JawaPos.com – Delapan orang peserta workshop kelas Nirmana terlihat sibuk dengan potongan-potongan gambar dari koran dan majalah di Co’lab Collabtive Space kemarin (17/11). Mereka mengguntingnya dengan hati-hati. Lantas, mereka merangkai potongan gambar-gambar itu menjadi satu kesatuan yang ”bercerita”.
Hari Prajitno, mentor kelas Nirmana, menjelaskan bahwa itu termasuk teknik tempel dalam seni. ”Gambar-gambar yang punya makna jauh berbeda bisa dijadikan satu dan menghasilkan makna tersendiri,” kata dosen seni rupa murni Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tersebut.
Hari menjelaskan, seni tempel itu berawal pada 1915 yang dipopulerkan penyair Tristan Tzara. Tristan menyebarkan potongan-potongan huruf dari koran di sebuah kertas yang sudah dilaburi lem. Kemudian, terlihatlah kata-kata acak. Dari situ, dia menghasilkan sebuah puisi yang beraliran dadaisme. Yakni, seni yang memiliki estetika semu atau hanya orang-orang tertentu yang memahami.
Kemudian, seni tempel kertas kembali menguat pada 1970-an melalui aliran pop-art. Aliran tersebut dipopulerkan pelukis Robert Rauschenberg. Dia menempelkan potongan koran dan majalah sebagai pengganti cat. Rauschenberg bermaksud mengkritik keadaan masyarakat di zaman tersebut. ”Jadi, seni tempel ini bisa bermakna apa saja, bergantung pembuatnya,” tuturnya.
Dany Hartanto, salah seorang peserta kelas Nirmana, menggabungkan foto sebuah bangunan dan seorang penyanyi dari koran. Lalu, dia menambahkan beberapa objek lain. Menurut dia, gambar tersebut bermakna satir. ”Saya melihatnya sebagai seorang seniman yang merindukan untuk tampil di sebuah panggung megah, tapi tidak mampu karena karyanya tidak disukai golongan pemodal,” kata mahasiswa Desain Komunikasi Visual UK Petra itu.