Sajak: Cianjur Bermula, Satu Kali Lagi

29 Januari 2023, 09:30:41 WIB

Cianjur Bermula, Satu Kali Lagi

Tembang Cianjuran lamat-lamat mengalun dari langit yang jauh,

memanggil kenangan akan hijau sawah,

Hamparan butir padi yang bernas, juga cerita

tentang kuda kosong dan kerendahhatian memulai satu wilayah baru

 

Butir padi, lada, dan cabai, tiga penanda

Upeti dari muasal sebuah kota

 

Pada mulanya hormat dan kebanggaan,

Keris, kuda kerajaan, dan pohon Saparantu menjadi tonggak almanak

Menandai sejarah diplomasi tingkat tinggi

Sejak itu hingga bertahun-tahun kemudian,

Cianjur tak pernah henti melakukan pembuktian

sebagai kota dengan sederet kelebihan

 

Kemudian tiba jua tahun yang di dalamnya orang-orang

gagap diserang serbuan teknologi,

saat akses informasi khusyuk bersemi di masa pandemi

Siang masih terik memanggang ketika

Anak-anak pergi mengaji, sebagian tidur siang,

melekatkan impian masa depan pada doa-doa

Lalu orang-orang berhamburan saat bumi berguncang,

meneriakkan kata yang mengerikan

dari sebuah bala: gempa!

 

Kota menjadi hibuk, dinding-dinding rumah dan jalanan

menjelma ombak paling lantak,

tanah retak melebar membanting-angkat-rebahkan

segala kehidupan di atasnya,

menjungkirkan rumah satu-dua-tiga lantai,

melesakkan atap sampai dasar bumi tanpa kecuali

Orang-orang kalang kabut menyelamatkan diri,

mengabaikan segala harta yang tak mungkin bisa turut serta

 

Sebab jiwa masih utama, bersahutanlah

pecah tangis ibu yang kehilangan anaknya,

rengekan balita yang kebingungan di tengah tidur siangnya,

seruan ayah yang bersegera mengamankan segalanya

 

Lalu hening. Lalu zikir. Lalu isak tertahan.

Lalu kesadaran: kita tidak mungkin menghindar

 

Pada hari lain setelahnya, terpal-terpal dibentangkan,

tenda dan selimut diupayakan,

ransum makanan tidak lagi kenal siapa miskin siapa kaya,

terus beredar sejak matahari terbit hingga tenggelam

 

Yang tertinggal kini rasa senasib sepenanggungan.

 

Dan

beginilah cerita seorang kakek dari salah satu desa

menusuk-nusuk dada:

Rumahnya diterjang tarian gempa,

melumpuhkan harapan hidup panjang

setelah kakinya ditopang alat bantu jalan

sementara kursi roda tua teronggok di beranda

berpeluk dengan puing-puing atap

 

Tetangganya tak kalah malang, dua anak balita

tertidur di alas tikar, setelah letih meraung

mencari boneka kesayangan,

kemudian mengulang pertanyaan:

kapan kita meninggalkan pengungsian?

 

Perempuan tua sibuk membongkar isi karung,

Dicarinya daster ukuran besar bagi rasa sabar

Setelah anak-cucu tertimbun reruntuhan

dan mengulur waktu dimakamkan demi menunggu kain kafan

 

Kota riuh dengan suara ambulans

Antara kecemasan dan kengerian bersepadan

bagi dukana yang entah di mana ujungnya

 

Semboyan ’’Ngaos, Mamaos, dan Maenpo” kebanggaan

sementara harus menunggu kota menata diri

hingga hitungan entah berapa purnama lagi

setelah gempa menggebrak kesadaran:

jika Tuhan menginginkan,

yang telah ada dikembalikan pada ketiadaan

 

Namun sejak mula Cianjur adalah bukti,

Sebuah kota berdiri dari yang tiada menjadi ada

Maka yakinlah, Tuhan menciptakan

tangan dan hati kita untuk bergandengan

membangun kota yang lumpuh dan mati suri

Demi Cianjur bermula, satu kali lagi.

RATNA AYU BUDHIARTI, Menulis puisi, cerpen, artikel, resensi, fiksi mini, dan beberapa naskah drama. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Korea, dan Rusia.

Editor : Ilham Safutra

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads