JawaPos.com- Pada 7 Februari 2023 mendatang, Ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 100 tahun. Menyambut peringatan satu abad tersebut, wakil ketua DPR yang juga Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar turut mengeluarkan ajakan khusus untuk warga Nahdliyyin. Yakni, menyemarakkan dan mensyukuri momentum bersejarah itu.
’’Tanggal 5, 6, dan 7 Februari nanti, melalui kelompok-kelompok, mengadakan tahlil akbar, Yasinan, istigotsah maupun salawatan. Kalau bisa motong kambing. Ini pengurus PKB yang datang, wajib motong kambing menjelang satu abad NU itu,’’ ujar Muhaimin.
Pernyataan itu disampaikan Cak Imin, panggilan Muhaimin Iskandar, di hadapan ribuan warga yang menghadiri Haul ke-44 KH Bisri Syansuri di kompleks Pondok Pesantren Mambaul Maarif, Denanyar, Kabupaten Jombang, pada Minggu (22/1) malam.
‘’Saya juga mengajak adik-adik, para santri, generasi muda untuk terus istiqamah bersama NU. Insya Allah hidup selamat, bahagia dunia dan akhirat. Karena dalam perjalanannya selama ini NU telah berhasil melakukan lima penataan,’’ ungkapnya.
Pertama, noto agomo atau menata agama. Menata agama itu lengkap berdasar keilmuan dan pengetahuan. Dikatakan, NU itu tidak ada pengurusnya saja hidup. Saking kuatnya.
’’Contohnya Jombang ini. Katanya, belum ada pengurusnya. Tapi, tidak masalah. Tahlil jalan terus, salawatan dan istighotsah tambah ramai. Wong pengurus itu hanya tambahan saja. NU telah menjadi hati pikiran dan perilaku masyarakat Jombang,’’ papar Cak Imin.
Kedua, noto menungso atau menata manusia. NU itu adalah pondok pesentren dan pondok pesantren adalah NU. Yang ditata apa pesantren itu tidak lain manusia. Mencetak SDM yang berbasis spiritual. Bukan saja skill, melainkan juga batiniah atau ruhaniah. ’’Insya Allah lulusan pondok itu batinnya kuat semua,’’ katanya.
Menata manusia itu, lanjut dia, bukan hanya pribadi-pribadi. Namun, juga mulai dari rumah tangga sebagi unit terkecil masyarakat. Ketiga, noto negoro lan bongso atau menata negara dan bangsa. Dari zaman sebelum kemerdekaan, dari zaman Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, turut berjuang dalam melawan kolonial Jepang.
‘’Diminta tolong Bung Karno, piye negoro kok masih diganggu. Maka keluarlah fatwa Resolusi Jihad itu,’’ tegasnya. Kelak kemudian momentum itu dijadikan sebagai Hari Santri Nasional 22 Oktober.
Sampai sekarang, NU terus berusaha untuk ikut menata negara dan bangsa. ’’Tidak mentang-mentang, tapi berdasar hidayah, istikharah, ijtihad dan itu dilakukan sejak zaman Mbah Hasyim yang dapat menyesuaikan dengan tantangan zaman ke depan,’’ ujarnya.
Keempat, noto arto atau menata ekonomi. Menurut Cak Imin, menata ekonomi ini yang kelihatannya masih agak gagal. Dulu, ada Nahdlatul Tujar atau gerakan perdagangan atau gerakan ekonomi. ‘’Ke depan, mudah-mudahan NU dapat menata keekonomia umat sehingga masyarakat adil makmur dan sejahtera terwujud,’’ harapnya.
Cak Imin menambahkan, cita-cita sebetulnya sederhana. Negara ini kaya. Minyak melimpah, batu-bara, emas, nikel, dan sebagainya banyak. Namun, mengapa masyarakatnya belum kaya seperti kayanya negara. ’’Caranya sederhana, terapkan Pasal 33 UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Insya Allah akan makmur dan sejahtera,’’ tegas mantan ketua umum PB PMII itu.
Kelima, noto donyo atau menata dunia. ‘’Insya Allah NU tidak hanya di tanah air, tapi juga jaya di dunia. Karena itu, kita mesti terus berorganisasi. Tidak tercerai berai seperti di beberapa negara lain,’’ ujar Cak Imin.
Selain Gus Muhaimin, hadir dalam Haul ke-44 KH Bisri Syansuri itu para ulama, kiai, tokoh, pejabat dari berbagai daerah. Beberapa di antaranya Menteri Desa Halim Iskandar, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, hingga sejumlah kepala daerah. Sejumlah anggota DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Terutama dari PKB. Hadir pula Anggota DPD RI dari Dapil Jatim Ahmad Nawardi.

-
Sosok KH Bisri Syansuri
Dalam haul tersebut, Gus Halim—panggilan Halim Iskandar—diminta untuk membacakan manakib atau biografi singkat tentang soosk KH Bisri Syansuri. Seorang muassis (pendiri NU) bersama Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari (Tebuireng, Jombang), dan KH Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang),
Semasa kecil, selain mendapat didikan langsung dari ayahnya, Mbah Bisri menimbah ilmu di banyak pesantren. Di Jawa Tengah antara lain ke KH Asnawi Kudus. Lalu, juga ke KH Kholil, Bangkalan dan juga langsung mendapat didikan Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari.
‘’Pada 1813, pergi ke Makkah berguru ke sejumlah ulama terkemuka seperti Syaikh Jamal Al Maliki, Syaikh Mahfud At Termasi dan ulama lainnya,’’ papar Gus Halim.
Kemudian, pada 1914, Mbah Bisri menikah dengan Nyai Hj Nur Khodijah, putri dari KH Chasbullah Said atau adik dari KH Wahab Chasbullah. ’’Bu Nyai Nur Khadijah ini beking utama Mbah Bisri, yang senantiasa tirakat, puasa, dan selalu mendoakan Mbag Bisri,’’ ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Gus Halim juga menyampaikan kutipan yang dapat menjadi motivasi ibu-ibu atau para istri. ’’Nyai Khadijah dawuh, konco wedok kabeh ojo lali, tirakatmu menentukan masa depan suami-suamimu,’’ ungkap mantan ketua DPRD Jatim tersebut.
Dua tahun setelah menikah, Mbah Bisri kemudian babat alas di kampung Denanyar. Membangun pondok setahap demi setahap. Pada 1919, melakukan terobosan besar. Yakni, mendirikan pesantren putri. Sebuah ijtihad yang berani dan melampaui zamannya. Sebagai pembaharu pendidikan. Bukan hanya penggagas, namun juga pelopor yang mengilhami pesantren lain untuk membuka layanan pesantren perempuan hingga saat ini.
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menyebut, Mbah Bisri sebagai kiai plus. Sebab, dalam pribadinya terdapat tiga karakter utama. Yakni, ulama pecinta fiqih, pejuang nilai-nilai keadilan gender, dan ketiga politisi yang berkarakter. ‘’Jadi wajar dari Denanyar ada yang jadi ketua DPR, dan lain-lainnya karena mewarisi salah satu kekhasan Kiai Bisri,’’ ujarnya.
Mbah Bisri, lanjut Gus Halim selalu memandang sesuatu dalam sudut fiqih. Salah satu contohnya pernah membuat aturan tandingan UU tentang perkawinan. Meski mendapatkan tantangan dan penolakan dari berbagai pihak, Mbah Bisri berhasil mengawal RUU itu menjadi sebuah UU. Sampai saat ini UU itu bisa dirasakan manfaatnya. ‘’Lalu, Kiai Bisri juga ulama yang getol turut mengampanyekan keluarga berencana,’’ paparnya.
Selain turut mendirikan NU, Mbah Bisri juga sangat mencintai dan turut andil membesarkan NU. Menggantikan KH Wahab Chasbullah sebagai Rais Aam ketika wafat. Pada 1971-1980, di saat Orde Baru sedang berjaya.
’’Salah satu pesannya beliau adalah, selama hidup saya seorang nahdilyin tulen, jika aku meninggal maka wasiatku kepada masyarakat agar mereka menjadi pengikut setia NU,’’ pungkasnya.