Puisi-puisi Ahda dalam kumpulan ini terasa tertib menjaga diksi. Ia seperti mengencangkan setiap kata, berharap tak ada celah yang mubazir antara satu kata dan lainnya.
---
ADALAH almarhum penyair Sapardi Djoko Damono yang pernah mengurai bahwa karya sastra kerap menyisakan penafsiran yang luas. Lanjut Sapardi, karya sastra bermaksud mengatakan ”begini”, tetapi dengan cara yang ”begitu”.
Karena itulah, makna dalam karya sastra merupakan medan tafsir yang luas, panjang, dan dipenuhi sejumlah enigma. Pun ihwal puisi, dengan teksturnya yang singkat dan padat, tetapi mampu membuka pintu-pintu kemungkinan lain. Wilayah pengembaraan puisi pun pada akhirnya terbuka lebar dengan menjemput pengetahuan di benak para pembacanya.
Ahda Imran, seorang penyair yang juga wartawan, telah lama bergulat dengan dunia puisi itu. Dalam pelbagai puisinya kerap kali kita diajak menuntun ”wilayah” penciptaan yang lain. Barangkali sesekali dia gemas dan cemas terhadap situasi terkini, yang turut pula disentilnya dalam sejumlah puisi.
Namun, puisi-puisinya tak pernah terjebak dalam hal-hal klise, justru membedah persoalan ke bagian yang lain. Ia seperti meraba-raba segala kecemasan itu, lalu membungkusnya dengan untaian diksi yang lebih hening meskipun saat diendapkan kata-kata dalam puisinya kembali bergema.
Akhirnya memang puisi selalu berhadapan dengan realitas, tetapi seperti meninggalkan relief purba. Ia mengentakkan alam bawah sadar, membangkitkan sejumlah citraan yang baru, menggoyahkan ingatan, dan membuka batin diri. Dan, Ahda pun menuliskan:
Aku berasal dari silsilah Panjang kesombongan// Silsilah yang lebih lapang dari perbuatan/ orang kafir yang pandai bersolek itu. Kaum/yang menyangkal Tuhan, yang beriman/pada tubuh dan pikiran. Kesombongan/yang terlalu cepat membuatku bosan// (Puisi Silsilah Kesombongan, hal 2)
Atau, di puisi lainnya, Ahda seperti ingin menggugat perilaku para ”pengantin” teror bom bunuh diri:
Orang suci dan bidadari/Kafan putih orang mati//Harum tubuh bidadari/Hangus daging orang mati// (Puisi Pengantin, hal 9). Di sini Ahda memaparkan diksi-diksi yang ”terang”, tetapi justru memunculkan efek domino yang luas akannya.
Meskipun dia tak bermaksud untuk berkhotbah, ada sejumlah gaung pertanyaan yang melayang, mengirimkan pesan yang secara sadar bahwa tak pernah ada agama yang mengajarkan dendam dan permusuhan.
Puisi-puisi Ahda dalam kumpulan ini terasa tertib menjaga diksi. Ia seperti mengencangkan setiap kata, berharap tak ada celah yang mubazir antara satu kata dan lainnya.
Suatu hal yang mengingatkan saya pada kerja penyair Chairil Anwar, Ahda seperti tenang mengurai kata demi kata sehingga terasa sulingan puisinya, menyentak hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Dengan daya jelajah imajinasinya, puisi dapat dengan seketika menyeberang dari satu realitas ke yang lain. Namun, ia tak hanya menghadirkan realitas itu sendiri, tetapi turut membingkainya dengan kenyataan lain.
Terkadang terasa pahit, tetapi ternyata hadir dalam keseharian kita. Dan, puisi memolesnya lewat rangkaian diksi yang tersusun sehingga memberikan semacam kesadaran atau sekadar penghiburan.
Dan, Ahda turut berkisah tentang puisi yang begitu khidmat. Berusaha dirinya untuk keluar dari teks tafsir, tak menjadikan dirinya sebagai mitos, tetapi hanya menyuguhkan puisinya, sebatas puisi. Mungkin pula, ini hanya sebatas kegelisahan Ahda saat berusaha mendefinisikan puisi semacam yang pernah ditulisnya dalam Pelajaran Menulis Puisi:
Kusimpan diriku dalam sajak/Kata-kata mengelak, mengusir/ke jantung debu//Aku bukan pesuruh//Kucari remah diriku dalam sajak/Kata-kata tegak membuka pintu/mematikan lampu//Aku pengicuh//Kulupakan diriku dalam sajak/Kata-kata memanggul tubuhku/Sepanjang jalan ia memanggilmu//Lama sabakhtani…(Puisi Dalam Sajak, hal 20)
Kamuflase Kata
Beberapa puisi, bagi saya, memang bersifat kamuflase, terasa remang. Karena itulah, puisi memerlukan pembacaan yang lebih jauh. Namun, dengan kamuflase kata yang dibentuk Ahda, puisinya seperti melompat dan berbicara pada bentangan lain. Secara tersamar, beberapa puisi Ahda menguliti bagaimana kita terjebak dalam sejumlah hal yang suci, tetapi ternyata menyisakan kebobrokan.
Pun dalam setiap perkataan, bagaimana lidah tak bertulang, tetapi ternyata meninggalkan aroma kebencian yang beranak pinak. Dan, bukankah kita diingatkan dengan perumpamaan lama: mulutmu harimaumu. Bagaimana Ahda berupaya memberikan peringatan tentang ”lidah”: Aku ingin keluar/Membersihkan waktu/Lalu tidur di atas batu/ Di dalam hutan di bawah akar (Puisi Buku Harian Lidah, hal 67)
Dia memang berusaha untuk berproses dan bersikap dalam puisinya. Namun, dia tak serta-merta memberikan stigma yang kental akannya.
Bahkan, saat menggambarkan ritual ibadah puasa, Ahda membentangkan sejumlah idiom yang tak lazim. Suatu hal yang menggambarkan ketaklukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada Sang Pencipta: Dari sahur ke magrib/Berenang tubuh ke tepian/Lapar hausku telah raib/Sebab akulah hidangan// (Puisi Hidangan, hal 25).
Akhirnya, Ahda sebagai pengamat ingin menyisihkan ruang bagi orang lain, terutama untuk dirinya sendiri. Puisi-puisinya merupakan kesaksian zaman, yang meskipun tak mengentak sebagaimana layaknya puisi-puisi W.S. Rendra, mampu membingkai realitas sosial secara utuh. Setidaknya, dalam gumam melalui puisi-puisinya, Ahda berupaya mengoyak rangka kesadaran kita agar tetap senantiasa terjaga. (*)
*) ALEXANDER ROBERT NAINGGOLAN, Staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan PTSP Kota Administrasi Jakarta Barat
- Judul Buku: Lidah Orang Suci (kumpulan puisi)
- Penulis: Ahda Imran
- Penerbit: Teroka Press
- Tahun: Juli 2021
- Tebal: xiv + 80 halaman