu tanding melawan lakon-lakon ludruk yang sungguhan.
Meskipun tidak fair mempertandingkan cerita pendek dan lakon ludruk, saya kira hal ini sesekali perlu diuji sekadar untuk melihat taji mana yang lebih tajam dari keduanya.
Selain itu, melemparkan lakon ludruk ke gelanggang cerpen merupakan hal baru yang patut diapresiasi di tengah meruahnya naskah-naskah yang menginduk pada Mahabarata dan Ramayana.
Ketika pementasan ludruk saat ini sudah dianggap usang, menampilkan ludruk dalam kemasan cerita pendek merupakan sebuah jalan lain untuk menyelamatkan (baca: mengabadikan) lakon-lakon ludruk itu sendiri. Bukan tidak mungkin, ketika suatu saat ludruk telah punah dan hendak dihidupkan kembali, Cerita dari Brang Wetan bisa saja menjelma embrio yang lama dibekukan dan dapat menjadi bibit kehidupan baru bagi ludruk di kemudian hari.
Oh ya, ada hal yang hampir saya lewatkan. Melalui Cerita dari Brang Wetan, pembaca tak perlu menunggu berjam-jam sekadar untuk menyaksikan lakon ludruk dipentastuntaskan. Pembaca hanya perlu dua–tiga jam untuk menuntaskan sekian banyak lakon ludruk sekaligus. Dan, bukankah memang itulah alasan sebuah cerita pendek dituliskan?
Satu hal lagi dan mungkin jadi pertaruhan terakhir, jika seni pertunjukan ludruk pernah memiliki panggung dan masa emasnya di belantara kesenian Indonesia, apakah Cerita dari Brang Wetan –yang menginduk pada lakon ludruk– juga mampu mendapatkan panggung emasnya di gelanggang sastra Indonesia? Kita tunggu saja nanti. (*)
---
- Judul: Cerita dari Brang Wetan
- Penulis: Dadang Ari Murtono
- Penerbit: DIVA Press
- Cetakan: Pertama, Agustus 2022
- Tebal: 168 halaman
- ISBN: 978-623-293-715-4
*) UMAR AFFIQ, Pegiat Komunitas Sastra Malam Minggu di Tuban