Mau Panen Padi
Besok aku mau panen padi.
Habis itu mau tanam bawang.
Aku ajak kau datang. Kebun binatang tutup. Gajah-gajah
mati tak makan. Ke sinilah main bersama adik dan sepupu.
Istriku tak punya tanah. Ibuku juga.
Kita menumpang di bumi seluas ini.
Abakmu di rumah. Tak jalan-jalan tak memotret lagi.
Tak ada potret yang bisa
mengabadikan kesedihan.
Tak ada liburan yang dapat
mengubur kenangan.
Hidup tak ada pakansinya.
Kita bebas kalau kita mati.
Abakmu di rumah bikin meja dan kursi.
Menghias dinding dengan pepatah-pepatah
Latin. Miniatur-miniatur laut dan gunung.
Air di kolamnya beriak.
Ikan-ikan mengepak.
Kota-kota dikuncinya dari dalam.
Sudah mau masuk musim hujan.
Langit jadi sering gelap.
Main ponsel melulu ah.
Sekolah tutup dan ibu guru bisa tidur siang.
Mengepak-ngepak daun pisang. Batang jambu biji mau ditebang
dengan kapak gadang. Aku suka memanjat. Besok ke sini datang, kataku!
Aku mau panen padi.
Habis itu kita tanam bawang.
Tapi batang-batang bawang tak bisa dipanjat kecuali kau ulat.
Main sama adik dan sepupu sana!
Abak dan mamamu di depan hakim
berdebat tentang kerusakan ekologi.
Apa mamamu punya sawah? Tanam saja semangka di situ.
Aku dan kamu suka semangka.
Di bumi seluas ini kamu berkebun
di atap-atap rumah.
Tak ada tanah di mana-mana.
Ini matrilini macam apa?
Pohon jambu biji tak tumbuh lagi. Padahal
kita senang menjadi monyet. Seperti nenek
moyang. Berjalan dengan empat tangan.
Aku bosan menjadi beradab.
Aku mau memanjat ke ranting paling ujung.
Cita-Cita setelah Mulai Tua
Anak-anak bermain di halaman.
Hari hujan. Rintik-rintik.
Aku ingin di sini saja sampai tua.
Punya sepetak-dua petak ladang.
Menghangatkan tubuh pada matahari baru terbit; terpana pada
kuning-pekatnya ketika akan tenggelam.
Menulis ini dan itu.
Lalu mati.
Lalu orang-orang akan melupakan aku.
Mungkin akan sekali-kali diingat
dengan tak sengaja.
Anak-anak bermain di halaman.
Hujan tinggal. Titik-titik.
Insomnia Abad Ke-21
Di abad ke-21
jam malam lenyap
tak ada lagi perang atau revolusi
tapi mata tetap tak bisa lelap
kelopak memanjati bolanya
aku mengingat-ingat kamu dalam asap kebakaran hutan
tubuhmu dan rohmu tidak kini berbeda.
”Tidak setiap masa silam mesti dituliskan. Ada yang
harus dibiarkan tetap sebagai kubangan metafora.”
Metafora dari mata yang tidak bisa mengingat
kapan pertama dan terakhir terpejam dan lelap.
”Bagaimana cara mengingat sesuatu yang tidak ingin diingat?”
Simpanse atau kera mengubahnya jadi—
monyet atau gorila menyulapnya merupa—
ah ya, metafora!
Di abad ke-21
jam malam lenyap
tak ada lagi huru-hara atau petisi
tapi mata tetap nyala-terjaga
kelopak mencari-cari selimutnya
aku mengingat-ingat kamu dalam asap kebakaran halte dan plaza
tubuhmu dan rohmu telah kini jadi sama lesap belaka.
DEDDY ARSYA:
Buku puisinya yang mutakhir berjudul Khotbah si Bisu (2019). Buku itu terpilih sebagai Buku Puisi Pilihan Majalah Tempo.
Saksikan video menarik berikut ini: